Mohon tunggu...
SRI HARTONO
SRI HARTONO Mohon Tunggu... Supir - Mantan tukang ojol, kini buka warung bubur ayam

Yang penting usaha

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Merdeka, "Kreativitas Lulusan Covid"

28 November 2022   09:00 Diperbarui: 28 November 2022   09:09 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tari Kreasi Murid - dokpri

Apakah Anda mengira bahwa anak sekarang terlalu banyak main smartphone, malas, bermental cemen dan individual? 

Jika jawabannya YA, mungkin Anda harus mengkoreksinya jika melihat kegiatan murid murid kelas VII SMP ini. 

Bertepatan dengan Hari Guru Nasional tanggal 25 Nopember kemarin, SMPN 2 Salatiga menggelar pameran dan pentas seni murid murid kelas VII. Kegiatan tersebut merupakan salah satu pengeja wantahan materi dari Kurikulum Merdeka dengan topik Kearifan Lokal. Temanya adalah "Salatiga Klangenaning Ati' yang berarti Salatiga sebagai tempat kegembiraan yang terus di rindukan. 

Sebagai salah satu orang tua murid yang bersekolah disana, kami diberi kesempatan melihat kegiatan si buah hati beserta teman temannya. 

Begitu sampai di lokasi, saya langsung menuju stand stand yang disediakan. 

Baru melihat stand pertama, saya berteriak dalam hati; 

"Astaga.., ini hasil karyanya anak anak kelas VII SMP?"

Stand pertama memamerkan sebuah permainan sepak bola via komputer hasil karya mereka. Permainannya sederhana; kita diminta untuk menjawab sebuah pertanyaan yang berhubungan dengan budaya lokal Salatiga. Jika jawabannya benar, bola masuk ke gawang dan mendapat poin. Sebuah permainan mudah dan sederhana namun penuh dengan pembelajaran sejarah lokal. 

Game Sepakbola - dokpri
Game Sepakbola - dokpri

Tiga hal yang saya dapat dari permainan tersebut. 

Pertama; mereka cerdas dan pintar karena mampu membuat sebuah game komputer dalam waktu singkat. 

Kedua; anak anak cerdik mengeksplore tema yang diusung dan (mungkin tidak secara sengaja) up to date dengan pesta olah raga piala dunia yang sedang berlangsung.

Ketiga; empat anak yang tergabung di kelompok ini berhasil berkolaborasi menuangkan ide dan gagasan sambil menyalurkan minat bakat mereka. Kerjasama yang cukup sulit mengingat usia muda mereka umumnya masih mengedepankan ego masing masing. 

Berkunjung ke stand kedua, saya kembali terkagum kagum dan tak habis pikir dengan kreatifitas dan kecerdasan anak anak jaman sekarang. 

Hasil karyanya berupa sebuah permainan yang mengadaptasi permainan monopoli. Ada kotak kotak berisi gambar cagar budaya dan foto pahlawan dari Salatiga, simbol berlian, simbol tanda tanya, simbol tanda seru serta kotak yang mirip dengan fitur KESEMPATAN dan DANA UMUN di permainan monopoli. 

Cara bermainnya dengan 2 peserta atau lebih. Setiap peserta akan melempar dadu. Saat berhenti di salah satu gambar atau simbol tertentu, peserta mendapat tantangan menjawab pertanyaan. Jika berhasil dijawab peserta akan mendapat poin, jika tidak, mereka dihukum pengurangan poin. Semakin sulit tantangan/pertanyaan yang diberikan, poin yang ditawarkan semakin besar. 

Simbol tanda tanya berisikan pertanyaan seputar sejarah Salatiga. Bagi peserta yang berhenti di simbol tanda seru, pertanyaanya seputar SMP Negeri 2 Salatiga. 

Permainan ini disebut PADMANA ARGANI. Kata kata ini diambil dari Bahasa Sansekerta. Padmana berarti bersenang senang sedangkan Argani adalah berani menghadapi tantangan dan bahaya. 

Permainan Padmana Argani - dokpri
Permainan Padmana Argani - dokpri

Dari permainan tersebut terlihat anak anak cerdas dalam mengkombinasikan karyanya dengan tema yang diusung. 

Adaptasi permainan monopoli yang umum dan mudah dimainkan adalah bukti pilihan cerdas. 

Bahasanya mengambil bahasa Sansekerta sebagai bahasa kuno Indonesia yang saat ini jarang digunakan. Hal ini sesuai dengan tema kearifan lokal karena jaman dulu bahasa Sansekerta juga dipakai oleh masyarakat Jawa. 

Penamaan Padmana Agani pas dengan misi permainan dimana ada unsur bersenang senang dan menjawab tantangan. 

Selain itu, mereka menciptakan permainan berisi pelajaran sejarah Salatiga sembari dengan cerdik menyisipkan pertanyaan tentang sekolah mereka.

Saya juga terkesan ketika anak anak tersebut memberi penjelasan tentang karya mereka; menguasai bahan dan percaya diri. 

Saat diberi penjelasan, saya sering mengungkapkan rasa kagum dengan berkata hebat dan mengangkat 2 jempol tangan. Mereka tampak senang dan merasa bangga hasil karyanya diapresiasi sedemikian rupa. Dengan apresiasi ini saya yakin kedepan anak anak ini akan semakin bersemangat berkreasi lebih banyak dan baik. 

Beberapa stand lain juga memamerkan hasil karya anak. Ada permainan teka teki silang baik dikomputer maupun media kertas dan permainan lain yang saya tidak sempat mengeksplornya. Ada juga pertunjukkan multimedia yang menampilkan warisan budaya di kota Salatiga. 

Permainan Teka Teki Silang via multimedia - dok. Sekolah
Permainan Teka Teki Silang via multimedia - dok. Sekolah

Di sudut lain menampilkan stand stand yang menjual merchandise hasil karya anak anak. Kaos, gantungan, kunci alat makan dll. Semuanya dihadirkan dengan tetap mengusung tema kearifan lokal. 

Unsur entertaiment juga dihadirkan dalam kegiatan ini. Hal ini memang tak terlepas dari fenomena anak anak jaman now yang akrab dengan budaya pop lewat Tik Tok, You Tube dan media lain. Ketoprak dan gamelan dimainkan murid murid dengan baik. Disusul dengan tarian kontemporer tapi memakai kostum semi tradisional. Tarian tersebut murni hasil karya mereka sendiri. Walapun kontemporer, namun unsur budaya tetap dimunculkan dalam kreasi anak anak tersebut. 

Saya betul betul sangat kagum dengan karya murid murid kelas VII itu. Belum tentu ketika seumuran, saya bisa menghasilkan karya seperti mereka. 

Bayangkan, murid murid itu bisa menciptakannya dalam waktu 10 hari sembari tetap bersekolah seperti biasanya. 

Mereka juga mantan anak anak SD 'lulusan covid' yang lebih dari 2 tahun tidak mendapat pelajaran secara tatap muka dengan gurunya. Kondisi itu menyebabkan anak anak 'lulusan covid' dianggap berkualitas dibawah standar pembelajaran normal. 

 Selain itu, para bocil ini mengikis anggapan bahwa anak anak jaman internet ini cenderung asosial atau acuh tak acuh. Semua hasil karya yang di pamerkan adalah hasil kerja kelompok 4-5 anak. 

Bagaimana murid murid itu bisa berkreasi sedemikian rupa? 

Berikut 3 pihak yang mendukungnya. 

1. Orang Tua yang 'Nyadar'

Sejak beberapa hari lalu anak kami memang sedikit merepotkan. Ada saja pertanyaan dan permintaan yang diajukan berkaitan dengan tugasnya membuat merchandise yang akan dijual saat pameran. Lucunya, ketika kami memberi masukan, anak wedhok kami justru 'ngeyel', mendebat dan menolak. 

"Papi, mami itu nggak ngerti", demikian alasannya. 

Jelaslah kami merasa dongkol. Sebagai orang tua yang pernah bekerja sebagai Event Organizer, membuat dan menyediakan merchandise bukan barang asing. 

Namun di balik rasa dongkol, saya juga merasa senang. Anak kami tahu apa yang dia mau dan menjadi tugas mereka.  

Beberapa kali si Sulung ini pulang lebih lambat karena harus mengerjakan tugasnya baik di sekolah atau 'jalan jalan' mencari bahan. Tentu ada dana ekstra yang harus dikeluarkan. Namun saya  melihat ada 'rasa rasa' kemandirian dan tanggung jawab yang terpancar dari anak kami yang baru berumur 12 tahun itu. 

Kami mewanti wanti agar dana yang dikeluarkan tidak besar dan tepat manfaat. Dana tersebut juga tidak boleh memberatkan karena tidak semua orang tua mempunyai uang lebih.

Untunglah jualan merchandise mereka laku banyak. Ada uang yang didapat melebihi modal yang disetor. Senang sekali ketika mengetahui anak anak juga belajar tentang seni perdagangan beserta itung itungannya. 

Saya sadar bahwa jaman kami anak anak berbeda dengan generasi saat ini. Lewat smartphone, generasi Z ini terbiasa dengan berbagai informasi dan kreatifitas yang terus menerus diperbaharui. Dalam hal tertentu anak anak lebih paham dan lebih kreatif dari para orang tua. Sekarang adalah jaman kreatifitas. Tugas kami adalah mendorong dan memfasilitasi kreatifitas mereka. 

Saya yakin banyak orang tua lain yang sadar dan sepemikiran.

Beberapa anak terlihat memakai properti yang tidak disediakan sekolah macam laptop dan beberapa peralatan elektronik lain. 

Anak anak juga bergaya lewat kostum dan aneka aksesoris yang tentunya memerlukan usaha dan biaya untuk pengadaannya. Mereka tampak bahagia dan bersenang senang saat melakukan kegiatan tersebut.

Properti, dana, keleluasaan beraktifitas adalah wujud kesadaran dan  dukungan orang tua agar anak anak berkreasi dengan leluasa dan mampu mewujudkannya. 

2. Guru asyik. 

Saya melihat banyak guru yang berbaur dengan para murid. Mereka mengunjungi stand satu persatu. Para pahlawan tanpa tanda jasa itu mencoba permainan, bercanda dan foto foto bersama. Suasana tampak cair. Sungguh asyik melihat hubungan guru dan murid sedekat itu. 

Salah satu guru penanggung jawab yang ingin saya temui untuk mendapat info kegiatan bahkan sedang asyik berjoget bersama murid murid. Saya tak ingin mengganggu momen kebersamaan itu sehingga menunggu beliau sampai selesai berjoget. 

Bu Sofi, nama guru tersebut, kemudian bercerita tentang kegiatan mereka. Beliau takjub hingga terharu melihat antusiasme dan hasil karya anak didiknya. 

Awalnya Bu sofi pesimis bahwa dalam waktu 10 hari para murid mampu menghasilkan karya sesuai standar yang ditentukan. Namun justru ketika karya anak itu terwujud, hasilnya malah melebihi ekspektasi. 

Bu Sofi, yang juga mengajar kelas VIII dan IX, mengakui bahwa Kurikulum Merdeka yang diterapkan dengan tepat, hasilnya adalah murid murid yang kreatif, mandiri dan bertanggung jawab. Dibanding murid murid kelas VIII dan IX yang belum melaksanakan Kurikulum Merdeka, anak anak kelas VII lebih cepat bergerak, bekerja dan berkolaborasi melaksanakan tugas yang diberikan guru. 

Beliau sering dicurhati mereka yang merasa iri karena adik kelas mereka banyak melakukan kegiatan yang menarik. Para kakak kelas ini ingin mendapatkan model pembelajan yang sama seperti adik kelasnya. 

Menurut Bu Sofi, kunci sukses kegiatan mereka adalah kebebasan berkreasi bagi murid dan guru. Dalam hal pembelajaran, guru hanya melakukan bimbingan dan pengawasan. 

Guru tak hanya bertindak sebagai guru, namun mampu terlibat dan terlihat sebagai orang tua dan teman. Guru harus membaur sehingga anak merasa nyaman dan aman. Itulah sebabnya beliau tadi ikut berjoged dengan anak anak. 

Walaupun berbaur, anak anak tetap menghormati gurunya. Saat kami berbincang, ada 4 murid yang mendekat membawa buket bunga. Sambil terisak, salah satu dari mereka memberikan buket itu kepada Bu Sofi sambil mengucapkan terimakasih atas bimbingannya sehingga bisa tampil membawakan kreasi mereka (menurut anak saya banyak teman temannya yang memberikan hadiah kepada guru pembimbing sebagai tanda terima kasih). 

Perbincangan kami sesekali terhenti karena ada murid yang meminta sesuatu kepada Bu Sofi. Rupanya beliau juga memfungsikan diri sebagai sosok pelindung dan penjaga anak anak. Barang barang mereka dititipkan kepada guru Bahasa Jawa itu. 

Menurut Bu Sofi, sebenarnya resistensi dan rasa pesimis juga mewarnai penerapan Kurikulum Merdeka di SMPN 2 Salatiga. Pada awalnya beberapa guru enggan berubah sesuai tuntutan pembelajarannya. Adanya proyek proyek tematik dianggap menambah beban sehingga terjadi kekuatiran tidak tercapainya target nilai akademik. Namun Bu Mujiati (kepala sekolah SMPN 2 Salatiga) mampu meredam resistensi dan rasa pesimis para guru. Bu Mujiati berhasil memotivasi dan membuat para guru tetap berkomitmen dengan tugas mereka. 

Salah satu cara yang digunakan Bu Kepala Sekolah adalah membentuk tim guru yang bertugas membuat konsep kegiatan. Konsep tersebut kemudian diberikan kepada para guru yang bertugas sebagai koordinator kegiatan. Disini terlihat bahwa sejak awal kegiatan guru sudah berkolaborasi dalam memujudkannya. Tidak ada guru yang merasa 'sendirian' ketika melakukan tugasnya. 

3. Guru Magang yang 'friendly'

Ada lagi pihak yang secara tidak langsung berperan dalam keberhasilan kegiatan diatas; stake holder lain yang ada di lingkungan sekolah. 

Dalam pameran itu tampak beberapa mahasiswi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang sedang magang di SMP tersebut. Mereka terlihat akrab dan hampir tak berjarak dengan murid murid; seperti teman, seperti kakak dan adik. Para kakak magang juga turut bergoyang bersama anak anak ketika alunan Trumpet- Narco dari Blasterjaxx dan Timmy dikumandangkan. 

Para Mahasiswi Magang - dokpri
Para Mahasiswi Magang - dokpri

Saya tidak tahu apa peran para mahasiswi magang tersebut dalam kegiatan pameran. Melihat kedekatan mereka, saya mengambil kesimpulan bahwa anak anak merasa nyaman dengan para mahasiswi itu. Jika merasa nyaman tentu anak anak bisa bercanda, curhat atau berdiskusi secara leluasa. Perasaan nyaman itulah yang bisa membantu anak anak berkreasi lebih baik. 

Saya kemudian mengajak ngobrol para guru magang tersebut. Secara bergantian Risky, Fenny, Yuliana, Dela dan Emelda menyampaikan pendapatnya. 

Bersama sama mereka mengakui bahwa 'teman dan adik' itu kreatif dan cerdas. Lebih kreatif dari masa ketika mereka masih SMP. 

Para calon guru itu melihat bahwa internet membawa anak anak tersebut kepada dunia yang kreatif dan inovatif. Untuk itu metode belajar dan mengajar harus berubah, berinovasi sesuai perkembangan jaman. 

Dari kegiatan pameran itu mereka belajar banyak tentang penerapan Kurikulum Merdeka. Ternyata selama ini para mahasiswi tersebut sudah mendapat materinya. Namun mereka masih kesulitan dalam memahami dan menerapkannya. Kemendikbudristek mempersiapkan dengan baik Kurikulum Merdeka dan berkesinambungan. Kurikulum baru ini sudah menjadi salah satu mata kuliah para calon guru. 

Para mahasiswi UKSW itu melihat dan menilai betapa pentingnya hubungan yang cair antara murid dan guru. Walaupun terlihat cair, anak anak tetap bisa hormat dan menjaga perilakunya. Hubungan yang erat ini mampu membuat anak lebih kreatif dan mandiri. Mereka tak ragu untuk bertanya, konsultasi serta menyampaikan pendapat. Hubungan model seperti itu tampaknya sudah diterapkan oleh para mahasiswi magang tersebut. 

Kurikukum Merdeka dinilai oleh mahasiswi magang ini mampu membuat anak menjadi sosok kreatif dan adaptif yang diperlukan untuk menyongsong masa depan. Melihat penerapannya dilapangan, Kurikulum Merdeka dianggap cocok baik bagi murid murid maupun guru milenial. 

Sebagai bagian dari 'generasi internet', guru guru muda itu yakin bahwa mereka mampu mengaplikasikan Kurikulum Merdeka secara baik. 

Saya sendiri tidak memahami secara detil apa itu Kurikulum Merdeka. Mudah mudah kegiatan  pameran dan pentas seni SMPN 2 Salatiga adalah representasi dari hasil Kurikulum baru itu. Murid dan guru bebas berkreasi, ortu dan stake holder lain mau dan mampu bekerja sama membantu mewujudkan kreasinya. 

Salatiga, 261122.148

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun