Mereka juga mantan anak anak SD 'lulusan covid' yang lebih dari 2 tahun tidak mendapat pelajaran secara tatap muka dengan gurunya. Kondisi itu menyebabkan anak anak 'lulusan covid' dianggap berkualitas dibawah standar pembelajaran normal.Â
 Selain itu, para bocil ini mengikis anggapan bahwa anak anak jaman internet ini cenderung asosial atau acuh tak acuh. Semua hasil karya yang di pamerkan adalah hasil kerja kelompok 4-5 anak.Â
Bagaimana murid murid itu bisa berkreasi sedemikian rupa?Â
Berikut 3 pihak yang mendukungnya.Â
1. Orang Tua yang 'Nyadar'
Sejak beberapa hari lalu anak kami memang sedikit merepotkan. Ada saja pertanyaan dan permintaan yang diajukan berkaitan dengan tugasnya membuat merchandise yang akan dijual saat pameran. Lucunya, ketika kami memberi masukan, anak wedhok kami justru 'ngeyel', mendebat dan menolak.Â
"Papi, mami itu nggak ngerti", demikian alasannya.Â
Jelaslah kami merasa dongkol. Sebagai orang tua yang pernah bekerja sebagai Event Organizer, membuat dan menyediakan merchandise bukan barang asing.Â
Namun di balik rasa dongkol, saya juga merasa senang. Anak kami tahu apa yang dia mau dan menjadi tugas mereka. Â
Beberapa kali si Sulung ini pulang lebih lambat karena harus mengerjakan tugasnya baik di sekolah atau 'jalan jalan' mencari bahan. Tentu ada dana ekstra yang harus dikeluarkan. Namun saya melihat ada 'rasa rasa' kemandirian dan tanggung jawab yang terpancar dari anak kami yang baru berumur 12 tahun itu.Â
Kami mewanti wanti agar dana yang dikeluarkan tidak besar dan tepat manfaat. Dana tersebut juga tidak boleh memberatkan karena tidak semua orang tua mempunyai uang lebih.