Ada sesuatu yang selalu saya ingat setiap kali menulis tentang teknologi. Ingatan itu datang dari sebuah kedai kecil di sudut kota Malang. Warkop Agam Dinoyo, begitu tertulis besar di dinding bangunan sederhana berlatar hijau. Siang itu kedai tidak ramai. Hanya ada aroma kopi yang mendominasi, menenangkan sekaligus menggoda.
Dari dapur depan warkop, aroma mie Bangladesh khas  dengan taburan puding telur ayam kampung bercampur dengan wangi kopi hitam panas yang baru diseduh. Saya memilih duduk di bangku kayu dekat jendela, ditemani obrolan mahasiswa dan pekerja yang singgah sejenak melepas penat.
Di balik meja kayu sederhana, seorang barista muda berdiri. Ia menimbang biji kopi dengan teliti, menggilingnya perlahan, lalu menyeduhnya dengan hati-hati menggunakan cara tradisional Turki. Tak lama kemudian, Â secangkir kopi tersaji di meja saya. Aromanya dalam, rasanya kuat, meninggalkan jejak bukan hanya di lidah, melainkan juga di ingatan.
Kopi itu sederhana, tetapi kelezatannya lahir dari dua hal yang tidak sederhana. Pertama, kualitas biji kopi yang baik. Kedua, keahlian barista dalam mengolahnya. Jika salah satunya cacat, entah biji kopi yang busuk atau teknik penyeduhan yang keliru, maka cangkir kopi itu tidak akan pernah meninggalkan rasa yang sama. Dan persis seperti kopi, begitulah wajah Generative AI hari ini. Ia hanya akan benar-benar memberi manfaat jika dua hal mendasar dijaga kualitasnya. Satu, akurasi data. Dua, akurasi model.
Akurasi data adalah biji kopi kehidupan digital
Di dunia digital, data adalah bahan baku. Tanpa data, tidak ada yang bisa dipelajari oleh algoritma. Namun persoalannya bukan sekadar ada atau tidaknya data, melainkan seberapa akurat data itu. Sama seperti kopi. Ada banyak biji kopi yang bisa kita temukan, tetapi tidak semuanya layak diseduh. Ada biji yang rusak, ada yang tercampur dengan batu, ada pula yang sudah basi. Data pun begitu.
Akurasi data berbicara tentang kebenaran, kebersihan, kelengkapan, konsistensi, dan relevansi. Jika data yang dipakai untuk melatih model Generative AI penuh kesalahan, maka kesalahan itulah yang akan dipelajari. Jika data bias, hasilnya akan bias. Jika data tidak lengkap, maka model akan kesulitan memahami keragaman kasus nyata. Dengan kata lain, kualitas data adalah titik tolak dari segalanya.
Bayangkan seorang penulis yang ingin menulis novel sejarah, tetapi sumber referensinya hanya potongan berita setengah benar, catatan yang tidak diverifikasi, dan rumor dari media sosial. Novel yang lahir dari proses itu bisa jadi menarik, penuh drama, tetapi keabsahannya rapuh. Sama halnya Generative AI. Ia bisa menghasilkan teks, gambar, atau suara yang menakjubkan. Namun bila akurasi data tidak dijaga, hasilnya hanya keindahan semu yang menipu.
Hari ini kita hidup di dunia di mana data meledak dari segala arah. Dari sensor kota pintar, dari media sosial, dari transaksi belanja, dari hasil riset ilmiah, semuanya mengalir deras. Di balik limpahan itu, tantangan terbesar justru adalah memilah dan membersihkan. Seperti petani kopi yang harus sabar memetik biji terbaik, memisahkan dari kotoran, dan menjaga kesegaran, pengelolaan data juga menuntut kesabaran dan ketekunan. Akurasi data bukanlah pekerjaan instan. Ia adalah disiplin yang memerlukan perhatian konstan.
Dalam konteks pendidikan misalnya, data akurat berarti kurikulum, materi pembelajaran, dan referensi yang benar-benar valid. Jika sebuah model AI dilatih dengan bahan bacaan yang salah, ia bisa menyesatkan siswa yang mengandalkannya untuk belajar. Kita tentu tidak ingin generasi muda menghafal kesalahan yang lahir dari kelalaian menjaga kualitas data. Begitu juga dalam pemerintahan. Data yang salah tentang jumlah penduduk atau tingkat kemiskinan bisa melahirkan kebijakan yang tidak tepat sasaran. Itulah mengapa akurasi data adalah fondasi keadilan sosial di era digital.
Akurasi model adalah tangan barista teknologi