Esai reflektif ini mengupas alasan batiniah dan sosial mengapa kita lebih takut akan kegagalan daripada ketidaktercapaian. Menyingkap luka kolektif masyarakat perfeksionis dan mengajak pembaca mempertimbangkan ulang keberanian untuk mencoba.
Â
Kita sering kali merasa takut melangkah, padahal belum tentu jalannya gelap. Ada perasaan aneh yang sulit dijelaskan, seolah kegagalan sudah menunggu di ujung niat bahkan sebelum kita memulai. Tapi yang sebenarnya menahan kita bukanlah kegagalan itu sendiri, melainkan bayangannya yang telah dibentuk oleh opini sosial, ekspektasi keluarga, dan tuntutan diri yang terlalu keras. Artikel ini adalah sebuah undangan batin untuk duduk sejenak dan bertanya ulang: kenapa kita lebih takut gagal daripada tidak pernah mencoba?
Di malam bulan sabit, saat suara katak dan jangkrik menjadi latar bagi sepi yang menggantung di langit kamar, sebuah pertanyaan melintas pelan di kepala: mengapa kita lebih takut gagal daripada takut tidak pernah mencoba?
Pertanyaan itu tidak menjawab dirinya sendiri. Ia hanya diam. Namun diamnya menggoda dan mengusik, seperti suara kecil dari dalam dada yang sudah lama tertahan tetapi belum sempat diberi tempat untuk bicara.
Mungkin karena kita hidup dalam masyarakat yang menghargai hasil, bukan proses. Di mana keberhasilan harus terlihat, harus punya bentuk, panggung, dan pengakuan. Dan kegagalan? Ia harus disembunyikan. Dibuang jauh-jauh. Dipoles agar tidak meninggalkan jejak. Sebab jika terlalu kentara, bisa menggores harga diri, menjatuhkan citra, atau merusak reputasi yang telah dibangun dengan susah payah.
Namun mari kita berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan bertanya dengan jujur: apakah kita sungguh takut gagal atau kita hanya takut terlihat gagal?
Di usia dua puluhan hingga awal empat puluh, banyak dari kita tengah berada di tengah badai ekspektasi. Dari orang tua, dari lingkungan, dari media sosial, dan terutama dari diri sendiri. Kita ingin terlihat hebat, stabil, bijak, dan bahagia. Padahal sering kali kita sedang lelah, limbung, dan tidak tahu arah. Namun tetap saja kita terus memoles tampilan luar agar semua terlihat baik-baik saja.
Ketika seseorang gagal, ia sering kali tidak hanya menelan kecewa. Ia juga menanggung malu. Bukan karena gagal itu memalukan, tetapi karena lingkungan membuat kita merasa begitu. Di sinilah letak luka kolektif kita sebagai masyarakat perfeksionis. Kita dibesarkan untuk takut pada cela, bukan untuk mengenali nilai dari proses. Kita diajari untuk mengejar nilai A, bukan untuk mencintai proses belajar. Untuk mendapatkan pekerjaan mentereng, bukan untuk menemukan pekerjaan yang sesuai dengan isi hati. Untuk menikah tepat waktu, bukan untuk mencintai seseorang dengan sungguh-sungguh.
Tak heran jika kegagalan, sekecil apa pun, terasa seperti aib yang harus segera ditutup. Padahal mungkin di balik kegagalan itu, ada pelajaran yang membuat kita lebih jujur terhadap diri sendiri. Mungkin justru dari sanalah kita bisa melihat bahwa selama ini kita terlalu keras mengejar kesempurnaan luar sambil mengabaikan keretakan kecil di dalam.
Kegagalan bukanlah akhir. Ia bisa menjadi titik balik dan juga pengingat bahwa ada yang salah dari cara kita memandang diri dan dunia. Bahwa kita terlalu ambisius untuk menjadi versi terbaik dari diri kita, versi yang bisa dipamerkan, tetapi lupa bahwa menjadi utuh tidak selalu berarti menjadi sempurna.
Ada luka yang tidak berisik tetapi tumbuh di dalam diam. Ia diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, luka karena harus selalu menjadi yang terbaik, karena merasa hanya dihargai ketika berhasil, karena takut mengecewakan. Ini bukan luka individu saja. Ini luka sosial. Dan kita semua sedang berjuang untuk tidak mewariskannya lebih jauh.
Setiap kali kita menertawakan orang yang mencoba tetapi gagal, kita sedang menguatkan luka itu. Setiap kali kita hanya memberi pujian pada hasil dan bukan pada keberanian untuk melangkah, kita sedang memperpanjang warisan itu. Dan setiap kali kita takut mencoba karena takut gagal, kita sedang mengulangi pola yang sama.
Padahal tidak pernah mencoba justru bisa menjadi bentuk kegagalan paling sunyi. Ia tidak terlihat. Tidak diumumkan. Tidak dicemooh. Namun ia tinggal di dalam diri kita. Diam. Bertahun-tahun. Hingga akhirnya berubah menjadi penyesalan.
Apa jadinya jika kita mencoba tanpa syarat harus berhasil? Apa jadinya jika kita mengizinkan diri untuk jatuh, bukan karena ingin jatuh, tetapi karena ingin bergerak?
Dalam masyarakat yang sibuk menuntut hasil, mencoba tanpa tuntutan adalah bentuk keberanian eksistensial. Itu adalah cara kita berkata, "Aku hidup bukan hanya untuk dilihat. Aku hidup untuk merasakan. Untuk gagal, belajar, dan bangkit lagi."
Tentu ini tidak mudah. Apalagi ketika citra menjadi nilai tukar. Namun justru di situlah letak pembebasannya. Ketika kita tidak lagi menggantungkan martabat pada keberhasilan, melainkan pada kejujuran hidup.
Karena kadang, kemenangan tanpa panggung jauh lebih berarti daripada kesuksesan yang hanya menjadi tontonan.
Seperti tubuh yang membutuhkan jeda untuk mengisi ulang energi, diri kita pun membutuhkan ruang untuk berhenti mengejar kesempurnaan. Mungkin diam di malam hari bukan hanya tentang istirahat, tetapi juga tentang kembali kepada diri sendiri. Dan dalam hening itu, kita bisa bertanya pelan, tanpa paksaan: apakah aku hidup hanya untuk berhasil, atau aku hidup untuk mencoba? Karena sesungguhnya, keberanian terbesar bukanlah berhasil, tetapi memilih untuk terus melangkah bahkan saat ketakutan diam-diam masih bergema.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI