Aku.
Entahlah.
Kadang aku ingin bicara.
Bukan pada siapa-siapa, hanya pada sesuatu yang tak bisa membalas.
Seseorang.
Bayanganku sendiri, mungkin.
Namun setiap kali aku mencoba, kalimat itu terhenti di tengah jalan.
Seperti ranting tua yang tak sanggup lagi menahan angin yang datang bukan dari musim yang semestinya.
Aku selalu memulainya dengan kalimat, "Aku ingin bilang bahwa..."
Namun setelah itu hanya ada keheningan yang datang seperti tamu tak diundang.
Bukan karena tak ada yang ingin disampaikan, tetapi karena terlalu banyak yang ingin dilupakan.
Bayanganku berdiri diam di sudut ruangan.
Ia memandangku dari balik dinding yang redup, dengan mata yang menyerupai milikku, tetapi tatapannya terasa lebih jujur dan lebih lelah.
Ia seakan bertanya, mengapa aku tak juga bicara.
Aku pun menjawab dalam hati, bahwa aku takut jika aku benar-benar mengucapkannya, maka suaraku akan terdengar rapuh dan tak layak dipercaya.
Bayangan itu membalas tanpa suara, namun aku paham maknanya.
Ia berkata bahwa rapuh bukanlah kesalahan, bahwa aku hanya belum terbiasa melihat diriku sendiri tanpa topeng.
Aku mencoba menulis, tetapi jariku justru meremas kata-kata yang enggan keluar.
Seharusnya aku bilang bahwa aku lelah menjadi kuat.
Mungkin aku perlu jujur bahwa aku bukan seperti yang kalian bayangkan.
Jika saja aku tidak selalu berusaha tampil sempurna, mungkin aku bisa mulai jujur pada diriku sendiri.
Aku tersenyum di hadapan cermin, namun sosok di dalam sana tidak membalas.
Ia hanya menatapku dengan sorot mata yang tak lagi bisa ditipu.
Ia seakan berkata bahwa aku harus berbicara, sebelum suara itu benar-benar hilang dari dalam diriku.
Bayangan itu menagih kejujuran yang selama ini tak pernah kubayar lunas.
Bukan dengan air mata, bukan dengan pengakuan, melainkan dengan keberanian untuk menyelesaikan satu kalimat yang selama ini tertahan di kerongkongan.
Jika aku berkata dengan sebenarnya siapa diriku, apakah ada yang tetap tinggal?
Ataukah mereka akan menjauh perlahan, seperti yang sering terjadi?
Aku iri pada mereka yang bisa menangis dengan lantang.
Yang bisa marah tanpa takut dihakimi.
Yang bisa mengucap, "Aku tidak baik-baik saja," tanpa harus menunduk.
Aku hanya bisa diam, dan diam itu begitu padat hingga tak menyisakan ruang untuk bernapas.