Pada hakikatnya, setiap manusia diberkahi dengan akal yang membuatnya mampu untuk mempertanyakan, menganalisa, dan mempelajari berbagai hal yang terjadi di sekelilingnya. Agama-agama setelah Nabi Ibrahim, termasuk Islam, begitu menekankan pentingnya mempergunakan akal untuk berpikir dan menghadapi berbagai kejadian dan persoalan hidup. Hal ini terbukti dengan banyaknya ayat yang menekankan pentingnya mempergunakan akal untuk berpikir di dalam Al-Quran.
Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah "Iqra" yang secara literal artinya membaca. Membaca merupakan kegiatan yang sangat berkaitan dengan akal. Membaca disini mempunya makna lebih dari sekedar membaca tulisan, apalagi mengingat Nabi Muhammad saat turunnya wahyu tidak bisa membaca maupun menulis. Membaca disini, mempunyai arti yang lebih luas, yakni merasakan dan memikirkan sehingga manusia mampu memaknai berbagai hal yang terjadi di sekelilingnya dengan mempergunakan segenap indra yang dimiliki.
Dalam konsep keagamaan, tubuh manusia tak ayal seperti sebuah 'kendaraan' bagi 'ruh' untuk melakukan perjalanan. Tubuh manusia dilengkapi dengan berbagai indra yang memungkinkan manusia untuk merasakan sakit dan nikmat - secara fisik, mental, maupun emosional.
Menariknya, kehadiran fisik yang menjadi 'kendaraan' untuk melalui perjalanan 'ruh' ini pula lah yang menjadi ujian bagi manusia. Disinilah akal kemudian berperan untuk kembali meluruskan fungsi utama tubuh sebagai 'kendaraan' untuk mencapai suatu tujuan dan bukan sebagai 'alat' untuk sekedar mengejar kenikmatan duniawi semata.
Benang Merah
Ada satu benang merah pada situasi ketika tiga agama penerus Nabi Ibrahim turun (Yahudi, Kristen, dan Islam). Ajaran yang dibawa oleh Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad turun di tengah-tengah masyarakat dengan tingkat kesenjangan dan kesetaraan sosial antar golongan (dan gender) yang tinggi.
Ajaran masing-masing Nabi menekankan pentingnya berbagi dengan sesama dan menciptakan rasa keadilan -- mengurangi tendensi manusia untuk terus memupuk egonya yang menjadikannya merasa paling tinggi atau lebih tinggi dibandingkan manusia lainnya.
Manusia memiliki tendensi untuk memenuhi hasrat keinginannya -- dalam Islam dikenal dengan istilah 'nafsu'. Kehadiran akal disini adalah penyeimbang 'nafsu' agar manusia tidak kehilangan kendali atas 'kendaraannya'. Tanpa akal, alih-alih mengingat tujuan akhir, bisa-bisa manusia tersesat dan lupa destinasi utama dari perjalanannya.
Untuk dapat mencapai tujuan akhir, manusia harus mampu mengalahkan egonya -- ego untuk merasa 'paling atas' dalam hal apapun juga. Pada dasarnya, kesetaraan antar golongan dan adanya rasa keadilan sosial dalam kehidupan bermasyarakat merupakan sebuah hasil dan pertanda bahwa manusia yang hidup di dalam masyarakat tersebut telah mampu 'mengalahkan' egonya demi kesejahteraan dan kemaslahatan bersama -- dalam Islam hal ini dikenal dengan istilah masyarakat 'madani'.
Turunnya masing-masing ajaran kepada masing-masing Nabi diikuti oleh bentuk-bentuk ritual dan ibadah yang dimaksudkan untuk mengajarkan manusia mengendalikan 'ego'-nya. Dalam Islam, hal ini termasuk solat, zakat, dan puasa.
Ketiga ibadah ini ibarat 'pekerjaan rumah' supaya pengikutnya lebih pandai dalam mengendalikan keinginan dan egonya, dan mampu berempati sehingga mendorong terciptanya kesetaraan dalam kehidupan bermasyarakat.
Sayangnya, kurangnya pemahaman dan metoda pembelajaran yang kurang sesuai telah mengaburkan tujuan utama dari ajaran-ajaran Ibrahim.
Penekanan yang salah terhadap ritual dan simbol-simbol keagamaan telah mengaburkan tujuan utama dari turunnya ajaran-ajaran Ibrahim. Alih-alih menutup kesenjangan dan menciptakan rasa keadilan sosial, penekanan yang berlebihan terhadap ritual membuat penganut ajaran lupa bahwa tujuan utama beragama bukanlah 'mengumpulkan sebanyak-banyaknya pahala' (yang pada hakikatnya merupakan salah satu manifestasi ego manusia untuk menjadi yang 'paling') tetapi untuk menurunkan egonya demi kemaslahatan bersama.
Penekanan terhadap ritual membuat pengikut ajaran terfokus pada hal hal yang bersifat teknis dan simbolis yang sejatinya bukan suatu tujuan utama dalam beragama, melainkan suatu metoda pembelajaran untuk menjadi pribadi yang lebih sesuai dengan arahan ajaran.
Apakah ritual menjadi satu-satunya alat? Tentu saja tidak.
Apakah ritual menjadi salah satu penentu? Ya.
Siswa yang lebih rajin belajar dan mengerjakan PR lebih besar kemungkinannya untuk lulus ujian dibandingkan mereka yang tidak belajar. Tapi apakah setiap siswa hanya boleh belajar dengan satu cara? Bisa saja cara belajarnya (ritualnya) berbeda-beda, tapi pada akhirnya mereka mampu mencapai satu pemahaman yang sama sehingga mampu lulus ujian walaupun cara belajarnya berbeda.
Menjadi suatu hal yang mengkhawatirkan sekaligus menyedihkan ketika kemudian orang-orang yang mengaku 'beragama' menunjukan 'egonya' dan merasa 'paling' karena merasa lebih sering melakukan ritual atau lebih sering menunjukan simbol keagamaan.
Memang betul kalau rajin mengerjakan pe-er lebih besar kemungkinannya untuk lulus ujian, tapi apa kemudian siswa yang rajin mengerjakan pe-er patut 'haqqul yakin' siswa lain yang terlihat malas-malasan tidak akan lulus? Tau darimana kalau ternyata siswa ini mengurus orangtuanya yang sakit di rumah dan tidak punya waktu untuk mengerjakan pe-er?
Lebih menyedihkannya lagi... bukankah seharusnya siswa yang lebih rajin merangkul siswa yang terlihat 'malas-malasan' alih-alih mengeksklusifkan diri merasa diri lebih pantas lulus?
Lalu kemana perginya esensi utama dari beragama apabila baru sampai ritual saja sudah merasa sombong dan berbangga diri?
Terlupakannya esensi utama dalam beragama membuka berbagai celah eksploitasi terhadap ritual-ritual dan simbol keagamaan yang kemudian dianggap lebih penting dibandingkan esensi utama dalam beragama. Hal ini dikarenakan oleh metode pembelajaran keagamaan yang terlalu menekankan ritual dan menumbuhkan 'ego'.
Pengikut ajaran yang menganggap ritual dan simbol lebih penting menjadi lebih mudah dikendalikan oleh 'simbol-simbol' keagamaan tanpa mempertanyakan korelasinya dengan esensi utama agama.
Hasilnya, siapapun yang tidak mengenakan simbol-simbol yang sama dan menjalankan ritual yang sama, dianggap sebagai pribadi yang bertentangan dengan agama, sekalipun pribadi ini lebih dekat dengan esensi utama agama.
Dalam pandangan seorang pengikut ajaran yang salah kaprah, kelulusan seorang siswa kemudian lebih ditentukan oleh cara belajar dan baju seragamnya dibandingkan dengan nilai akhir dalam ujiannya -- yang tentunya ditentukan oleh lebih banyak komponen nilai.
Dalam sistem demokrasi dimana para pengikut ajaran mempunyai hak politik, simbol-simbol agama menjadi alat yang sangat efektif untuk menggerakan masa -- terutama pengikut ajaran yang menganggap 'baju seragam' dan 'metode belajar' lebih penting dibandingkan komponen nilai yang jauh lebih berkaitan dengan tujuan agama untuk mendorong terciptanya keadilan sosial.
Kenapa bisa salah kaprah?
Baju seragam dan metode belajar adalah hal yang paling mudah dilihat dibandingkan dengan komponen nilai yang sesungguhnya. Seorang siswa mungkin hanya bisa menilai atau mengira-ngira kemampuan siswa lainnya dari aktivitas-aktivitas yang diadakan didalam kelas, tetapi hanya guru lah yang bisa mengetahui kemampuan dan performa siswa secara menyeluruh.
Ego manusia untuk merasa 'paling' membuat manusia punya tendensi untuk selalu membandingkan dirinya dengan orang lain. Perbandingan ini tentunya paling mudah dilakukan terhadap hal-hal yang kasat mata, seperti simbol dan ritual.
Metoda 'kejar pahala' tanpa paham esensi dari ritual kemudian menyebabkan siswa menganggap bahwa ritual adalah segala-galanya tanpa mengindahkan esensi utama dari beragama.
Tulus atau tidak?
Pada suatu ketika seorang pelayan ratu yang tidak dibayar sama sekali dan sudah dibebaskan (bukan hamba sahaya maupun budak) ditanya oleh seorang pengunjung kerajaan kenapa dia mau melayani ratu walaupun sudah diberikan kebebasan. Si pelayan menjawab bahwa segala bakti dan pelayanannya diberikan kepada sang ratu semata mata karena ia begitu berterima kasih atas kebaikan sang ratu dan begitu percaya akan kemampuan sang ratu dalam memimpin kerajaan menjadi sejahtera.
Sekarang mari kita bandingkan pelayanan sang pelayan tulus ini dengan pelayan yang setiap harinya merasa terpaksa bekerja hanya karena dia takut sang ratu mungkin akan memenggal kepalanya kalau ia tidak bekerja?
Kemudian bayangkan bila anda merupakan seorang pengusaha yang mempekerjakan seseorang yang dengan segala keterbatasannya, punya banyak tuntutan sebagai pegawai tetapi bekerja ala kadarnya sambil terus-terusan mengeluh?
Kira-kira sifat, atau 'bukti' penghambaan mana yang paling ideal?
Seorang 'pelayan' yang setia tanpa syarat tidak mungkin bisa demikian bila tidak merasakan dan mengetahui kebaikan hati sang ratu -- pun pelayanan seorang yang tulus tanpa syarat tidak akan sama dengan pelayanan seorang yang berada dalam paksaan.
Ketika Adam dan Hawa diturunkan dari taman surga, Tuhan bersabda bahwa anak-cucu mereka akan bermusuhan satu sama lain -- bukan suatu kutukan, tapi lagi-lagi suatu peringatan akan tendensi ego manusia yang selalu berusaha menjadikan dirinya 'paling' dan 'lebih', meskipun itu berarti merendahkan manusia lain.
Ketika ajaran Nabi Musa, Nabi Isa, maupun Nabi Muhammad turun, tidak ada label yang ikut bersama ajaran-ajaran ini -- semuanya hanya berupa ajaran yang turun dengan bahasa, ritual, dan nilai-nilai yang disesuaikan dengan kondisi sosial dimana ajaran itu diturunkan. Ajaran ini mengajarkan satu tujuan utama: Berserah Diri -- dalam bahasa arab : "Muslim".
Pada hakikatnya penyerahan diri berarti mengendalikan hawa nafsu, mengurangi ego, menyadari kecilnya manusia dihadapan sang pencipta sehingga menjadi seorang yang 'humble', menyayangi dan menghargai sesama makhluk dan ciptaan Tuhan.
Manusialah yang kemudian menciptakan label di atas ajaran-ajaran yang sesungguhnya netral dan memiliki lebih banyak kesamaan dibandingkan perbedaan. Tema utama dari perbedaannya lagi-lagi khas ego manusia: sebuah klaim bahwa dirinya atau kelompoknya 'lebih' dan 'paling' dibandingkan kelompok lain.