Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I am entomologist. I believe my fingers...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ada dan Tiada

19 Agustus 2023   20:31 Diperbarui: 19 Agustus 2023   20:37 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jendela hotel Du Passage (Sri NurAminah, Enkhuizen Noord Holland, Juni 2015)

Penampilan rumah bergaya baroque dengan cat putih gading  sungguh memukau dalam pandangan mata siapapun. Bangunan berlantai dua ini berdiri mewah dan megah bagaikan istana di tepi jalanan yang selalu aku lalui setiap berangkat ke sekolah. Yang menarik minatku setiap kali melewati rumah itu,  selalu kulihat sosok seorang lelaki kurus yang berada di balik jendela kamar lantai dua. Bagaikan patung, lelaki misterius itu selalu memandang ke jalan. Pemilik rumah megah ini baru bertinggal di situ sejak beberapa bulan yang lalu.  

Kata Pak RT, keluarga baru ini menolak berinteraksi dengan siapapun. Rasa penasaran dari cerita Pak RT plus siapa sosok lelaki misterius itu membawa kakiku melangkah ke rumah itu. Sayangnya penghuni rumah itu sangat sulit untuk ditemui. Saat terdapat waktu senggang, bagaikan detektif jempolan, aku mulai mengamati rumah itu dari kejauhan. Sesekali kulihat seorang lelaki tua keluar gerbang untuk membuang sampah. Setelah sekian lama aku menjalankan prosedur wait and see, akhirnya aku berhasil melakukan operasi tangkap tangan bapak tua yang bertinggal di rumah mewah itu.

"Mohon maaf Pak, saya Maya. Rumah saya berada di ujung jalan ini. Siapa lelaki yang selalu berada di balik jendela kamar di sana?" aku menunjuk sebuah jendela tempat lelaki misterius itu selalu berdiri memandang ke jalan. Lelaki berambut putih itu memandangku curiga dengan ekspresi kurang senang.

"Nama saya Pak Udin. Orang yang kamu tanyakan namanya Den Yucel," jawabnya ketus.

"Siapa dia Pak?" tanyaku sangat bersemangat. Hatiku berdegup kencang mendengar nama Yucel. Amboi, namanya saja sungguh keren apalagi performa orangnya, begitu kataku dalam hati.


"Den Yucel putra tunggalnya Mister Hisam. Dia itu..."

"Pak Udin..." terdengar pekikan suara seorang perempuan dari pekarangan.

"Maaf, saya harus masuk dulu. Kamu pulanglah..." pria tua itu tergopoh menutup pintu gerbang dengan penuh rasa ketakutan. Kudengar teriakannya membalas panggilan sang Nyonya pemilik rumah. Aku menghela nafas dan pulang ke rumah dengan ribuan pertanyaan yang belum  terjawab.

Sosok misterius bernama Yucel telah berhasil menggoreskan warna baru dalam hidupku. Setiap bangun pagi, aku selalu merasa bersemangat untuk berjumpa dengan lelaki itu. Tanpa kusadari, rutinitasku setiap hari berjalan kaki di depan rumahnya telah menumbuhkan bunga kerinduanku untuknya. 

Seringkali aku berdiri agak lama dan melambaikan tanganku namun tidak digubrisnya. Setiap hari saat berangkat ke sekolah, tanpa mengenal lelah aku selalu melambaikan tanganku pada lelaki itu. Tanpa kuduga, suatu hari Yucel membalas lambaian tanganku juga. Wajahku terasa panas dan hatiku berbunga-bunga karena perasaan senang luar biasa. Jarak jendela yang jauh dari pagar rumah menyebabkan aku tidak dapat melihat raut wajah Yucel, tapi itu bukan halangan besar untukku. Akhirnya kami saling melambaikan tangan setiap kali aku berangkat ke sekolah. Hal sederhana itu sudah cukup memberikan kegembiraan di hatiku.

Rasa penasaran menyebabkan aku nekad mengetuk pintu gerbang rumah Yucel. Pak Udin yang membuka pintu. Matanya melebar tidak percaya melihat kehadiranku. Dia segera menarik tanganku ke tepi gerbang yang agak terlindung dari jalanan.

"Kenapa kamu datang kemari?" suara Pak Udin terdengar sangat cemas.

"Saya mau ketemu Yucel," jawabku mantap.

"Tidak seorangpun boleh bertemu Den Yucel. Kamu pulang sekarang sebelum Nyonya menahu kehadiranmu, dia pasti marah besar melihatmu. Darimana kamu kenal dengan Den Yucel?"

"Setiap pagi kami selalu bertemu saat saya berangkat ke sekolah. Dia selalu melambaikan tangannya ke arahku. Mohon jelaskan kepada saya, mengapa Yucel tidak boleh ditemui."

"Kamu cerewet sekali. Pulanglah ke rumahmu sekarang."

"Ada apa dengan Yucel? Tidak bolehkah saya berkenalan dengan dia?"

Pak Udin menghela nafasnya dengan berat. Tampaknya dia kesulitan menjawab pertanyaanku. Lelaki tua itu memandangku dengan tajam. Raut wajahnya tampak sangat kesal.

"Dulunya Den Yucel adalah bintang sepak bola di sekolahnya. Setelah divonis sakit kanker darah dan menjalani pengobatan kemoterapi, Den Yucel berhenti sekolah. Badannya susut dengan sangat cepat, orang tuanya sudah menyerah dan pasrah dengan keadaan. Mereka tidak mau masyarakat disini ikut campur tentang penyakit anaknya. Jika Nyonya menahu aku berbicara denganmu, aku pasti dipecat olehnya. Sekarang kamu pulang ya," Pak Udin segera membalikkan badannya.

"Saya membawakan kue untuk Yucel, mohon bantuan Pak Udin menyampaikan padanya," kuberikan bungkusan itu ke tangannya. Tiba-tiba terdengar pekikan serak suara perempuan memanggil namanya.

"Iya Nyonya, sebentar..." Pak Udin segera berlari ke dalam gerbang.

"Sudah puluhan kali saya melarangmu berkomunikasi dengan siapapun yang bertinggal sekitar rumah ini. Siapa itu yang ada di luar dan apa yang kamu bawa di tanganmu itu?"

"Teman Den Yucel yang membawa kue ini."

"Katakan pada orang itu, tidak ada namanya Yucel bertinggal disini. Sekarang kamu masuk ke dalam benahi isi gudang. Cepat buang bungkusan itu ke tong sampah. Aku tidak mau tertular penyakit dari orang yang tidak dikenal," terdengar pekikan tajam si Nyonya pemilik rumah. Jantungku serasa copot saat kulihat dari celah gerbang, Pak Udin membuang bungkusan kue milikku ke dalam tong sampah.  Di dekat tong sampah berdiri seorang perempuan bertubuh pendek, memakai baju warna warni dengan dandanan menor. Bibir dan kuku panjangnya dipoles warna merah menyala. Dia terlihat sangat angkuh, tangannya sibuk menunjuk kiri dan kanan. 

Mulutnya menghamburkan kata-kata tanpa jeda, terasa menusuk gendang telinga dan lubuk hatiku yang paling dalam. Kurasakan butiran air hangat membasahi pipiku. Hari ini kue hasil jerih payahku menabung uang jajan sukses menjadi penghuni tong sampah. Aku berlari meninggalkan gerbang rumah mentereng itu sambil mengusap air mataku yang tidak terkendali bagaikan bendungan jebol.

Aku sakit hati dengan perlakuan penghuni rumah mewah itu. Aku melupakan sosok lelaki misterius yang selalu kulihat dari balik jendela kamar di lantai dua. Sosok 'kekasih' misterius yang selalu aku rindukan lambaian tangannya. Duniaku serasa gelap gulita. Kejadian pahit itu menyebabkan aku memutar mengambil jalan alternatif lainnya jika berangkat ke sekolah. Aku menghindar melewati jalan di depan rumah Yucel, bagaikan seekor tikus terkena jera umpan. Walaupun sisi kiri kanan jalan yang kulalui sekarang hanya kanal berbau busuk dan semak belukar, hatiku merasa nyaman. Bayangan buruk kueku menjadi penghuni tong sampah sangat menggores batinku. Aku sudah berjuang keras mengumpulkan uang jajanku sebagai pembeli kue untuk  lelaki misterius yang menjadi matahariku, sumber semangatku. Sayangnya  perasaanku hanya bertepuk sebelah tangan.

Beberapa bulan kemudian, tanpa sengaja aku bertemu pak Udin yang sedang berbelanja di warung Mak Odah. Wajah bapak itu terlihat sangat lelah. Sambil merokok, dia menghitung uang kembaliannya di sebuah bangku tua.

"Pak Udin? Bagaimana kabarnya Pak," sapaanku membuatnya sangat terkejut. Kulihat kelopak mata Pak Udin basah. Rokoknya yang masih menyala terjatuh ke tanah. Dia mengusap lelehan air mata dengan ujung kemejanya yang kumal.

"Den Yucel...." kalimatnya terhenti oleh isakan tangisnya.

Jleb...jantungku kembali berdebar hebat tidak karuan mendengar nama itu. Walaupun aku belum pernah bertemu muka dengan lelaki bernama Yucel, aku heran kenapa batinku merasa begitu dekat dengan sosok yang disebut namanya oleh Pak Udin. Apakah dia adalah jodohku dari Tuhan?

"Yucel kenapa Pak?"

"Dia sudah meninggal seminggu yang lalu."

"Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Dimana kuburannya Pak?"

Aku sangat berharap terbuka jalan untuk segera menemui sosok impianku walaupun dia sudah tidak bernyawa. Walaupun  hanya gundukan tanah kuburan, aku ingin bertemu dengan lelaki itu dan mengucapkan sepatah kata untuknya. Pak Udin menggeleng, air matanya makin deras mengalir.

"Den Yucel sudah dikremasi, abunya ditabur ke laut," tangis Pak Udin meledak. Dia kembali menghapus air mata dengan lengan bajunya. Tanpa kusadari, air mataku menetes mendengar cerita Pak Udin.

"Nyonya bilang Den Yucel harus dikremasi supaya sisa kuman yang masih ada di badannya tidak menulari orang lain. Nyonya juga ingin melupakan semua kenangan buruk tentang Den Yucel dan penyakit yang di deritanya," tangis Pak Udin seiring dengan remuknya perasaan dalam dadaku.

"Saya sudah lama mencarimu. Saya mau sampaikan titipan dari Den Yucel," Pak Udin memberikan kepadaku sebuah amplop berwarna hijau muda terbungkus plastik bening. Segera kubuka dan kubaca isi kartu yang berada di dalamnya. Terukir kalimat menggunakan tinta pulpen berwarna ungu metalik:  Terima kasih untuk kamu yang telah memberikan sedikit rasa hangat di akhir kehidupanku di dunia. Terbanglah ke langit bersama cita-citamu untuk mewujudkan semua impianmu.  Salam persahabatan dariku, Yucel Dewantara. Mataku takjub membaca guratan tinta  yang begitu indah maknanya untukku. Aku terduduk lemas di samping Pak Udin sambil memeluk kartu bergambar sepasang jamur berwarna merah vermilion. Sederas apapun air mataku, Yucel tidak akan pernah kutemui lagi (srn).

Quotes:

Jika dia lelaki takdirmu, yakinlah dia akan datang dalam bentuk yang berbeda (srn).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun