Marbada, Cikal Bakal Debat
Beberapa televisi kita menayangkan acara debat. Ada yang memberi judul “debat”, ada yang sampai melengkapi acara dengan lonceng layaknya pertarungan tinju, menandai dimulai dan diakhirinya ronde debat. Ada juga yang mengambil format diskusi, dialog, talk show. Semuanya bisa berisi debat satu pembicara dengan pembicara lain.
Suatu hari saya melewati Jalan Juanda di Cikampek, jalanan sedang macet. Dari bis Warga Baru yang saya tumpangi dari Bekasi saya menyaksikan di sebelah kanan, di trotoar yang dipenuhi pedagang itu ada dua wanita sedang berkelahi, awalnya dengan kata-kata, lalu kemudian salah satunya menggunakan tangan, menarik rambut lawannya. Sementara seorang wanita yang lebih tua berusaha melerai mereka. Entah apa sebab musabab perkelahian tersebut.
Teringat masa kecil di kampong. Minimnya hiburan elektronik semacam tv, radio, atau tep (apa ya nama resminya ini, yang memutar pita kaset itu) membuat kami kehausan hiburan. Bermain perang-perangan, main bola, petak-umpet, margeddong, jalengkat, sukkil, marpukul, martali goyang, marekka dan macam-macam lainnya permainan kampung. Itu semua hiburan interaktif dimana kami terlibat di dalamnya.
Ada juga hiburan dimana kami hanya berperan sebagai penonton. Hiburan semacam ini tidak terjadwal. Misalnya ada kapal terbang lewat langit kampung kami. Semua anak-anak berbondong ke halaman, menengadahkan wajah ke langit dengan mulut sedikit menganga, melihat si burung besi terbang sampai menjadi titik dan hilang. Kapal terbang lewat itu, bisa mengacaukan acara makan bersama keluarga. Suatu kali seorang pamanku yang seumuran pernah kena damprat, karena dia meninggalkan acara doa sebelum makan, begitu mendengar teriakan anak-anak di halaman “kapal….kapal….”.
Kampung kedatangan mobil atau truk juga bisa menjadi tontonan yang menarik.
----
Tentang Marbada
Kejadian di Jalan Juanda tadi, kalau terjadi di kampungku maka dinamailah marbada. Marbada ialah cara berkelahi menggunakan kata-kata. Sebisa mungkin menyerang psikologi lawan, menyerang harga dirinya, menghinakan, sampai dia menyerah dan surut. Marbada biasanya dilakukan dua wanita (ibu-ibu) yang pangkal persoalannya biasanya dari gosip antar ibu-ibu. Mereka akan saling menyerang dari pintu rumah masing-masing. Tidak saling mendekat. Karena itu dibutuhkan lengkingan suara. Dan anak-anak pun akan serius menontonnya.
Jika pelaku marbada ini tidak kuat, mungkin dia surut ke rumah. Atau malah dia akan melakukan serangan fisik, yaitu menyerang dengan menjambak rambut lawan. Serangan sedemikian rupa disebut manjanggola!
Orang yang ahli menyerang dengan kata-kata dinamai parbada muncung. Muncung adalah bibir, jadi kira-kira dia adalah orang yang bibirnya canggih mengeluarkan peluru serangan kata-kata dan membuat lawan tak berkutik.
Pria tidak lajim ikut marbada. Entah karena pria lebih bodoh dari wanita, pria biasanya langsung main fisik. Kaum pria akan berkelahi dengan kekuatan otot, bukan kekuatan kata-kata.
Marbada Masa Kini
Kini nampaknya aktifitas marbada sudah jarang terjadi di kampung. Nampaknya marbada telah bergeser ke kota, ke stasiun televisi dan gedung parlemen. Lihatlah berita dan acara-acara tv kita itu, penuh dengan parbada muncung. Meskipun disebut debat, dialog, talk show, atau apalah namanya, tapi tak jarang kita temukan mereka saling menyerang dengan kata-kata. Tidak perduli apakah dia pria atau wanita. Dan mereka lepas pula dari adu argumen, tapi asyik menyerang pribadi lawan-lawannya.
Begitulah mungkin saja…….. marbada adalah cikal bakal debat.
Salam Parbada Muncung!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI