Pada suatu ketika seorang pelayan ratu yang tidak dibayar sama sekali dan sudah dibebaskan (bukan hamba sahaya maupun budak) ditanya oleh seorang pengunjung kerajaan kenapa dia mau melayani ratu walaupun sudah diberikan kebebasan. Si pelayan menjawab bahwa segala bakti dan pelayanannya diberikan kepada sang ratu semata mata karena ia begitu berterima kasih atas kebaikan sang ratu dan begitu percaya akan kemampuan sang ratu dalam memimpin kerajaan menjadi sejahtera.
Sekarang mari kita bandingkan pelayanan sang pelayan tulus ini dengan pelayan yang setiap harinya merasa terpaksa bekerja hanya karena dia takut sang ratu mungkin akan memenggal kepalanya kalau ia tidak bekerja?
Kemudian bayangkan bila anda merupakan seorang pengusaha yang mempekerjakan seseorang yang dengan segala keterbatasannya, punya banyak tuntutan sebagai pegawai tetapi bekerja ala kadarnya sambil terus-terusan mengeluh?
Kira-kira sifat, atau 'bukti' penghambaan mana yang paling ideal?
Seorang 'pelayan' yang setia tanpa syarat tidak mungkin bisa demikian bila tidak merasakan dan mengetahui kebaikan hati sang ratu -- pun pelayanan seorang yang tulus tanpa syarat tidak akan sama dengan pelayanan seorang yang berada dalam paksaan.
Ketika Adam dan Hawa diturunkan dari taman surga, Tuhan bersabda bahwa anak-cucu mereka akan bermusuhan satu sama lain -- bukan suatu kutukan, tapi lagi-lagi suatu peringatan akan tendensi ego manusia yang selalu berusaha menjadikan dirinya 'paling' dan 'lebih', meskipun itu berarti merendahkan manusia lain.
Ketika ajaran Nabi Musa, Nabi Isa, maupun Nabi Muhammad turun, tidak ada label yang ikut bersama ajaran-ajaran ini -- semuanya hanya berupa ajaran yang turun dengan bahasa, ritual, dan nilai-nilai yang disesuaikan dengan kondisi sosial dimana ajaran itu diturunkan. Ajaran ini mengajarkan satu tujuan utama: Berserah Diri -- dalam bahasa arab : "Muslim".
Pada hakikatnya penyerahan diri berarti mengendalikan hawa nafsu, mengurangi ego, menyadari kecilnya manusia dihadapan sang pencipta sehingga menjadi seorang yang 'humble', menyayangi dan menghargai sesama makhluk dan ciptaan Tuhan.
Manusialah yang kemudian menciptakan label di atas ajaran-ajaran yang sesungguhnya netral dan memiliki lebih banyak kesamaan dibandingkan perbedaan. Tema utama dari perbedaannya lagi-lagi khas ego manusia: sebuah klaim bahwa dirinya atau kelompoknya 'lebih' dan 'paling' dibandingkan kelompok lain.