Mohon tunggu...
Serly
Serly Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menyanyi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Program Makan Siang Gratis: Antara Harapan dan Kekecewaan

20 Juni 2025   08:36 Diperbarui: 20 Juni 2025   08:36 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Program makan siang gratis yang digagas oleh pemerintah seharusnya menjadi terobosan penting dalam mengatasi stunting dan meningkatkan gizi anak sekolah. Gagasan ini tidak hanya menyentuh aspek kesehatan, tetapi juga pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Namun, di balik kemasan program yang terdengar mulia tersebut, kenyataan di lapangan menunjukkan berbagai masalah yang berpotensi menggagalkan tujuan mulia tersebut.

Pertama-tama, ada masalah distribusi. Presiden Prabowo sendiri dalam pernyataannya pada awal Juni 2025 mengakui bahwa program ini belum dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat. Hingga pertengahan tahun, program ini baru menyasar 4,9 juta jiwa dari total target 82,9 juta penerima, dengan anggaran yang baru terserap 2,6% dari total Rp171 triliun (Reuters, 17 Juni 2025). Ketidakmerataan distribusi ini tidak hanya menjadi masalah administratif, tetapi juga menimbulkan kecemburuan sosial. Ada daerah yang sudah mendapatkan bantuan pangan secara rutin, sementara daerah lain bahkan belum tersentuh sama sekali. Kesenjangan seperti ini dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan besar.

Lebih parahnya lagi, telah terjadi beberapa kasus keracunan massal akibat konsumsi makanan yang seharusnya bergizi dan aman. Di Sukoharjo, 40 siswa keracunan setelah menyantap ayam yang diolah dalam program tersebut (Detik.com, 13 Mei 2025). Kejadian serupa juga terjadi di Cianjur, di mana 75 siswa jatuh sakit, dan di PALI, Sumatera Selatan, di mana 64 anak sekolah menjadi korban. Bahkan, media asing seperti Asahi Shimbun dari Jepang memberitakan bahwa lebih dari 1.000 anak di Indonesia terindikasi mengalami gejala keracunan akibat program ini. Fakta ini menunjukkan kurangnya pengawasan dalam kualitas makanan, mulai dari proses produksi, penyimpanan, hingga pendistribusiannya ke sekolah-sekolah. Ketika sesuatu yang seharusnya memberikan manfaat justru membawa mudarat, maka perlu ada evaluasi besar-besaran terhadap rantai pelaksanaannya.

Yang tak kalah penting adalah masalah pembayaran kepada penyedia jasa katering. Banyak laporan yang menyebutkan bahwa mitra dapur lokal yang terlibat dalam program ini belum menerima pembayaran dari pemerintah. Di Cianjur, beberapa penyedia jasa katering bahkan menghentikan pengiriman makanan karena dana yang dijanjikan belum cair (Kompas.com, Mei 2025). Kondisi ini jelas merugikan para pelaku UMKM yang menjadi tulang punggung pelaksanaan teknis program. Ketika dapur-dapur ini tidak dibayar, maka kualitas makanan akan menurun dan keberlangsungan program pun terancam.

Melihat kondisi tersebut, sudah saatnya pemerintah berhenti melihat program makan siang gratis sebagai proyek pencitraan politik. Harus ada komitmen nyata untuk memperbaiki tata kelola, mempercepat pencairan anggaran, meningkatkan pengawasan kualitas, dan memastikan para pelaksana di lapangan juga mendapatkan haknya. Program ini memiliki potensi besar untuk menjadi perubahan positif bagi generasi muda Indonesia, namun hanya jika dijalankan dengan serius, transparan, dan bertanggung jawab.

Jika tidak, maka program yang awalnya diharapkan menjadi solusi ini justru akan menjadi sumber masalah baru, mulai dari makanan yang tercemar, ketidakadilan yang semakin melebar, hingga mengikis kepercayaan publik. Jangan sampai makan siang gratis berubah menjadi bencana gratis yang disediakan negara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun