Pernahkah kamu merasa hidupmu sedang berdoa, bahkan saat mulutmu tak mengucapkan satu pun lafaz permohonan?
Kita terbiasa memahami doa sebagai ritual yang diucapkan di pagi atau malam hari, dalam sunyi atau ramai, di rumah ibadah atau kamar tidur. Menunduk, menengadah, lalu menyampaikan harapan pada sesuatu yang lebih tinggi dari kita. Tetapi, adakah doa yang justru tak terdengar? Yang tidak ditulis, tidak diucap, bahkan tidak disadari, tapi dijalani?
Menurut Wikikamus, doa diartikan sebagai permohonan kepada Tuhan untuk memperoleh kebaikan. Sebuah bentuk komunikasi vertikal yang personal dan sakral. Namun, dari sudut pandang spiritual Yunani, kata doa berasal dari proseuchomai (), yang secara harfiah berarti menghubungkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Maknanya bukan semata memohon, melainkan menyerahkan seluruh hidup sebagai bentuk keterhubungan total. Doa, dengan demikian, tak hanya hadir dalam kata-kata, tapi mengalir dalam cara hidup. Ia tidak berhenti di bibir, tapi bergerak lewat langkah.
Sebuah artikel dari University of Notre Dame menegaskan, the truest form of prayer is the life that aligns with God's will --- where the whole person becomes the prayer. Artinya, doa tidak lagi menjadi sekadar aktivitas spiritual, melainkan identitas. Ia bukan bagian dari jadwal, tapi jantung dari seluruh keberadaan manusia.
Orang-orang yang menjalani hidupnya sebagai doa mungkin tidak dikenal karena banyaknya ritual. Mereka lebih sering ditemukan dalam kesetiaan yang diam-diam: merawat orang tua yang sakit, bekerja dengan kejujuran meski tanpa pengawasan, membantu orang lain tanpa menunggu terima kasih. Mereka tidak memisahkan antara hidup dunia dan hidup rohani. Setiap interaksi, pekerjaan, dan keputusan adalah bagian dari penyembahan. Doa mereka tidak hanya dibacakan di tempat ibadah, tapi dijalankan di pasar, di kantor, di jalanan. Tidak untuk didengar manusia, tetapi untuk menyelaraskan diri dengan sesuatu yang lebih tinggi dan lebih hakiki.
Namun, menjalani doa dalam kehidupan sehari-hari bukan tanpa tantangan. Banyak di antara kita hidup dalam tekanan sosial yang memisahkan antara yang dianggap "sakral" dan yang "sekuler". Kita diajarkan bahwa doa ada waktunya, ada bentuknya, ada tempatnya. Maka saat seseorang berkata bahwa "hidupku adalah doa", ia sering dicurigai bermain-main dengan makna. Lebih sulit lagi ketika kita diminta untuk melepaskan kemelekatan. Melepaskan pujian, pengakuan, bahkan keinginan untuk dilihat sebagai orang baik. Sebab, doa yang dijalankan membutuhkan komitmen untuk hidup dalam kebenaran, bahkan ketika tidak ada yang melihat. Bahkan ketika tidak ada yang mengucapkan "amin".
Motivasi menjadi titik paling genting. Apakah kita benar-benar menjalani hidup sebagai bentuk pengabdian, atau hanya menyusun citra agar tampak religius? Dalam bahasa Inggris, kata "panggilan" disebut vocation, yang menurut Cambridge Dictionary berarti a strong feeling of suitability for a particular career or occupation. Sebuah dorongan batin untuk hidup dengan maksud. Sebaliknya, ambition didefinisikan sebagai a strong wish to achieve something, such as success, power, or fame. Ketika doa dijalankan dengan ambisi, ia mulai kehilangan bentuk aslinya---dari pengabdian menjadi pencitraan, dari kerendahan hati menjadi alat untuk menaikkan status, dari pelayanan menjadi batu loncatan menuju pengaruh.
Di ruang sosial dan keagamaan, kita bisa melihat ini dalam bentuk-bentuk doa yang dipertontonkan seperti panggung politik: ada sorotan, ada posisi, ada citra yang dijaga. Mereka yang menjalani doa karena panggilan cenderung bekerja dalam diam, tak banyak bicara, tapi hadir ketika dibutuhkan. Sementara mereka yang didorong oleh ambisi lebih banyak tampil, memimpin, dan mengklaim tempat. Ini bukan soal salah atau benar, tapi tentang kejujuran niat. Bila akar motivasinya adalah pencapaian pribadi, maka doa berubah wujud---dari relasi menjadi reputasi.
Menjalani hidup sebagai doa adalah jalan yang sunyi. Tak banyak pujian di sana. Tak banyak sorotan. Tapi ada damai yang dalam. Ada rasa cukup yang tidak bisa dijelaskan, karena bersumber dari tempat yang tak bergantung pada pengakuan siapa pun. Hidup sebagai doa berarti membiarkan langkah-langkah kita menulis ayat-ayat yang tak pernah dibaca. Membiarkan keputusan-keputusan kecil menjadi kesaksian tanpa suara. Dan membiarkan seluruh diri menjadi persembahan---bukan untuk dilihat, melainkan untuk dijalani dengan sungguh-sungguh.
Di tengah dunia yang riuh oleh validasi, menjalani doa adalah bentuk keberanian. Keberanian untuk tak tampil, tapi tetap hadir. Untuk tak dikenal, tapi tetap memberi dampak. Untuk tak diakui, tapi tetap menyala. Terutama bagi mereka yang aktif dalam organisasi sosial, spiritualitas yang dijalani dalam diam bisa menjadi poros yang menyeimbangkan: menjadikan pelayanan bukan tentang kuasa, melainkan ketulusan.
Kini, saat kata-kata telah kita baca dan makna mulai menyelinap ke dalam kesadaran, pertanyaannya kembali pada kita masing-masing: apakah doa-doa kita berakar pada keheningan yang jujur, atau diam-diam digerakkan oleh hasrat untuk diakui?
Ketika kita memilih berdoa---atau tak berdoa dengan kata, tapi dengan laku hidup---kepada siapa sebenarnya arah itu kita tujukan? Kepada Tuhan, atau kepada dunia?
Apakah cinta yang mendorongnya, atau ambisi?
Karena mungkin, doa yang paling jujur bukanlah yang terdengar oleh telinga manusia, tetapi yang dijalani dengan tubuh dan hati. Bukan yang dipanjatkan, tetapi yang dijalankan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI