Kegagalan bukanlah akhir. Ia bisa menjadi titik balik dan juga pengingat bahwa ada yang salah dari cara kita memandang diri dan dunia. Bahwa kita terlalu ambisius untuk menjadi versi terbaik dari diri kita, versi yang bisa dipamerkan, tetapi lupa bahwa menjadi utuh tidak selalu berarti menjadi sempurna.
Ada luka yang tidak berisik tetapi tumbuh di dalam diam. Ia diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, luka karena harus selalu menjadi yang terbaik, karena merasa hanya dihargai ketika berhasil, karena takut mengecewakan. Ini bukan luka individu saja. Ini luka sosial. Dan kita semua sedang berjuang untuk tidak mewariskannya lebih jauh.
Setiap kali kita menertawakan orang yang mencoba tetapi gagal, kita sedang menguatkan luka itu. Setiap kali kita hanya memberi pujian pada hasil dan bukan pada keberanian untuk melangkah, kita sedang memperpanjang warisan itu. Dan setiap kali kita takut mencoba karena takut gagal, kita sedang mengulangi pola yang sama.
Padahal tidak pernah mencoba justru bisa menjadi bentuk kegagalan paling sunyi. Ia tidak terlihat. Tidak diumumkan. Tidak dicemooh. Namun ia tinggal di dalam diri kita. Diam. Bertahun-tahun. Hingga akhirnya berubah menjadi penyesalan.
Apa jadinya jika kita mencoba tanpa syarat harus berhasil? Apa jadinya jika kita mengizinkan diri untuk jatuh, bukan karena ingin jatuh, tetapi karena ingin bergerak?
Dalam masyarakat yang sibuk menuntut hasil, mencoba tanpa tuntutan adalah bentuk keberanian eksistensial. Itu adalah cara kita berkata, "Aku hidup bukan hanya untuk dilihat. Aku hidup untuk merasakan. Untuk gagal, belajar, dan bangkit lagi."
Tentu ini tidak mudah. Apalagi ketika citra menjadi nilai tukar. Namun justru di situlah letak pembebasannya. Ketika kita tidak lagi menggantungkan martabat pada keberhasilan, melainkan pada kejujuran hidup.
Karena kadang, kemenangan tanpa panggung jauh lebih berarti daripada kesuksesan yang hanya menjadi tontonan.
Seperti tubuh yang membutuhkan jeda untuk mengisi ulang energi, diri kita pun membutuhkan ruang untuk berhenti mengejar kesempurnaan. Mungkin diam di malam hari bukan hanya tentang istirahat, tetapi juga tentang kembali kepada diri sendiri. Dan dalam hening itu, kita bisa bertanya pelan, tanpa paksaan: apakah aku hidup hanya untuk berhasil, atau aku hidup untuk mencoba? Karena sesungguhnya, keberanian terbesar bukanlah berhasil, tetapi memilih untuk terus melangkah bahkan saat ketakutan diam-diam masih bergema.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI