Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengapa Kita Lebih Takut Gagal Duluan ?

23 Juli 2025   04:42 Diperbarui: 23 Juli 2025   04:42 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Esai reflektif ini mengupas alasan batiniah dan sosial mengapa kita lebih takut akan kegagalan daripada ketidaktercapaian. Menyingkap luka kolektif masyarakat perfeksionis dan mengajak pembaca mempertimbangkan ulang keberanian untuk mencoba.

 

Kita sering kali merasa takut melangkah, padahal belum tentu jalannya gelap. Ada perasaan aneh yang sulit dijelaskan, seolah kegagalan sudah menunggu di ujung niat bahkan sebelum kita memulai. Tapi yang sebenarnya menahan kita bukanlah kegagalan itu sendiri, melainkan bayangannya yang telah dibentuk oleh opini sosial, ekspektasi keluarga, dan tuntutan diri yang terlalu keras. Artikel ini adalah sebuah undangan batin untuk duduk sejenak dan bertanya ulang: kenapa kita lebih takut gagal daripada tidak pernah mencoba?

Di malam bulan sabit, saat suara katak dan jangkrik menjadi latar bagi sepi yang menggantung di langit kamar, sebuah pertanyaan melintas pelan di kepala: mengapa kita lebih takut gagal daripada takut tidak pernah mencoba?

Pertanyaan itu tidak menjawab dirinya sendiri. Ia hanya diam. Namun diamnya menggoda dan mengusik, seperti suara kecil dari dalam dada yang sudah lama tertahan tetapi belum sempat diberi tempat untuk bicara.

Mungkin karena kita hidup dalam masyarakat yang menghargai hasil, bukan proses. Di mana keberhasilan harus terlihat, harus punya bentuk, panggung, dan pengakuan. Dan kegagalan? Ia harus disembunyikan. Dibuang jauh-jauh. Dipoles agar tidak meninggalkan jejak. Sebab jika terlalu kentara, bisa menggores harga diri, menjatuhkan citra, atau merusak reputasi yang telah dibangun dengan susah payah.

Namun mari kita berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan bertanya dengan jujur: apakah kita sungguh takut gagal atau kita hanya takut terlihat gagal?

Di usia dua puluhan hingga awal empat puluh, banyak dari kita tengah berada di tengah badai ekspektasi. Dari orang tua, dari lingkungan, dari media sosial, dan terutama dari diri sendiri. Kita ingin terlihat hebat, stabil, bijak, dan bahagia. Padahal sering kali kita sedang lelah, limbung, dan tidak tahu arah. Namun tetap saja kita terus memoles tampilan luar agar semua terlihat baik-baik saja.

Ketika seseorang gagal, ia sering kali tidak hanya menelan kecewa. Ia juga menanggung malu. Bukan karena gagal itu memalukan, tetapi karena lingkungan membuat kita merasa begitu. Di sinilah letak luka kolektif kita sebagai masyarakat perfeksionis. Kita dibesarkan untuk takut pada cela, bukan untuk mengenali nilai dari proses. Kita diajari untuk mengejar nilai A, bukan untuk mencintai proses belajar. Untuk mendapatkan pekerjaan mentereng, bukan untuk menemukan pekerjaan yang sesuai dengan isi hati. Untuk menikah tepat waktu, bukan untuk mencintai seseorang dengan sungguh-sungguh.

Tak heran jika kegagalan, sekecil apa pun, terasa seperti aib yang harus segera ditutup. Padahal mungkin di balik kegagalan itu, ada pelajaran yang membuat kita lebih jujur terhadap diri sendiri. Mungkin justru dari sanalah kita bisa melihat bahwa selama ini kita terlalu keras mengejar kesempurnaan luar sambil mengabaikan keretakan kecil di dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun