Misteri Kolektor Gigi yang terungkap
Prolog
RS Anak Bahagia berdiri seperti istana dalam mimpi seorang bocah. Dinding pastelnya beraneka warna merah muda, biru lembut, kuning mentega dan dihiasi mural karakter kartun yang tersenyum lebar dan hewan-hewan yang ramah. Di waktu pagi hari, sinar matahari menyinari kaca-kaca jendela yang berkilau, memantulkan cahaya hangat yang seolah-olah menjanjikan hari yang indah. Setiap kali pintu utama geser terbuka, sebuah lonceng kecil berbunyi ding-ding! yang riang, disusul suara rekaman musik box yang memutar melodi sederhana dan menyenangkan.
Bagi para orang tua yang lewat, itu adalah pemandangan yang menenangkan. Sebuah oasis dari rasa takut dan kekhawatiran. Bau disinfektan yang tajam hampir entirely tertutup oleh aroma vanilla dan buah-buahan artifisial yang disemburkan dari diffuser di setiap sudut. Para perawat mengenakan seragam scrub berwarna cerah dengan motif lollipop atau bintang, dan senyum mereka terpelihara dengan sempurna, hampir terlalu sempurna.
Tapi Ardi, seorang petugas kebersihan baru yang bertugas shift malam, merasakan sesuatu yang lain. Dia merasakannya di kesunyian yang menjalar begitu pintu utama terkunci pukul sembilan malam. Musik box yang riang itu mati, dan digantikan oleh derung mesin pendingin yang tua dan suara desis samar dari lorong-lorong yang sepi. Cahaya fluorescent yang terang dan menyilaukan di siang hari, berubah menjadi cahaya kehijauan yang berkedip-kedip, menerangi lorong dengan bayangan-bayangan aneh yang seolah bergerak sendiri. Pekerjaannya dimulai saat kegembiraan itu padam. Dan dalam kesunyian itulah, rumah sakit mulai memperlihatkan wajah aslinya.
                                Â
Suatu malam, saat membersihkan di bawah kursi-kursi kecil di ruang tunggu, senternya menyorot sesuatu yang berkilau di celah lantai. Bukan mainan. Itu adalah sebuah gigi susu kecil, putih mungil, masih lengkap dengan akarnya yang runcing. Ardi mengangkatnya, merasa sedikit ngeri. Hal itu wajar, pikirnya. Ini rumah sakit gigi anak juga.
Tapi kemudian ia menemukan yang lain. Di dekat pot tanaman plastik. Lalu satu lagi di sudut lorong dekat kamar mandi. Semuanya gigi susu, bersih secara tidak wajar, seolah telah dicuci dan dipoles. Rasa penasarannya berubah menjadi ngeri saat ia menyadari bahwa jadwal kerjanya selalu diubah agar ia bisa membersihkan Blok B---sayap tertua yang jarang dipakai---setiap Jumat malam. Malam itu, sambil membersihkan lantai ubin yang sudah kusam di Blok B, ia menemukan sebuah lemari kecil yang tertutup rapat, terkunci, dan tersembunyi di balik rak linen. Dari celah-celah pintu kayu tua itu, terpancar kilauan kecil.
Dengan jantung berdebar kencang, Ardi mengorek kunci lama yang sudah rapuh dengan obengnya. Pintu itu berderit terbuka. Dan di sana, tersusun rapi di atas rak-rak beludru yang berdebu, bukan mainan atau dokumen lama. Ratusan, mungkin ribuan gigi susu berkilauan di bawah sorot senternya. Masing-masing ditempatkan dalam kotak kecil berlabel dengan nama dan tanggal. Beberapa terlihat sangat tua, menguning dan retak. Yang lain masih terlihat baru dan putih.
Tapi itu bukanlah hal yang paling membuatnya membeku.
Di dinding belakang lemari, tergantung sebuah diagram anatomi gigi yang sudah kuno dan menguning. Di tengah-tengah diagram itu, tertulis sesuatu dengan tinta merah yang sudah memudar, tulisan yang membuat darahnya berhenti mengalir:
"Setiap senyum yang disembuhkan adalah sebuah hadiah. Dan setiap hadiah harus dikoleksi."
Lonceng kecil di pintu utama tiba-tiba berdentang ding-ding di kejauhan, meskipun Ardi tahu pasti tidak ada seorang pun di sana.
Senyum-senyum kartun di dinding tidak lagi terlihat ramah. Di balik warna-warna cerah itu, mereka menyembunyikan sebuah kebenaran yang mengerikan: RS Anak Bahagia bukanlah tempat untuk menyembuhkan. Ia adalah tempat untuk mengumpulkan. Dan sang Kolektor, siapa pun atau apa pun itu, telah memilih Ardi untuk menemukan perbendaharaannya.
Bab 1: Permen Ajaib
Ruang Klinik Jam : 9.45
Klinik "Senyum Sejahtera" itu terlihat terlalu sempurna untuk menjadi nyata. Dindingnya putih berkilau, lantainya mengilap seperti cermin, dan aroma vanila-mint yang menyengat seolah-olah ingin menutupi sesuatu yang lebih dalam. Raka, bocah lelaki berusia tujuh tahun, menggenggam erat tangan ibunya, Tari. Jari-jari mungilnya basah oleh keringat dingin. Matanya berkaca-kaca, memandang dengan takut pada poster bergambar gigi berlubang yang justru terpampang ceria di dinding.
"Aku takut, Bu. Aku mau pulang," bisiknya, suaranya bergetar hampir seperti tangisan.
Tari meremas tangan kecil itu. "Jangan takut, Sayang. Ibu di sini. Kata teman-teman Ibu, Dokter Giginya, Dr. Wulan, baik sekali. Katanya... dia suka kasih permen enak khusus untuk anak-anak pemberani," bujuknya, mencoba menyembunyikan kegelisahannya sendiri. Suara bor yang samar-samar dari balik sebuah pintu membuatnya sedikit gugup.
Mereka dipersilakan masuk oleh seorang perawat yang tersenyum kaku, seperti topeng. Ruang praktik Dr. Wulan lebih mirip laboratorium futuristik daripada ruang dokter. Mainan-mainan di rak teratur rapi, terlalu bersih, seolah belum pernah disentuh. Dr. Wulan sendiri duduk di belakang meja kerjanya. Wanita itu tersenyum, sebuah ekspresi yang sempurna namun tidak sampai ke matanya yang dingin di balik kacamata frameless-nya. Jas labnya sangat putih, nyaris menyilaukan.
"Wah, siapa pahlawan kecil yang sudah datang ke ruanganku hari ini?" suaranya merdu, hampir seperti nyanyian, tapi ada nada datar yang mengganggu. "Namanya siapa, Sayang?"
"R.....Raka," jawabnya, bersembunyi di balik punggung ibunya.
"Raka," ucap Dr. Wulan, mengeja namanya seolah itu adalah kata ajaib. "Pemberani sekali. Bu, boleh Raka duduk di sini? Ibu bisa menunggu di luar. Kebijakan kami, agar anak bisa fokus dan lebih berani," katanya pada Tari dengan senyum yang tidak memberi ruang untuk bantahan.
Tari ragu, melihat wajah panik Raka. "Tapi......."
"Percayakan padaku," ucap Dr. Wulan, tatapannya tetap. "Semua anak selalu senang setelah bertemu saya. Mereka... selalu kembali."
Dengan berat hati, Tari membujuk Raka dan keluar, meninggalkan anaknya sendirian dengan wanita berjas putih itu. Pintu tertutup dengan senyap.
Proses pemeriksaan berlangsung cepat, terlalu cepat. Raka hampir tidak merasakan apa-apa. Alat-alat yang berkilauan dan berdenting hanya lalu lalang, dan Dr. Wulan terus berbicara dengan suara rendah yang mendayu, meninabobokan. Raka hampir lupa untuk takut.
"Sekarang, saya ada hadiah untuk kamu," kata Dr. Wulan sambil membuka laci mejanya yang paling atas, "saya punya sesuatu yang sangat spesial."
Dia mengeluarkan sebuah permen yang dibungkus plastik bening. Bentuknya persis seperti sebuah gigi susu, tetapi warnanya putih mutiara, terlalu sempurna, terlalu buram, seperti batu kecil. Permen itu terasa dingin bahkan melalui bungkusnya.
"Ini permen ajaib, Raka. Bikin gigi kamu semakin kuat dan tidak pernah, pernah lagi sakit. Tapi ada aturannya. Harus dikunyah di rumah, ya? Bukan di sini. Dan kunyah sampai benar-benar hancur. Janji?"
Raka mengangguk, terpana oleh benda aneh itu.
Saat Tari menjemputnya, Raka terlihat baik-baik saja, bahkan sedikit tersenyum. Dr. Wulan menepuk bahunya. "Anak yang hebat. Jangan lupa permennya, ya?"
Di dalam mobil, Raka tidak bisa melepaskan pandangannya dari permen itu. Benda itu memancarkan daya tarik yang aneh.
"Boleh buka sekarang, Bu? Lapar," pinta Raka.
Tari menghela napas, lega melihat anaknya baik-baik saja. "Baiklah. Sebagai hadiah karena sudah sangat berani tadi."
Dengan girang, Raka merobek bungkusnya. Aroma aneh langsung memenuhi mobil seperti bau seperti obat, tapi juga seperti tanah basah setelah hujan. Dia memasukkan permen itu ke dalam mulutnya.
Ekspresinya berubah seketika.
Matanya membelalak, bukan karena sakit, tapi karena kebingungan yang mendalam. Pipinya mengkerut.
"Ada apa, Nak?" tanya Tari, pandangannya masih tertuju pada jalan.
"Rasanya... aneh sekali, Bu," ucap Raka dengan suara serak, seperti ada yang mengganjal. "Bukan rasa buah. Seperti... seperti ada pasir. Dan... rambut?" Dia mulai mengeluarkan air liur, ingin memuntahkannya tetapi ingat janji untuk mengunyahnya.
Tiba-tiba, Raka batuk-batuk kecil, suaranya terdengar parau dan tidak wajar. Tari segera menepuk-nepuk punggungnya, melirik ke belakang.
"Sudah, Nak, muntahkan saja jika tidak enak!"
Tapi Raka berhenti batuk. Dia terdiam, duduk sangat tegak. Matanya melihat lurus ke depan, kosong.
"Raka?"
Dia tidak menjawab. Tari merasa jantungnya berhenti. Ia membelokkan mobil ke bahu jalan dan berhenti mendadak. Dengan panik, ia menoleh ke kursi belakang.
Kursi itu kosong.
Yang tersisa hanyalah bungkus permen yang tergeletak di jok. Dan di sabuk pengaman, tersangkut sehelai rambut yang sangat panjang, halus, dan berwarna putih perak---persis seperti rambut Dr. Wulan.
Tari menjerit. Jeritan itu tersedot dalam vacuum kesunyian yang tiba-tiba menyelimuti mobilnya. Darah di tubuhnya membeku. Ia meraba kursi kosong itu, tidak percaya.
Dari speaker mobil, statik radio tiba-tiba bersuara, menyela lagu yang sedang diputar. Sebuah suara wanita yang sangat merdu, dingin, dan familiar berbisik pelan di antara desisnya: "Selamat tinggal, Ibu... Terima kasih untuk... persembahannya..."
Suara itu menghilang. Lagu kembali terdengar. Tari terduduk membeku, napasnya tertahan, sementara dunia di luar mobilnya terus berjalan seperti tidak ada sesuatu yang salah.
Â
Bab 2: Jejak yang Menghilang
Matahari sore itu mulai tenggelam, mengecat langit dengan warna jingga dan ungu, tetapi bagi Tari, dunia berubah menjadi abu-abu yang pekat dan menyesakkan. Suara Raka yang riang, "Sampai jumpa besok, Bu Dokter!" masih terngiang di telinganya, seolah baru saja diucapkan. Kini, kabin mobilnya yang berwarna silver itu sunyi, dingin, dan kosong.
Dia menghentikan mobilnya di bahu jalan yang sepi, jantungnya berdetak kencang seperti drum perang. "Raka? Nak, jangan main sembunyi-sembunyian! Ini tidak lucu!" teriaknya, suaranya parau dan dipenuhi panik yang semakin menjadi. Tangannya yang gemetar meraba-ruang under seat, membuka bagasi, memeriksa setiap sudut yang mustahil untuk dimasuki anak berusia tujuh tahun. Setiap detik yang berlahan terasa seperti siksaan. Aromanya masih ada di sini, aroma shampoo anak-anaknya yang manis, tapi anaknya lenyap.
Pencariannya yang liar dan tidak karuan sia-sia. Seolah-olah Raka telah menguap ke dalam udara, meninggalkan mobil yang masih terkunci rapat dari dalam. Tidak ada jendela yang retak, tidak ada pintu yang terbuka. Hanya keheningan yang menyiksa.
Polisi pun didatangkan. Lampu roti mereka memecah kegelapan malam, menciptakan bayangan-bayangan aneh yang seakan mengejek. Proses penyelidikan terhambat oleh sebuah keanehan yang membuat bulu kuduk berdiri: rekaman CCTV parkiran RS Anak Bahagia. Rekaman itu jelas menunjukkan Tari dan Raka masuk ke mobil dan mobilnya melaju pergi. Tapi tidak ada satu pun kamera, dari berbagai sudut, yang merekam seseorang keluar dari mobil Tari setelahnya. Mobil itu seperti peti mati berjalan yang menelan penghuninya hidup-hidup.
Kasus mustahil ini akhirnya sampai ke meja Detektif Aldo. Seorang pria muda dengan kemeja sedikit kusut, mata yang selalu awas seperti elang, dan naluri yang terasah oleh tahun-tahun menyelami dunia kriminal. Ia memutar ulang rekaman CCTV itu berulang-ulang, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme yang tegang.
"Ini sudah yang kelima dalam sebulan, Aldo," kata atasan nya, suaranya rendah dan berat. Foto-foto lima anak yang hilang tersusun rapi di papan tulis, mata mereka cerah dan penuh kehidupan. "Pola nya sama. Semuanya anak-anak. Usia 6-8 tahun. Dan semuanya... hilang setelah kontrol gigi di RS Anak Bahagia."
Keesokan harinya, Aldo berdiri di depan RS Anak Bahagia. Klinik itu tampak bersih, cerah, dan terlalu sempurna untuk menjadi tempat yang menyeramkan. Dindingnya putih berkilau, lukisan kartun di dinding terlihat riang, tapi ada sesuatu yang terasa palsu, seperti aroma pembersih yang terlalu kuat untuk menutupi sesuatu yang busuk.
Dr. Wulan menyambutnya dengan senyum yang terlatih, manis namun tidak sampai ke mata. "Kami sangat prihatin dengan kejadian ini, Detektif. Raka anak yang baik dan pemberani," katanya, suaranya lembut seperti bel. Tapi Aldo, dengan matanya yang tajam, melihat detail yang tidak sempurna: ujung jari Dr. Wulan yang sedikit bergetar saat menyusun berkas di mejanya. Tatapannya menghindari kontak mata yang terlalu lama. Dan di balik aroma disinfektan yang kuat, Aldo mencium aroma lain yang samar: aroma cengkih dan sesuatu yang logam, seperti besi tua.
"Saya jamin, dia tidak hilang dari sini. Dia dan Ibunya sudah pergi dengan baik-baik setelah pembayaran di resepsionis," kata Dr. Wulan, terlalu cepat dan terlalu lancar, seperti kalimat yang sudah dihapal.
Malam harinya, ketika klinik yang terang benderang itu berubah menjadi kubangan bayangan yang sunyi, Satpam Joni melakukan patroli rutinnya. Pria tua dengan seragam yang sudah lapuk ini memiliki firasat yang kuat tentang tempat ini. Suara angin yang berdesir melalui pepohonan terdengar seperti bisikan-bisikan halus.
Dari kejauhan, matanya yang sudah rabun itu menangkap sesuatu yang membuatnya berhenti di tempat. Bayangan-bayangan kecil berkumpul di depan pintu klinik yang terkunci. Awalnya dia mengira itu anak-anak nakal yang sedang iseng.
Tapi nalurinya berteriak bahwa ada yang salah. Mereka tidak bersuara. Tidak tertawa. Mereka hanya berdiri diam, membentuk barisan yang tidak sempurna.
Joni membeku, darahnya berhenti mengalir. Mereka bukan anak-anak biasa. Wajah mereka pucat bagai lilin, dan tubuh mereka... tembus pandang. Dia bisa melihat pintu kaca gelap klinik melalui tubuh mereka. Mereka adalah siluet kabur dari kenangan yang terperangkap. Dengan tatapan kosong mengarah ke depan, mereka mulai bergerak. Bukan berjalan, tapi melayang. Mereka tidak membuka pintu; mereka menembus dinding klinik, satu per satu, seperti hantu yang menjawab panggilan sebuah suara yang hanya bisa mereka dengar.
Joni bersembunyi di balik semak, tangannya menutup mulutnya untuk menahan teriakan. Napasnya membentuk kabut tipis di udara dingin. Jantungnya berdebar kencak di dadanya yang tua. Dia baru saja menyaksikan prosesi arwah anak-anak yang hilang. Dan mereka semua masuk ke dalam RS Anak Bahagia. Klinik itu bukan tempat mereka diambil, tapi tempat mereka kembali.
Â
Bab 3: Rahasia di Bawah Tanah Taman
Keesokan paginya, udara di RS Anak Bahagia terasa lebih berat bagi Aldo. Sinar matahari yang menerangi taman terasa pucat, tidak mampu menghangatkan dingin yang kini merayap di tulangnya. Setelah malam tanpa tidur, pikirannya hanya berputar pada permen dan senyum dingin Dokter Wulan. Dia harus menemukan jawaban.
Matanya mencari sosok yang telah menjadi bagian dari rumah sakit ini mungkin lebih lama dari siapapun: Pak Mardi, tukang kebun tua yang kulitnya keriput seperti tanah yang ia rawat, selalu terlihat menyapu daun atau menyiangi rumput dengan ritme yang tidak terburu-buru.
"Apa kabar, Pak Mardi?" sapa Aldo, berusaha santai.
"Masih bernapas, Mas Aldo. Kalau sudah nggak, berarti saya jadi pupuk untuk mawar-mawar ini," jawabnya sambil tertawa parau, mengusap keringat di dahinya dengan lengan baju. Tangannya yang berurat mencengkeram sekop tua.
"Aku mau tanya sesuatu, Pak. Tentang... Dokter Wulan. Katanya dia suka kasih permen ya ke anak-anak?"
Seketika, senyum di wajah Pak Mardi pudar. Dia melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengarkan, sebelum mendekat pada Aldo. Suaranya berubah menjadi rendah dan berhati-hati, seperti orang yang membagikan rahasia berbahaya.
"Permen gigi... iya. Sudah dari dulu, bahkan zaman saya masih muda baru kerja di sini. Dokter Wulan itu... melanjutkan."
"Melanjutkan apa, Pak?"
Pak Mardi menghela napas, matanya memandang jauh ke arah gedung utama, seolah melihat menembus waktu. "Dulu, zaman Belanda masih jaya, rumah sakit ini dipimpin dokter Belanda yang ditakuti. Namanya Dokter van der Berg. Orangnya dingin, matanya biru tajam seperti es. Katanya... dia punya obsesi aneh. Dia pengen menciptakan 'manusia sempurna', dimulai dari gigi. Gigi yang kuat, tidak pernah rusak. Tapi... percobaannya bukan pada tikus. Tapi pada anak-anak pribumi, anak-anak yatim piatu yang tidak ada yang akan mencarinya."
Aldo merasa napasnya tertahan. "Apa yang dia lakukan?"
"Saya tidak tahu pasti. Tapi ada desas-desus... dia mencabut gigi susu mereka, mencoba menumbuhkan yang baru dengan... cara-cara yang tidak wajar. Banyak anak yang masuk ke ruang bawah tanahnya dan tidak pernah keluar lagi." Pak Mardi menggeleng. "Dan permen itu... katanya sudah ada sejak zamannya. Bentuknya seperti gigi susu. Aneh, ya? Seperti peringatan, atau mungkin... bagian dari ritualnya."
Sekop yang digunakannya tiba-tiba membentur sesuatu yang keras dan padat di antara akar-akar rumput. "Dasar, batu lagi," gumamnya kesal. Ia membungkuk dan menggalinya, lalu menarik sebuah benda kecil yang tertutup tanah.
"Ah, mainan tulang ya? Anak-anak suka main pasir di sini," ujarnya, lalu membuangnya ke arah Aldo tanpa pikir panjang.
Aldo menangkapnya. Benda itu terasa aneh di telapak tangannya; terlalu berat untuk mainan, terlalu halus namun berpori. Dengan naluri yang tiba-tiba menjerit dalam benaknya, ia mengusap kotoran yang menempel.
Itu bukan mainan.
Itu adalah sebuah phalange---tulang jari---yang kecil, halus, dan sempurna. Tulang seorang anak. Permukaannya yang putih pucat kontras dengan gumpalan tanah coklat yang masih menempel.
Darah Aldo seakan membeku. Matanya, yang sekarang dipenuhi horor, secara perlamaan menelusuri tanah di sekelilingnya. Kini, ia melihatnya. Taman bermain yang ceria ini penuh dengan gundukan-gundukan kecil yang tidak merata, seperti bekas galian dangkal yang sudah tertutup rumput. Puluhan. Bahkan mungkin ratusan. Setiap gundukan kira-kira berukuran sama... ukuran sebuah tubuh anak kecil.
DING DING DING!
Bel istirahat berbunyi nyaring, memekakkan telinga. Aldo terkejut, nyaris menjatuhkan tulang itu. Dari gedung utama, anak-anak dari klinik gigi berhamburan keluar, tertawa dan berlarian menuju taman. Taman kuburan mereka sendiri.
Sementara itu, di dalam gedung, Tari tidak bisa duduk diam. Peringatan Aldo bergema di kepalanya. Saat jam istirahat dan ruang tunggu kosong, naluri keibuannya yang panik mengambil alih. Dengan jantung berdebar kencang, ia menyelinap ke belakang meja resepsionis, matanya menyapu ruangan.
Tempat sampah. Mungkin ada bukti di sana.
Dengan tangan gemetar, ia mengobrak-abrik isinya. Tumpukan kertas bekas, tisu, bungkus obat. Lalu, matanya menangkap sesuatu yang familiar: beberapa bungkus kertas coklat kecil yang sama persis dengan yang diberikan pada Raka.
Dia mengambilnya. Masih ada sisa permen di dalam satu bungkus yang belum sepenuhnya dibersihkan. Dengan napas tertahan, jari-jarinya yang gemetar merobek bungkus itu.
Isinya bukan coklat atau gula yang meleleh.
Sebuah gumpalan kecil, seukuran kacang tanah, tergeletak di sana. Warnanya hitam, halus, dan berkilau lembut di bawah lampu neon.
Tari membeku. Dunia di sekelilingnya seakan menghilang. Dengan jari yang hampir mati rasa, ia mengambil sehelai rambut dari gumpalan itu dan membandingkannya dengan rambut Raka yang terselip di jepit rambutnya.
Persis sama.
Rambut anaknya. Dicabut dan disembunyikan di dalam sebuah permen.
Dia melihat ke arah klinik gigi, di mana Dokter Wulan mungkin sedang tersenyum ramah kepada korban kecilnya berikutnya. Sebuah teriakan bisu tersangkut di tenggorokannya. Ini bukan lagi kekhawatiran. Ini adalah mimpi buruk yang nyata. Dan anaknya adalah target berikutnya.
Â
Bab 4: Ruang Rahasia di Bawah Tanah
Udara malam di sekitar RS Graha terasa pekat dan bermuatan, seakan-akan bangunan tua itu sendiri sedang menarik napas dalam-dalam yang penuh dengan rahasia. Aldo dan Tari, diselimuti kegelapan yang hanya diterangi oleh senter ponsel mereka, bertukar pandang penuh tekad di balik pintu masuk service. Semua petunjuk---catatan tua, laporan yang hilang, dan kesaksian angker---mengerucut pada satu nama: Dr. Wulan.
"Kamu yakin tentang ini?" bisik Tari, suaranya gemetar menembus kesunyian.
"Tidak," jawab Aldo jujur. "Tapi kita tidak punya pilihan lain. Raka ada di dalam sana."
Joni, petugas keamanan yang wajahnya pucat ketakutan, mengangguk cepat. Tangannya gemetar saat memasukkan kunci master ke dalam lubangnya. Suara klik itu bergema seperti petir di lorong yang sunyi.
"Lima menit," desis Joni. "Lebih dari itu, aku tidak bisa jamin."
Pintu terbuka dengan erangan pelan. Ruang praktik Dr. Wulan gelap gulita dan berbau antiseptik yang menyengat, seolah ingin menyembunyikan sesuatu yang lebih busuk di baliknya. Sentera mereka menyapu ruangan, menari-nari di atas perabotan mahal dan diploma yang tergantung rapi.
Tiba-tiba, pandangan Aldo tertarik pada sebuah lukisan besar di belakang meja kerja. Itu adalah potret Dr. van der Berg, pendiri rumah sakit. Lukisannya begitu realistis dan detailnya mengerikan. Tapi yang membuat darah Aldo membeku adalah matanya. Mata itu terasa hidup. Bukan sekadar ilusi cahaya, tapi sepasang bola mata yang seakan-akan mengikuti setiap gerakannya dengan inteligensi yang jahat dan sadar.
"Tari, lihat ini," bisik Aldo, suaranya serak.
Dengan hati-hati, ia mendekati lukisan. Di bawah sorotan senter, ia melihat sesuatu yang aneh pada bingkai kayu tua itu---sebagiannya terlihat lebih aus, seolah sering disentuh. Ignoring the chilling sensation of being watched, Aldo menekan bagian itu.
Klik.
Suara mesin gigi yang berputar pelan terdengar dari dalam dinding. Secara perlahan dan hampir tanpa suara, sebagian rak buku---yang ternyata bukan rak sungguhan---bergeser ke samping, membuka sebuah celah gelap yang menyempit. Dari dalamnya, keluar hawa dingin yang menggigit dan sebuah bau yang memuakkan: formalin keras yang bercampur dengan sesuatu yang manis dan busuk, seperti daging yang membusuk dan gula yang terbakar.
"Dengar itu?" Tari mencengkeram lengan Aldo.
Dari kegelapan itu, terdengar suara. Sebuah gumaman, suara wanita yang sedang berbicara dengan ritme yang aneh dan menyeramkan, seperti sebuah mantra atau nyanyian pengantar tidur yang sesat.
Dengan jantung berdebar kencang, mereka menuruni tangga batu sempit yang licin. Udara semakin dingin, dan bau busuk semakin menyengat, memenuhi paru-paru mereka seperti racun. Gumaman itu semakin jelas, dan sekarang mereka juga mendengar suara lain---suara tetesan cairan, dan... erangan kecil yang tertahan.
Pemandangan yang menyambut mereka di ruang bawah tanah itu begitu mengerikan hingga Tari hampir saja menjerit, dan Aldo harus menahan napas untuk tidak muntah.
Ini bukan sekadar ruangan. Ini adalah kuil bagi kegilaan.
Ruangan itu adalah laboratorium kuno dari era kolonial. Di sepanjang dinding, rak-rak besi berkarat dipenuhi dengan toples-toples kaca berisi cairan kuning keruh. Dan di dalam setiap toples, mengambanglah ratusan, mungkin ribuan, gigi-gigi manusia. Gigi susu kecil-kecil, disusun rapi seperti permen dalam toples kaca, berenang dalam formalin. Cahaya redup dari lampu minyak di sudut ruangan memantulkan bayangan mereka, menciptakan ilusi bahwa lautan gigi itu bergerak-gerak.
Di tengah ruangan, di bawah lampu sorot yang menyinari sebuah meja operasi tua bernoda coklat, berdiri Dr. Wulan. Tapi ia bukan Dr. Wulan yang mereka kenal. Ia mengenakan jas lab putih kotor bergaya lama, rambutnya yang biasanya rapi kini terurai liar. Dan ia sedang berbicara dengan sesuatu---atau seseorang---yang hampir tidak bisa dilihat.
Seorang pria Belanda tinggi besar, berkumis, dengan seragam dokter kolonial. Sosoknya nyaris transparan, berkilau seperti minyak di atas air, tapi matanya---mata yang sama dengan di lukisan---terlihat nyata dan penuh dengan kegenitan yang kejam. Itu adalah arwah Dr. van der Berg.
"Lihat, Guru," bisik Dr. Wulan dengan suara hipnotis, penuh kekaguman. Suaranya mendayu, gila. "Koleksi kita hampir lengkap. Mahakarya kita. Gigi susu yang paling murni, diekstrak pada puncak rasa takut mereka, dimaniskan oleh harapan palsu permen dan janji. Energi murni dari masa kecil yang terenggut... Mereka akan menjadi fondasi keabadian kita. Jembatan yang akan menyatukan kita selamanya di luar batas daging dan waktu."
Lalu, senter mereka menyapu ke sudut ruangan yang paling gelap.
Dan di sanalah, lima anak-anak berdiri. Mereka berjajar kaku seperti boneka, wajahnya pucat dan mata mereka terbuka lebar, kosong, tanpa cahaya. Mulut mereka terbuka dalam bentuk 'O' yang senyap, menunjukkan rongga yang mengerikan---gusi yang ompong, berdarah, dan benar-benar bersih dari gigi. Bekas suntikan terlihat di leher mereka, dan air mata diam-diam mengalir di pipi Raka, yang berdiri paling ujung.
Aldo merasakan amarah yang membara mengusir rasa takutnya. Mereka bukan hanya menghadapi seorang dokter gila, tapi sebuah ritual kuno yang didorong oleh arwah jahat. Dan mereka harus menghentikannya. Sekarang.
Bab 5: Konfrontasi dan Penyelesaian
Draft yang Diperluas:
Suara desisan mesin uap dan gemeretak logam tua menyambut mereka. Bau formalin dan karat menusuk hidung. Ruangan itu lebih menyerupai ruang penyiksaan abad pertengahan daripada ruang medis. Di tengah ruangan, di bawah sorot lampu tembak yang menyilaukan, terbaringlah Raka di atas sebuah kursi gigi tua yang berkarat. Tubuhnya terikat dengan tali kulit, matanya terpejam, wajahnya pucat pasi. Di sekelilingnya, di atas nampan-nampan logam, berjejer peralatan kedokteran gigi yang sudah kuno dan mengerikan: pencabut gigi berujung cakar, pengait gusi, dan bor yang digerakkan dengan pedal.
Dan di sampingnya, berdiri Dr. Wulan. Namun, wanita itu nyaris tidak bisa dikenali. Posturnya tampak lebih tegap, gerakannya kaku dan penuh keyakinan fanatik. Di belakangnya, membayang seperti siluet asap yang pekat, terpampang wujud Arwah van der Berg. Wajahnya yang keriput dan mata tanpa belas kasihan itu seolah menyatu dengan bayangan Dr. Wulan, bisikannya yang berdesis seperti suara gesekan logam terdengar samar-samar memandu setiap gerakan Dr. Wulan.
"Lagi... hanya satu lagi... dan koleksinya akan sempurna..." gumam Dr. Wulan dengan suara yang aneh, campuran antara suaranya sendiri dan suara parau seorang lelaki tua Belanda. Tangannya yang bersarung tangan karet berlumur darah mencengkram sebuah pencabut gigi bermata ganda yang mengerikan.
"RAKA!" teriak Tari, suaranya menyembur dari dasar jiwa seorang ibu, memecah ritual mengerikan itu.
Dr. Wulan dan bayangan di belakangnya berbalik serempak. Wajah Dr. Wulan berkerut dari ekstase religius menjadi kemarahan iblis. Mata van der Berg menyala dengan kebencian abadi, sebuah erangan rendah memenuhi ruangan, membuat lampu tembak berkedip.
"Kau mengganggu eksperimen agung kami!" raung Dr. Wulan. Suaranya bukan lagi suara manusia, tetapi dua suara yang berbicara bersamaan---satu perempuan, satu laki-laki tua---seperti paduan suara dari neraka.
Aldo melompat ke depan, pistolnya sudah terhunus, jantungnya berdegup kencang. "Sudah cukup, Wulan! Lepaskan anak itu! Aku tahu kau dirasuki oleh sampah sejarah ini!"
"Dirasuki?" ejek Dr. Wulan dengan suara ganda itu, tertawa getir. "Bodoh! Aku bukan budak. Aku adalah penerusnya! Aku menemukan catatannya di ruang bawah tanah yang terlupakan. Ilmunya... ilmunya terlalu agung untuk mati! Kami adalah mitra!" Dia menunjuk ke koleksi toples berisi gigi yang berjejer rapi di rak. "Lihatlah keagungan kami! Seni yang sempurna!"
Arwah van der Berg melesat mendekati Aldo, membawa serta hawa dingin yang menusuk tulang dan bau bumi kuburan. Aldo menembak dua kali. Braak! Braak! Peluru menembus bayangan itu tanpa cedera, menyangkut di dinding batu belakang. Arwah itu hanya terkekeh, suaranya seperti kaca pecah, dan meneruskan lajunya, tangan bayangan itu meraih ke arah leher Aldo.
Sementara itu, Tari tidak membuang waktu. Dia melihat sebuah buku ledger raksasa yang terbuka di sebuah meja, penuh dengan diagram anatomi yang menyimpang dan coretan formula dalam bahasa Belanda kuno. Di sebelahnya, terdapat mesin pencabut gigi kuno yang terhubung dengan roda dan belt kulit. Dengan naluri ibu yang membara, dia menyelam ke arah putranya.
"Diusir! Jauhkan darinya! Dia milik kami! Milik sains!" Dr. Wulan berteriak, mengacungkan pencabut gigi itu seperti pedang.
Tari memeluk erat tubuh Raka yang dingin dan kaku. Dia merobek tali kulit yang mengikat pergelangan tangan mungilnya. "Raka! Nak, bangun! Ibu di sini! Ibu di sini sayang!" tangisnya, air matanya menetes menghangatkan pipi anaknya yang pucat.
Berkat sentuhan dan suara ibunya, mata Raka berkedip-kedip lemah. Seberkas kesadaran berjuang melawan kabut ketakutan dan obat bius. Bibirnya yang pecah-pecah bergetar. "Ibu... sakit... wanita berkacamata... janji permen..."
Melihat hubungan antara ibu dan anak itu mengancam kendalinya, Dr. Wulan maju dengan langkah marah, mata logam pencabut gigi itu berkilat di bawah lampu.
Aldo, yang terus mundur dari teror arwah yang hampir mencekiknya, matanya menyapu ruangan. Ia melihat sebuah toples kaca besar berisi alkohol dan formalin, di dalamnya mengambang beberapa gigi dan... sesuatu yang berbentuk seperti rahang anak. Dengan tenaga terakhir yang dimilikinya, ia mendorong rak tempat toples itu berdiri.
BRUK! SMASH!
Toples besar itu jatuh dan pecah berhamburan tepat di atas bayangan arwah van der Berg. Cairan pengawet yang keras dan puluhan gigi serta sisa-sisa organ berhamburan, menyirami entitas itu.
Efeknya langsung terjadi.
Criiiiiiiiiitttttttt!!!
Sebuah jeritan memekakkan telinga, penakit penderitaan dan kemarahan murni, memenuhi ruangan. Arwah van der Berg berasap dan mendesis, seperti es yang dilempar ke api. Wujudnya yang bayang-bayang menguap dan terdistorsi, tercerai-berai oleh cairan yang secara spiritual 'mengotori' esensinya. Jeritannya melengking tinggi, lalu melemah menjadi erangan kesakitan yang putus asa sebelum akhirnya sirna sama sekali, meninggalkan kesunyian yang tiba-tiba dan bau ozon yang menyengat.
Dr. Wulan menjerit kesakitan yang sama, seperti ikatan yang memutuskan dengan keras. Dia menjatuhkan alat pencabut giginya dan menjambak rambutnya sendiri, tubuhnya menggigil hebat. "Tidak! TIDAK! GURUKU! KOLEKSIKU! SEMUANYA HANCUR!" Dia terhuyung-huyung, pandangannya kosong, sekarang hanya seorang wanita yang hancur dan tidak waras, menggumamkan kata-kata yang tidak jelas tentang gigi yang sempurna dan kegagalan.
Pada saat itulah, dengan suara pintu besi yang dibobol, Detektif Joni dan unit SWAT berhasil menerobos masuk. Lampu sorot mereka menyinari kekacauan yang mengerikan itu. Mereka dengan cepat melumpuhkan dan memborgol Dr. Wulan yang masih histeris, tangisannya bergema di ruang penyiksaan yang kini sunyi.
Tari hanya bisa memeluk Raka erat-erat, tak pernah ingin melepaskannya lagi, sementara Aldo bersandar di dinding, menarik napas dalam-dalam, menatap toples yang pecah dan sisa-sisa teror yang baru saja mereka kalahkan.
Epilog: (Tetap sama, tetapi sekarang lebih bermakna setelah adegan yang lebih intens)
RS Anak Bahagia ditutup selamanya. Dr. Wulan dinyatakan tidak waras dan dikirim ke rumah sakit jiwa berpenjagaan maksimal. Dia terus menggumamkan tentang gigi yang sempurna dan gurunya dari masa lalu, terjebak selamanya dalam mimpi buruk yang dia ciptakan sendiri.
Anak-anak yang hilang, termasuk Raka, ditemukan dalam keadaan syok dan kehilangan semua gigi susunya, sebuah pengalaman traumatis yang meninggalkan luka yang tak terlihat. Butuh waktu lama dan terapi intensif untuk mereka pulih secara mental.
Di taman bekas RS, sebuah monumen kecil dan sederhana didirikan untuk mengenang korban-korban eksperimen Dr. van der Berg dan Dr. Wulan. Aldo dan Tari sering mengunjunginya, bersama Raka yang perlahan-lahan kembali ceria, meski kadang masih terbangun malam hari karena mimpi buruk tentang permen gigi dan seorang wanita berkacamata.
Dan di malam-malam tertentu, warga sekitar kadang masih melaporkan melihat bayangan-bayangan kecil anak-anak berkumpul dan bermain lompat tali di bekas lokasi RS, seolah-olah masih terikat pada tempat di mana masa kecil dan senyum mereka dicuri oleh seorang kolektor yang obsesif, dari dua zaman yang berbeda. Mereka tidak jahat, mereka hanya... terjebak, menunggu untuk ditemukan dan akhirnya dibawa pulang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI