Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Tuhan Mengetuk di Tengah Kesibukan Kita

22 Juni 2025   09:18 Diperbarui: 22 Juni 2025   09:18 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kabut pagi masih menggantung, enggan benar-benar pergi. Langit berwarna jingga lembut, seolah matahari sedang bimbang untuk muncul sepenuhnya. Ia tampak ragu, seakan tak ingin mengganggu keheningan yang belum tuntas. Di antara kesenyapan yang langka itu, udara terasa bersih, bening, dan nyaris suci. Hanya ada suara langkah kaki, napas yang mulai disadari, serta detak jantung yang perlahan mengingatkan bahwa kita hidup. Di momen seperti ini, tanpa perlu kata, kita seolah diingatkan bahwa Tuhan tak pernah jauh. Hanya saja, kitalah yang kerap menjauh, tenggelam dalam riuh dunia yang tak kunjung reda.

Kini, kita hidup di zaman yang terus menyala. Segala hal terhubung, namun tidak semua menyentuh. Gawai kita tidak pernah tidur, bahkan ketika mata kita telah lelah. Suara notifikasi menjadi seperti detak tambahan yang memaksa hari bergerak tanpa jeda. Grup percakapan yang tak henti berbunyi, email yang terus berdatangan, dan aktivitas menggulir layar tanpa arah, semuanya menyatu dalam satu arus deras yang menggerus ketenangan batin. Dalam pusaran itu, bagian terdalam dari diri kita yang dulu senyap dan bening, perlahan menjadi keruh. Ruang sunyi di dalam diri menyempit, hampir tak tersisa.

Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri, di tengah rutinitas yang padat dan sibuk ini, apakah kita masih punya jeda untuk menyapa batin? Masihkah ada ruang untuk mendengar suara dari dalam? Bukan suara yang keras atau menuntut perhatian, melainkan bisikan lembut yang hanya bisa terdengar jika kita bersedia diam. Kita sering memanggil nama Tuhan dalam doa, namun di saat yang sama pikiran kita berkelana, hati kita tak benar-benar hadir. Padahal, ruang untuk berjumpa dengan-Nya tak pernah sesulit yang kita kira. Ia ada di sini, setiap saat, hanya menunggu kita benar-benar hadir.

Suatu pagi, saya melangkah keluar rumah tanpa membawa ponsel. Tidak ada tujuan jelas, hanya ingin berjalan kaki dan membiarkan tubuh bergerak mengikuti irama yang tenang. Saat itu, embun pagi masih menggantung di pucuk rumput, daun-daun tampak bersih, dan langit tampak jujur. Napas saya keluar masuk seperti biasa, tetapi kali itu saya menyaksikannya dengan penuh perhatian. Langkah kaki saya bukan sekadar berpindah tempat, melainkan menjadi gerakan yang membawa saya masuk ke dalam. Tanpa disadari, itu adalah meditasi gerak. Tidak rumit, tidak penuh aturan. Hanya tubuh, napas, dan kesadaran yang perlahan saling menyapa.

Mungkin inilah yang disebut sebagai ruang sunyi. Bukan tempat tanpa suara, tetapi ruang di mana kita bisa mendengar dengan lebih jernih. Mendengar detak hati sendiri. Mendengar pikiran yang selama ini kita biarkan berlarian liar. Bahkan mendengar suara Tuhan yang tidak datang dalam kalimat, tapi hadir dalam kesadaran yang utuh.

Banyak orang menjalani hari dengan rutinitas yang sama. Bangun, bekerja, menyelesaikan tugas, kembali tidur. Segalanya terasa seperti pola berulang yang lama-kelamaan membuat kita lupa alasan di balik semua itu. Kita kelelahan, bukan hanya karena kesibukan, tetapi karena kehilangan makna. Hari-hari yang berlalu menjadi seperti lagu yang diputar berulang-ulang, sampai telinga dan hati tidak lagi sadar sedang mendengarkan. Padahal, setiap pagi adalah lembaran baru. Bahkan jika isinya tampak sama, cara kita mengisinya bisa berbeda.

Kita memang tidak selalu bisa mengubah aktivitas atau tanggung jawab yang menanti. Namun, kita bisa mengubah cara hadir dalam setiap momen. Kita bisa memilih untuk tidak hanya melakukan sesuatu, tetapi benar-benar hidup di dalamnya. Membuat secangkir teh, misalnya, bisa menjadi pengalaman yang utuh jika kita hadir. Kita bisa merasakan aroma hangatnya, mengamati uap yang naik pelan, dan menyadari kehangatan yang menyentuh tangan. Dari hal yang tampak sederhana, ruang sunyi perlahan muncul, mengisi sela-sela yang tadinya penuh dengan kesibukan.

Saya mengenal seorang teman yang memiliki kebiasaan menulis tiga hal kecil yang membuatnya bersyukur setiap malam. Kadang hanya tentang sinar matahari yang menyelinap lewat jendela, atau suara anaknya yang tertawa tanpa beban. Namun dari kebiasaan itu, ia belajar melihat harinya dengan cara yang baru. Hari-hari yang tadinya datar perlahan berubah menjadi penuh warna. Bukan karena hidupnya berubah drastis, tetapi karena cara memandangnya menjadi lebih jernih. Seperti danau yang hanya bisa memantulkan bayangan langit jika permukaannya tenang.

Ruang sunyi tidak datang dengan sendirinya. Ia tidak muncul ketika kita sedang sangat sibuk, apalagi saat kita menunda-nunda. Ia perlu diciptakan. Tapi yang perlu kita lakukan tidaklah rumit. Kita hanya perlu berhenti sebentar, hadir dengan penuh perhatian, dan membiarkan batin bernapas. Duduk diam beberapa menit di pagi hari bisa menjadi awal yang baik. Berjalan tanpa tujuan sambil menyadari langkah dan napas, atau mencuci piring sambil memperhatikan gerakan tangan dan suara air, semuanya bisa menjadi jalan menuju ruang dalam itu.

Dalam keheningan yang kita ciptakan sendiri, kita memberi ruang bagi Tuhan untuk hadir. Ia tidak datang dengan suara keras, tidak memaksa masuk. Ia hadir seperti cahaya pagi yang perlahan menyingkap kabut. Lembut, namun menghangatkan. Hening, namun menyentuh.

Pagi itu, ketika kabut mulai menipis dan langit perlahan berubah menjadi biru terang, saya berdiri diam sejenak. Tidak ada suara yang saya dengar selain napas sendiri. Tapi justru di saat seperti itu, saya merasa dekat. Bukan karena semua masalah telah selesai, atau karena saya tiba-tiba tercerahkan, tetapi karena saya berhenti. Saya memberi ruang bagi keheningan. Dan di situlah, dalam ruang sunyi itu, saya merasa dijemput oleh sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pikiran. Sesuatu yang sederhana tapi nyata. Hadirnya Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun