Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bioteknologi Baru

25 Agustus 2018   17:47 Diperbarui: 25 Agustus 2018   18:29 1284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara historis, pokok-pokok persoalan atau isu-isu utama tentang bioetika yang dihadapi orang Kristen adalah berkaitan dengan penghancuran kehidupan manusia yang “tidak bersalah”, baik di awal kehidupan dalam hal aborsi maupun pada akhir hidup dalam hal eutanasia. Meskipun keduanya tetap menjadi topik yang sangat menentukan pada awal abad ke-21, berbagai dilema bioetika yang baru muncul selama puluhan tahun terakhir. Masalahnya bukan berkaitan dengan penghancuran kehidupan manusia, melainkan dengan penciptaan dan manipulasi kehidupan manusia. Artikel ini akan meninjau secara singkat kemajuan teknologi di balik dilema bioetika yang dimaksud. Hal itu akan dilanjutkan dengan suatu tinjauan yang lebih luas mengenai kekuatan-kekuatan sosial dan filosofis yang mendasarinya. Garis besar tanggapan Kristen yang alkitabiah akan menjadi bagian terakhir dari artikel ini.

Kemajuan teknologi: fertilisasi in vitro

Pada tahun 1978, kerja sama antara ahli embrio Dr. Robert Edrwards dan dokter kandungan Patrick Steptoe berakibat pada kelahiran Louise Brown, “bayi tabung” pertama di dunia, di Rumah Sakit Umum Distrik Oldham di utara Inggris. Seseorang menggambarkan kelahiran ini sebagai saat istimewa dalam evolusi manusia. Edwards dan Steptoe adalah pendiri ilmu baru dalam hal teknologi reproduksi. Dari satu kelahiran di sebuah rumah sakit tersebut, penggunaan Fertilisasi in Vitro (selanjutnya: FIV) telah berkembang pesat di seluruh dunia. Pada tahun 2000, lebih dari lima puluh negara telah mendirikan program FIV, termasuk banyak di antaranya adalah negara-negara yang sedang berkembang. Pada saat artikel ini ditulis, lebih dari 1.000.000 anak mungkin telah tercipta sebagai hasil dari FIV di seluruh dunia. Patut dicatat, sebagian besar dari anak-anak tersebut berusia kurang dari tujuh tahun pada saat penulisan artikel ini. Namun, di Amerika Serikat (selanjutnya: AS) saja mungkin ada lebih dari 2.000.000 pasangan yang ingin memiliki anak, namun tetap tidak subur sehingga ada potensi yang besar sekali akan peningkatan penggunaan FIV. Juga ada keuntungan komersial besar yang dapat diperoleh. Dalam klinik FIV biasa di AS, suatu pasangan dapat menghabiskan $ 40.000 sampai lebih dari $ 200.000 untuk satu kali kehamilan, dan survei menunjukkan bahwa para spesialis reproduksi merupakan salah satu dokter berpenghasilan tertinggi di AS.

FIV bukan saja menawarkan sarana untuk memberikan anak-anak bagi pasangan tidak subur, melainkan juga menawarkan akses laboratorium bagi telur manusia dan embrio manusia, yang memungkinkan dilakukannya pengujian, penelitian, dan rekayasa embrio. Jadi, tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa pengembangan FIV sama sekali telah mengubah masa depan pemahaman kita tentang reproduksi manusia serta masalah peran orang tua atau pengasuhan anak. Hal itu merupakan salah satu contoh terbaik bagaimana perkembangan teknologi dapat menyebabkan perubahan dalam cara berpikir manusia tentang dirinya sendiri.

Menyusul perkembangan FIV, kini semua anak dapat dianggap sebagai produk dari empat komponen: (1) sumber telur, (2) sumber sperma, (3) satu rahim atau uterus, dan (4) satu atau lebih pemberi perwatan atau pengasuh setelah lahir. Cara lain untuk melihat hal tersebut adalah bahwa semua anak bisa saja memiliki tiga ibu:

  • ibu genetik, yaitu sumber telur,
  • ibu pengemban atau pembawa, yaitu yang menyediakan rahim,
  • ibu sosial, yaitu yang menjalankan perawatan setelah lahir

Kemungkinan dan kombinasi dalam hal ini sungguh luar biasa. Donasi sperma atau donasi telur memungkinkan bahwa salah satu unsur dari susunan genetik embrio disediakan oleh donor anonim; dapat juga terjadi ada sumbangan embrio, di mana para orang tua genetik menyumbangkan embrio untuk ibu pengemban yang kemudian merawat dan memelihara si anak. Lalu ada kehamilan pengganti (surrogate pregnancy), di mana para orang tua genetika menyumbangkan embrio kepada seorang ibu pengemban dengan maksud agar si anak nantinya diserahkan kembali kepada mereka setelah lahir. Begitu dibuat, embrio dapat dibekukan tanpa batas waktu dalam nitrogen cair dan dicairkan untuk implantasi kembali dalam jangka waktu lebih dari satu dekade setelah pembekuan. Akhirnya, ada “adopsi” embrio di mana sebuah embrio yang “terlantar” disumbangkan kepada seorang ibu pengemban, yang kemudian memberikan anak yang dilahirkannya kepada orang tua angkat untuk dirawat setelah ia dilahirkan. Embrio juga dapat digunakan untuk penelitian atau menjadi sarana rekayasa, guna menciptakan sel induk embrio untuk maksud dan tujuan terapi.

Seleksi jenis kelamin

Salah satu dari banyak pilihan yang telah tersedia untuk orang tua adalah penggunaan teknik genetika canggih untuk menyaring embrio guna mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan. Hal itu dapat dimanfaatkan untuk menghindari masuknya embrio yang membawa penyakit serius atau fatal. Bahkan juga dapat digunakan untuk memilih jenis kelamin anak yang dilahirkan. Filsuf John Harris dari Universitas Manchester, dengan rapi menyusun argumen bahwa dalam cara pandang sekuler liberal, pilihan orang tua harus diutamakan. Orang tua harus dapat memilih jenis kelamin anak mereka, daripada menyerahkannya kepada nasib atau kebetulan belaka. “Pilihannya adalah apakah masalah jenis kelamin anak Anda secara moral sangat berarti sehingga terlalu penting untuk diserahkan kepada kebetulan atau takdir saja, atau hal tersebut secara moral tidak terlalu penting sehingga dalam hal ini tidak ada salahnya kalau kita membiarkan orang tua memilih.”

Logikanya benar! Menyerahkan sesuatu sepenting jenis kelamin anak masa depan Anda kepada nasib atau kepada kebetulan saja, sama sekali tidak masuk akal dalam alam semesta yang materialistik. Hal itu hanya masuk akal dalam cara pandang teistik, jika seorang anak dilihat sebagai hadiah yang misterius (baca: anugerah) dan bukan sebagai produk perencanaan dan kecerdikan manusia. Namun, sebuah konsultasi umum akbar yang diselenggarakan oleh UK Human Fertilization and Embryology Authority pada 2003 menunjukkan bahwa mayoritas publik sangat menentang pemilihan jenis kelamin tersebut kecuali dengan alasan medis yang tegas, yang di dalamnya pemilihan akan digunakan untuk menghindari penyakit yang berkaitan dengan jenis kelamin. Meskipun ada alasan pragmatis untuk menentang pemilihan jenis kelamin, seperti kemungkinan terjadinya pergeseran dalam keseimbangan jumlah laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, tampaknya alasan utama dari sikap menentang ini adalah intuisi mendasar manusia (baca: hukum moral universal) bahwa memilih jenis kelamin anak seseorang adalah salah. Kendati demikian, sejumlah ahli di bidang kesuburan tetap berpendapat bahwa pemilihan jenis kelamin merupakan hak asasi manusia yang penting.

Pada tahun 2001, organisasi American Society for Reproductive Medicine memutuskan bahwa membantu pasangan untuk memilih jenis kelamin bayi mereka agar ada keragaman atau variasi gender adalah wajar dan etis. Dalam saran tertulisnya kepada seorang spesialis ketidaksuburan, ketua pelaksana komite etika lembaga tersebut menyatakan bahwa dapat diterima, jika suatu pasangan memilih embrio yang berbeda jenis kelaminnya dari kakaknya.

Tentu saja, pemilihan jenis kelamin dengan menggunakan diagnosis pra-implantasi adalah versi teknologi tinggi dari proses yang telah berlangsung ribuan tahun lamanya. Ada banyak orang di seluruh dunia yang menghadapi tekanan pribadi yang berat untuk menghasilkan bayi dari seks tertentu. Di India, seorang perempuan yang sedang hamil sering dipaksa oleh kerabatnya untuk menjalani tes kehamilan seperti pemindaian ultrasonografi (scanning USG) resolusi tinggi, atau bahkan amniocentesis untuk mengidentifikasi jenis kelamin janin mereka. Jika hasilnya adalah perempuan, maka aborsi menjadi tak terelakkan. Sebuah laporan dalam British Medical Journal memperkirakan bahwa di India setidaknya ada 50.000 janin perempuan yang digugurkan per tahun, menggunakan cara tersebut. Secara khusus, di Delhi saja, sebagian besar aborsi terjadi di klinik aborsi swasta dan pertokoan/tempat penentuan jenis kelamin yang berjumlah kira-kira 2.000. Hal ini tentu saja bisa dipahami. Tes penentuan jenis kelamin menghasilkan keuntungan besar. Walaupun parlemen India telah mengesahkan undang-undang untuk melarang praktik tersebut, masih sulit bahkan mustahil bagi pemerintah untuk melakukan tindak pengendalian atau pengawasan. Diperkirakan bahwa 70% dari semua aborsi di Delhi adalah kasus aborsi janin perempuan. Di beberapa daerah di India, rasio bayi perempuan dengan laki-laki merosot sampai kurang dari 800 perempuan untuk tiap 1.000 anak laki-laki. Laporan terbaru lainnya memperkirakan bahwa pemilihan jenis kelamin menyebabkan sekitar 50.000.000 jumlah perempuan “yang hilang” dalam populasi India secara keseluruhan. Anak perempuan dianggap sebagai beban ekonomi oleh orang tua mereka karena harus membayar mas kawin untuk menikah. Mereka juga dianggap berpotensi mendatangkan malu karena rentan terhadap pelecehan seksual. Tak heran, banyak ahli etika AS dan Eropa telah menyatakan praktik-praktik diskriminatif ini sebagai kekejaman. Sepertinya pilihan jenis kelamin dapat dinyatakan etis atau pantas, tetapi hanyalah bila dilakukan oleh mereka yang menganut asas liberal Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun