Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Saat Sibuk, Diri Kehilangan Hidup yang Nyata

17 Juli 2025   03:56 Diperbarui: 17 Juli 2025   03:56 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Simanta Saha di Unsplash 

 

Artikel reflektif ini mengajak kita menyadari bagian-bagian hidup yang sering terlewat saat terlalu sibuk, seperti waktu diam dan momen jeda, yang justru menyimpan makna terdalam kehidupan.


Tidak semua waktu kita jalani dengan sadar. Sebagian besar justru berlalu begitu saja tanpa kita hidupi. Waktu tunggu, momen diam, langkah kecil yang tak pernah kita beri makna. Artikel ini bukan tentang efisiensi atau manajemen waktu, melainkan tentang keberanian untuk hadir di detik yang tampak sepele. Karena bisa jadi, justru di situlah letak kehidupan yang paling utuh.

 

Kita hidup dalam dunia yang tidak sabar. Segala sesuatu berlomba untuk segera selesai, segera tercapai, dan jarang memberi ruang untuk berhenti sejenak. Dalam derasnya laju waktu yang kita kejar setiap hari, pernahkah kita bertanya: adakah detik yang tidak sempat kita hidupi?

Malam ini, saat mesin cuci berdengung pelan dari sudut rumah dan bulan sabit menggantung seperti irisan keheningan di langit yang gelap, aku duduk diam. Tidak sedang melakukan apa-apa. Tidak pula sedang mengisi waktu luang dengan aktivitas produktif. Hanya duduk, menarik napas panjang dari hidung, menahannya sejenak, lalu melepaskannya perlahan. Nafas menjadi jangkar, tubuh mulai lembut, dan pikiran tetap saja berlari. Meloncat ke urusan esok hari, atau ke peristiwa lalu yang belum tuntas di hati. Tetapi aku mencoba untuk tetap hadir di sini. Di saat ini.

Ternyata, menghadirkan diri di detik ini tidaklah mudah.

Kita sering mengira bahwa hidup adalah tentang momen-momen besar seperti kelulusan, pernikahan, pekerjaan impian, atau pencapaian finansial. Namun kenyataannya, sebagian besar hidup terjadi di sela-sela. Dalam waktu tunggu. Dalam detik antara dua keputusan. Dalam langkah kaki menuju pertemuan. Dalam pagi yang terlalu senyap dan malam yang terlalu panjang. Di situlah kita sebenarnya hidup. Namun anehnya, justru waktu-waktu itulah yang sering kita abaikan.

Kita menunggu kereta sambil memeriksa notifikasi. Kita mengantre sambil menggulir layar tanpa arah. Kita duduk di kursi makan sambil berpikir tentang tugas berikutnya. Waktu tidak pernah benar-benar kosong. Selalu ada sesuatu yang menyelip, menyibukkan, dan menyita. Seolah kita takut pada kekosongan itu sendiri. Kita takut menghadapi ruang hampa yang sebenarnya penuh dengan makna.

Padahal, waktu jeda atau diam dibutuhkan tubuh seperti ponsel yang sedang fast charging. Dalam satu jam istirahat total, kita bisa mengisi ulang tenaga yang cukup untuk dua belas hingga lima belas jam ke depan. Namun tubuh bukan hanya soal tenaga. Ia juga menyimpan kelelahan yang tak terlihat, yaitu kelelahan jiwa. Dan kelelahan jiwa tidak bisa diobati dengan tidur singkat atau kopi hitam. Ia butuh ruang sunyi. Ia butuh diakui keberadaannya.

Pernahkah kamu benar-benar menyimak detak detik jam saat tidak melakukan apa pun? Pernahkah kamu menatap langit senja tanpa mencoba mengabadikannya? Atau menyentuh air tanpa buru-buru mengeringkannya? Momen-momen itu barangkali tampak remeh, tetapi justru di sanalah hidup berbisik paling jujur.

Kita terbiasa mengaitkan makna hidup dengan hasil. Dengan pencapaian. Maka wajar jika kita terus merasa tertinggal. Kita berlari mengejar daftar tugas, lalu kelelahan, lalu merasa bersalah karena tidak produktif. Dan siklus itu terus berulang. Lalu kita heran, mengapa tetap merasa kosong padahal hari-hari selalu penuh?

Mungkin jawabannya bukan pada apa yang kita lakukan, melainkan bagaimana kita hadir saat melakukannya. Apakah kita benar-benar hidup, atau hanya menjalani waktu secara otomatis?

Diam bukan tanda malas. Jeda bukan tanda menyerah. Menunda sejenak bukan bentuk kemunduran. Semua itu adalah cara tubuh dan jiwa berbisik, "Beristirahatlah. Hadirlah. Dengarkan aku." Namun kita sering menolak. Kita lebih percaya pada kebisingan luar daripada panggilan hening dari dalam.

Aku sendiri tidak selalu berhasil hadir. Bahkan saat mencoba duduk diam malam ini, pikiranku masih sering mencuri kesempatan untuk melompat ke agenda besok atau luka lama. Namun aku belajar bahwa kesadaran bukan soal berhasil total, melainkan tentang keberanian untuk kembali. Kembali ke napas. Kembali ke tubuh. Kembali ke momen ini.

Maka, mari kita tanyakan pada diri sendiri:
Apa yang sebenarnya kita kejar dalam kesibukan ini?
Apakah kita masih hidup, atau hanya mengikuti rutinitas yang tidak pernah kita pertanyakan?
Mengapa momen diam membuat kita gelisah?
Dan di mana sebenarnya letak rasa cukup dalam hidup ini?

Mungkin kita tidak harus menjawab semua itu sekarang. Cukup menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan ini layak ditemani. Hidup bukan hanya tentang menyelesaikan sesuatu, tetapi juga tentang menyadari sesuatu. Tentang mengenali suara hati yang selama ini terkubur dalam agenda dan notifikasi.

Jadi malam ini, aku hanya ingin mengajakmu berhenti sejenak. Tarik napas. Perhatikan alirannya. Rasakan tubuhmu menyentuh lantai, atau kursi, atau tanah. Dengarkan suara di sekelilingmu. Rasakan keberadaanmu. Dan biarkan waktu menjadi apa adanya. Tidak dikejar, tidak diatur, dan tidak dinilai.

Karena bisa jadi, dalam waktu yang tidak kita hidupi, hidup sedang berbicara paling dalam.

Di dunia yang sibuk, diam adalah keberanian. Saat kita berhenti dan hadir, kita tidak sedang membuang waktu, melainkan memeluknya. Semoga di antara kesibukan yang padat dan tugas yang tidak kunjung selesai, kamu bisa menemukan satu detik yang kamu hidupi sepenuhnya. Di situlah, kehidupan dimulai kembali.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun