Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Kita Menghindari Proses yang Membentuk Diri

30 Juli 2025   03:00 Diperbarui: 30 Juli 2025   03:00 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Kristine Tumanyan di Unsplash 

Lalu muncul pertanyaan:
Apakah kita benar-benar menginginkan hasil cepat, atau kita hanya takut ketinggalan dari mereka yang sudah lebih dulu sampai?
Mengapa proses terasa begitu menakutkan, seolah waktu yang panjang adalah kegagalan itu sendiri?
Apakah kita kehilangan kemampuan untuk sabar, atau kehilangan kepercayaan bahwa sesuatu akan tumbuh perlahan?

Kita dibesarkan dalam ritme dunia yang tidak ramah terhadap keterlambatan. Sejak kecil, nilai tertinggi adalah menjadi yang tercepat, bukan yang paling memahami. Kita diajarkan bahwa lambat berarti tertinggal. Bahwa menunggu berarti kalah. Maka wajar jika banyak di antara kita yang, meski lelah, terus berlari. Takut tertinggal dari teman seangkatan. Takut tidak cukup kaya di usia tiga puluh. Takut tidak punya "kisah sukses" untuk dibagikan saat reuni.

Kita mengejar validasi, bukan makna. Dan dalam ketergesaan itu, kita kehilangan rasa cukup.

Namun bukankah semua yang tumbuh pelan justru punya akar paling kuat?

Pohon yang dipaksa tumbuh cepat bisa tampak tinggi, tetapi akarnya dangkal. Ia tidak akan tahan saat badai datang. Begitu pula kita. Hasil instan mungkin terlihat mengilap dari luar, tetapi tanpa proses yang utuh, kita rapuh. Kita tidak tahu bagaimana berdiri saat gagal, bagaimana memulai lagi dari kosong, atau bagaimana menghadapi sunyi.

Karena proses bukan hanya tentang pencapaian, tetapi tentang pembentukan. Ia mengajari kita keteguhan, mengajarkan seni melepaskan kontrol, membiasakan kita pada ketidakpastian. Proses melatih kita untuk bersahabat dengan waktu, bahkan ketika hasil belum terlihat.

Mungkin, saat kita memilih yang instan, kita sedang berusaha menyembuhkan luka yang lebih dalam: rasa tidak aman, takut tidak diakui, takut dilupakan. Maka tidak heran jika kita terburu-buru, ingin segera sampai, agar bisa menunjukkan bahwa kita juga bisa. Padahal, siapa yang kita kejar sebenarnya?

Di usia dua puluhan hingga empat puluhan, kita berdiri di antara tuntutan dunia dan kekosongan dalam diri. Kita berlari dari satu pencapaian ke pencapaian lain, tetapi tetap merasa ada yang hilang. Mungkin karena yang kita cari bukan posisi, gaji, atau pengakuan, melainkan ketenangan batin yang hanya bisa lahir dari kedekatan dengan waktu.

Jika kamu membaca tulisan ini di tengah macet, di sela rehat kerja, atau saat pikiranmu terbang ke masa depan yang belum terjadi, mungkin ini saatnya bertanya:
Apakah kamu benar-benar ingin cepat, atau kamu hanya takut terlambat?
Apakah kamu sedang mempercepat hidup, atau mempercepat hilangnya makna dari hidup itu sendiri?

Proses memang lambat. Seringkali tidak terlihat. Tidak menarik untuk dibagikan di media sosial. Tetapi ia membentuk. Ia menyelam lebih dalam ke dalam dirimu, membangun pondasi yang tidak mudah retak. Di tengah dunia yang gemar menyembah hasil, memilih proses adalah bentuk perlawanan yang sunyi namun sakral.

Karena pada akhirnya, yang tinggal bukan hasil yang cepat datang dan cepat hilang, melainkan siapa dirimu setelah melewati semua itu. Dan itu hanya bisa dibentuk oleh waktu, bukan dibeli dengan uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun