Bangku Kosong di Pojok Kelas
Di SMP Pelita Bangsa, kelas 7 punya satu hal yang membuatnya berbeda dari kelas lain---sebuah bangku kosong di pojok ruangan, tepat di bawah jendela besar yang menghadap ke taman sekolah. Kebetulan Gedung sekolah Pelita Bangsa berdekatan dengan hutan sehingga masih banyak pohon-pohon besar. Bangku itu bersih, tidak berdebu, dan tak pernah diduduki siapa pun sejak awal semester.
Tara, siswi pindahan dari Bandung, baru seminggu masuk ketika pertama kali menyadari keberadaan bangku itu. Ia duduk di barisan tengah, tapi matanya selalu tertuju pada bangku di pojok yang tampak... sendu.
"Kenapa bangku itu nggak pernah dipakai?" tanyanya suatu pagi.
Beberapa siswa hanya diam. Yang akhirnya menjawab adalah Wira, ketua kelas, singkat.
"Memang sengaja dikosongin."
Tara tidak puas. Ia mulai bertanya ke siswa lain, mencoba mencari tahu lewat grup angkatan, bahkan stalking akun media sosial lama anak-anak sekolah. Tapi jawaban yang ia dapat selalu kabur---dari mitos bangku angker, cerita soal siswa nakal, sampai hal-hal absurd seperti "penunggu kelas".
Suatu sore, setelah kegiatan ekstrakurikuler, Tara kembali ke kelas untuk mengambil payung yang tertinggal. Sekolah sudah sepi. Saat ia masuk ke kelas, mata Tara langsung tertuju ke bangku itu.
Kali ini, ada selembar kertas kecil di atas meja. Tulisan tangan, tinta hitam yang mulai pudar:
"Hari ini aku duduk sendiri lagi. Tapi tidak apa-apa. Aku mulai terbiasa. Selama ada pohon yang bisa kulihat dari jendela ini, aku masih punya teman."
Tara menelan ludah. Ia merasa sesuatu menggelitik di dadanya. Bukan takut, tapi semacam perasaan kosong yang familiar. Ia ambil kertas itu dan simpan.