Potret pekerja yang kehilangan mimpi karena budaya kerja yang mengorbankan waktu, kesehatan, dan kemanusiaan. Refleksi kritis tentang hidup yang habis untuk bertahan.
Malam di kota sering dipenuhi wajah-wajah letih yang bergegas pulang. Mereka bukan sekadar pekerja, tetapi manusia yang pernah menyimpan mimpi, cita-cita, dan harapan. Namun langkah yang ditempuh kini lebih banyak diarahkan kewajiban dibandingkan keinginan. Pulang bukan lagi perjalanan menuju rumah, melainkan jeda singkat sebelum kembali menukar waktu dengan tenaga dan kesehatan.
Fenomena ini bukan cerita satu dua orang, melainkan potret dari budaya kerja yang membentuk generasi yang selalu sibuk namun jarang benar-benar hidup. Pekerja yang pulang sebelum mimpinya selesai adalah simbol dari sistem yang memuliakan produktivitas tetapi melupakan kemanusiaan.
Di bangku terminal bus malam, wajah para pekerja menceritakan sesuatu yang jarang diucapkan: lelah yang tak pernah selesai. Jam kerja 9 hingga 5 dianggap standar, tetapi kenyataannya sering melewati batas. Lembur dibayar murah atau bahkan diganti dengan libur yang tak benar-benar bisa dinikmati.
Lelah bukan sekadar kondisi tubuh, melainkan bahasa yang menyatukan jutaan pekerja. Bahasa yang dipahami tanpa kata: tubuh ingin beristirahat, pikiran ingin bebas, tetapi aturan perusahaan terus mengikat.
Pendidikan diharapkan memberi kemandirian. Sekolah dan universitas dijanjikan sebagai pintu menuju kebebasan. Namun setelah tamat, banyak yang justru terjebak dalam ketergantungan pada institusi untuk sekadar bekerja.
Harapan akan gaji besar sering bertabrakan dengan realitas upah minimum. Waktu penuh yang dikorbankan, bahkan melewati jam kerja normal, jarang berbanding lurus dengan kualitas hidup. Mimpi membangun usaha, menulis, atau sekadar menemani keluarga perlahan berubah menjadi barang mewah.
Seorang kawan pernah berkata, "Mimpiku bukan mati, hanya ditunda. Tetapi aku takut menundanya terlalu lama hingga akhirnya terkubur diam-diam." Kalimat ini menggambarkan ironi terbesar pekerja modern.
Zaman ini menjadikan kelelahan sebagai kebanggaan. Lembur dipuji sebagai dedikasi, waktu keluarga dikorbankan demi profesionalitas, sakit disalahkan sebagai kurangnya disiplin diri.
Di balik semua itu, manusia kehilangan dirinya. Waktu untuk tumbuh, beristirahat, dan mencipta habis tersedot mesin kerja. Seolah-olah manusia bukan lagi subjek, melainkan mesin yang digerakkan jam dan target.