Sudut-sudut gelap kota sering kali tidak memiliki suara. Mereka tidak masuk dalam berita kecuali saat ada tragedi. Mereka tidak memiliki ruang representasi, kecuali sebagai angka dalam laporan statistik. Mereka menjadi bayangan yang dihindari kamera, bagian dari kota yang secara sadar dihapus dari imajinasi publik.
Di Bandung, misalnya, kota ini kerap menonjolkan citra kreatif dengan festival budaya, wisata kuliner, dan teknologi. Namun, di sisi lain, masih ada kawasan padat di pinggiran seperti Cibangkong atau Cicadas yang bergulat dengan persoalan banjir, sampah, dan pengangguran. Bayangan ini bukan sekadar metafora, melainkan realitas sosial yang tak pernah benar-benar diberi nama.
Kota yang hanya membanggakan terang tanpa berani melihat gelapnya hanyalah kota yang rapuh. Retakan kecil bisa merembet, menjalar, dan pada akhirnya melahirkan jurang yang lebih dalam. Di situlah pentingnya kejujuran: mengakui bahwa ada ketidakmerataan, bahwa ada warga yang tak pernah merasakan manisnya pembangunan, bahwa ada ruang yang perlu disembuhkan.
Menutup mata pada bayangan berarti membiarkannya tumbuh menjadi luka sosial yang lebih besar. Kemewahan di satu sisi akan semakin kontras dengan kesengsaraan di sisi lain, dan kontras itu lambat laun berubah menjadi dinding pemisah.
Apakah adil sebuah kota disebut maju hanya karena sebagian wilayahnya berkilau sementara sebagian lain dibiarkan muram? Apakah keindahan kota hanya diukur dari seberapa terang lampu jalan, tanpa menghitung berapa banyak rumah yang tetap gelap setiap malam? Mengapa sebagian orang dianggap layak hidup di pusat gemerlap, sementara sebagian lain dibiarkan di pinggiran yang penuh bayangan?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak hanya menghantui, tetapi juga menuntut jawaban. Dan sering kali jawabannya bukan pada para pembuat kebijakan semata, melainkan juga pada kesadaran kita sebagai warga kota.
Seperti halnya manusia yang selalu hidup dengan masalah, kota pun hidup dengan paradoksnya sendiri. Ada yang tampak indah dari luar, ada pula yang berantakan dari dalam. Tetapi apakah kita hanya akan fokus pada kilau cahaya dan melupakan bayangan? Atau kita berani mengalihkan pandangan sejenak untuk melihat sisi lain yang sering tertutup?
Kadang solusi sudah ada di hadapan, hanya saja tertutup oleh kesibukan mengejar cahaya. Kita terlalu sibuk mempercantik pusat kota, hingga lupa bahwa kecantikan sejati justru ada ketika setiap sudut merasa diperhatikan.
Â
Cahaya tanpa bayangan hanyalah ilusi. Begitu juga kota yang hanya menonjolkan kemajuan tanpa mengakui kekurangannya. Sama seperti siang tak pernah sempurna tanpa malam, dan tanah subur selalu berdampingan dengan tandus, kota pun hanya akan seimbang bila berani menatap terang sekaligus gelapnya.
Kota tidak akan pernah selesai dibangun hanya dengan menumpuk cahaya. Ia butuh keberanian untuk masuk ke sudut-sudut yang gelap, mendengar suara-suara yang tak terdengar, dan merawat retakan sebelum menjadi jurang.