Kadang kita ingin menghilang tanpa jejak, bukan untuk lari, tapi untuk pulang pada diri. Refleksi tentang jeda, sunyi, dan keberanian menjadi tidak terlihat.
Dalam hidup yang selalu meminta kita hadir, ada keinginan diam-diam yang tumbuh: pergi tanpa pamit, menepi tanpa jejak. Bukan karena benci, tapi karena rindu pada sunyi. Esai ini mencoba menangkap suara lirih itu---tentang keinginan sederhana yang sering tak kita beri ruang.
Kadang muncul keinginan itu, diam-diam dan samar, seperti kabut dini hari yang melintasi ladang ingatan. Bukan keinginan untuk pergi selamanya, melainkan untuk menghilang sejenak, menepi dari keramaian, menyusut dari sorotan, dan meredup dari segala identitas yang terlalu lama kita pakai tanpa sempat bertanya, masihkah ini milikku?
Ada hari-hari ketika tubuh merasa cukup hanya dengan menjadi bayang-bayang. Tidak ingin menjawab pesan, tidak ingin menjelaskan alasan. Hanya ingin menjadi gema batin yang terdengar di ruang tanpa nama. Sebuah ruang yang tidak meminta penjelasan, tidak mendesak produktivitas, tidak menagih performa. Sebuah dunia yang tak meminta apa-apa, selain diam yang utuh.
Fantasi tentang menghilang mungkin terdengar dramatis. Tapi sebenarnya, ia lebih akrab dari yang kita kira. Muncul saat kita menatap layar terlalu lama hingga mata menjadi kering, muncul saat suara tawa palsu di kantor terdengar lebih bising dari beban di kepala, muncul saat kita berjalan di tengah keramaian namun merasa tak benar-benar berada di sana. Kita ingin lenyap, bukan karena membenci hidup, tapi karena tubuh dan jiwa sama-sama lelah mewakili peran yang bahkan tidak kita pilih sejak awal.
Apakah salah bila kita ingin menghilang untuk sejenak?
Ada semacam rasa bersalah ketika kita menginginkan waktu untuk tidak terlihat. Seolah hak untuk menepi adalah sebuah dosa, padahal mungkin justru di situlah kita menemukan diri sendiri yang tertimbun oleh rutinitas. Kita terlalu sering hadir sebagai versi yang diharapkan orang lain. Anak yang kuat, rekan kerja yang cekatan, pasangan yang memahami. Tapi siapa yang mendengarkan suara dari dalam yang berkata, "aku ingin diam hari ini, tanpa harus memberi alasan"?
Meninggalkan tanpa jejak bukanlah tentang melupakan segalanya, melainkan tentang memberi ruang agar kita bisa mengingat kembali siapa yang benar-benar sedang hidup dalam diri ini. Kadang kita hidup terlalu lama dalam alur yang ditentukan dari luar. Kalender yang penuh, janji yang harus ditepati, performa yang mesti dijaga. Dan pada titik tertentu, keinginan yang tak pernah dikatakan itu muncul: "bolehkah aku pergi barang dua hari saja tanpa memberi kabar kepada siapa pun?"
Aku pernah merasakannya. Di tengah tumpukan pekerjaan yang datang tanpa jeda, tubuhku tetap bergerak, tapi pikiranku ingin rebah di bawah pohon, mengamati dedaunan berguguran, merasakan angin tanpa arah menyentuh kulit. Ingin rasanya menghentikan waktu, bukan untuk bersembunyi, tapi untuk melihat hidup dari sisi yang lebih lembut. Agar aku tahu, aku masih ada, dan aku masih utuh meski tidak dilihat siapa pun.
Rasa lelah itu tidak selalu berasal dari pekerjaan atau tanggung jawab yang banyak. Kadang ia muncul dari rasa hampa yang tidak bisa dijelaskan. Kita bisa merasa lelah bahkan ketika tidak melakukan apa-apa. Bukan karena malas, tapi karena kehadiran kita di dunia terasa tidak utuh. Seperti sedang memerankan naskah yang tak pernah kita tulis, membaca kalimat yang tidak berasal dari suara kita sendiri. Dalam kondisi seperti itu, keinginan untuk menghilang justru terasa seperti napas yang menyelamatkan.
Lalu, apa yang sebenarnya kita cari saat ingin pergi tanpa jejak?