Mohon tunggu...
Sony Hartono
Sony Hartono Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Pria Yang Hobi Menulis

Kutulis apa yang membuncah di pikiranku

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Investasi Saham Kena Pajak Nggak Sih?

18 Oktober 2018   22:24 Diperbarui: 18 Oktober 2018   22:48 9607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Chart IHSG (sumber: finance.yahoo.com)

Saham merupakan investasi yang menarik dan selalu menarik bagi sebagian orang yang menyadarinya. Waktu telah membuktikan bahwa investasi di pasar saham telah menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun, meskipun adakalanya di tahun-tahun tertentu, harga saham mengalami tren penurunan secara masif. 

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia dari tahun 1998 s.d. 2018 telah mencatatkan kenaikkan sekitar 20 kali lipat. Coba kita bayangkan, jika uang kita Rp10 juta pada tahun 1998, menjadi sekitar Rp200 juta pada saat ini.

Itu simulasi jika kita membeli portofolio yang mengacu IHSG, padahal kenyataannya di lapangan banyak investor yang  membeli saham secara langsung, bukan dalam bentuk reksadana ataupun potofolio lainnya. 

Misalkan seorang investor membeli saham BCA pada tahun 2000 dan menyimpannya sampai saat ini, maka nilainya naik sekitar 34 kali lipat, jika dimasukkan juga hasil dari dividennya maka peningkatan nilainya bisa sekitar 40 kali lipat.

Untuk melihat besarnya keuntungan yang terjadi, mari coba kita simulasikan. Jika pada tahun 2000 kita membeli sebuah HP mahal saat itu, misalkan Nokia Communicator seharga Rp10 juta, maka nilai HP itu pada saat ini mungkin sudah terdepresiasi sempurna alias nol rupiah. 

Lain halnya jika ketika itu kita menahan gengsi untuk bergaya menggunakan HP canggih, tapi lebih mementingkan investasi untuk masa depan, misalkan dengan membeli saham Bank BCA senilai Rp10 juta, maka saat ini nilai-nya bisa sekitar Rp400 juta. Wow.... Ternyata pembelian barang konsumtif pada akhirnya menjadi tak berharga, tetapi dengan berinvestasi saham yang tepat akan sangat luar biasa peningkatan nilainya.

Investasi di pasar saham memang terbukti memberikan imbal hasil yang cukup tinggi, tetapi juga diimbangi dengan risiko yang tinggi pula sesuai konsep High Risk High Return. Tahun 2008 silam, dunia mengalami krisis finansial yang luar biasa hebat. Beruntungnya Indonesia tidak begitu terpengaruh karena sudah banyak belajar dari krisis ekonomi 1998, hanya pasar saham kita yang terguncang hebat karena kepanikan investor yang sebenarnya saat itu bersikap tidak rasional. 

Mengapa tidak rasional, karena kondisi perusahaan-perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) saat itu sedang bagus-bagusnya dengan mencetak rekor-rekor baru laba bersih, terutama BUMN-BUMN kita. 

Namun, karena kepanikan investor asing yang mencabut dananya dari pasar saham Indonesia menyebabkan harga saham 'berdarah-darah' selama beberapa beberapa bulan bahkan hampir setahun. 

Kepanikan investor asing yang saat itu memang mendominasi pasar saham kita, sehingga aktivitas transaksinya mampu secara signifikan mempengaruhi harga pasar, disikapi secara berlebihan oleh investor dalam negeri dengan ikut-ikutan menjual sahamnya, harga saham pun jatuh bebas. IHSG turun sekitar 60% dari titik tertingginya. Saya ingat waktu itu portofolio saya tergerus sekitar 70%, Oh tidak......! 

Banyak pula investor yang bunuh diri saat itu. Namun, orang yang sabar lah yang akan memetik keuntungannya. Investor yang ikut-ikutan panik dan menjual murah sahamnya pasti sekarang masih gigit jari, berbeda jika si investor tersebut sabar dan tidak mudah terpengaruh oleh arus, dialah yang akan menjadi pemenangnya. 

Terbukti kan, sekarang harga saham sudah semakin tinggi, bahkan jika ada diantara kita yang membeli saham di semester terakhir 2008 pada saat para investor banyak yang menjual murah sahamnya, maka nilai saham kita saat ini bisa lebih dari 10 kali lipat, bahkan bisa mencapai 20 kali lipat. Wow!

Nah, melihat menariknya berinvestasi di pasar saham, bagaimana terkait sisi kewajiban perpajakannya? Inilah poin menarik dari investasi di pasar saham jika dibandingkan dengan investasi lainnya, apalagi berbagai keuntungan terkait kewajiban perpajakan yang muncul dari investasi saham ini. 

Perlu kita ketahui bahwa investasi saham di pasar modal potensi keuntungannya bisa berasal dari dua sumber yaitu dari peningkatan harga pasar saham dan dividen. Keduanya melekat kewajiban perpajakan yang berbeda.

Pertama, capital gain terjadi jika saham yang kita miliki dijual dengan harga yang lebih tinggi daripada harga belinya. Nah, kewajiban perpajakan yang ada tidak diterapkan terhadap capital gain-nya melainkan dikenakan terhadap transaksi penjualan sahamnya, tidak memandang si investor mendapatkan kuntungan atau kerugian. Besarnya pajak penghasilan atas transaksi saham hanya dikenakan ketika kita melakukan penjualan saham, yaitu 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan. 

Kita tidak dikenakan pajak jika melakukan pembelian saham, hanya dikenakan fee yang besarannya berbeda antara sekuritas satu dengan lainnya. Namun, fee (komisi) pembelian yang dikenakan cukup kecil rata-rata dalam kisaran 0,2% dari jumlah bruto nilai transaksi pembelian. Begitu pula dengan fee penjualan yang biasanya besarannya sama dengan fee pembelian. 

Jadi Jika kita melakukan penjualan saham dikenakan fee sekuritas (broker) dan pajak final 0,1%. Murah banget to pajaknya, dan kita tidak perlu repot-repot memperhitungkan penghasilan yang kita peroleh dari penjualan saham dalam penghitungan kewajiban perpajakan dalam SPT Pajak karena pajaknya bersifat final. 

Contoh mudahnya, jika kita menjual saham senilai Rp100 juta, maka kita cukup membayar pajak final sebesar Rp100 ribu. Nggak terasa bukan...? Selain membayar pajak, tentunya kita juga membayar fee broker yang relatif kecil juga.

Kedua, jika harga saham yang kita miliki, harga pasarnya di bursa mengalami kenaikkan maka kita mempunyai potensi keuntungan dan bisa terealisasi jika kita jual sahamnya. 

Namun, karena kita tidak ingin menjualnya maka kita belum mendapatkan keuntungan secara riil. Di satu sisi jika kita tidak menjual saham, kita mempunyai potensi mendapatkan dividen dari perusahaan yang sahamnya kita beli di bursa. Nah, jika mendapatkan dividen tentunya akan menjadi penghasilan kita. Oleh karena itu, pemerintah memungut pajak penghasilan atas dividen itu sebesar 10% jika kita merupakan wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Menariknya lagi, pajaknya bersifat final.

Lho kok lebih besar  tarif pajak penghasilan atas dividen daripada penjualan saham? Ya memang, daripada pajaknya tidak bersifat final dan kita perhitungkan kembali dalam SPT pajak dan terkena tarif progresif pajak penghasilan yang jauh lebih besar? Hayo pilih mana? Toh kita juga masih mendapatkan potensi capital gain dari saham yang belum kita jual. Untuk melihat perbedaannya mari kita simulasikan.

Misalkan kita beli saham BRI seharga Rp3000/lembarnya. Menurut aturan BEI, minimal pembelian saham di pasar reguler adalah satu lot (100 lembar). Jadi minimal kita butuh Rp300.000,- untuk membeli satu lot saham BRI. 

Nah, setelah sekian lama kita miliki sahamnya, saham BRI mengalami kenaikan harga saham menjadi Rp4000/lembar. Jika kita punya 100 lot saham BRI dengan harga pembelian total Rp30 juta dan kita jual dengan total harga Rp40 juta, maka kita akan mendapatkan keuntungan Rp10 juta. Kita pun dikenakan pajak sebesar 0,1% x Rp40 juta = Rp40.000,-. Coba kita asumsikan tidak ada fee broker, jadinya keuntungan bersih kita = Rp10 juta -- Rp40.000 = Rp9.960.000,- (kenyataannya lebih kecil dari itu, karena ada fee pembelian dan penjualan yang dikenakan oleh broker).

Masih dengan simulasi tadi, misalkan ketika harga saham BRI itu sudah menjadi Rp4000/lembar dan kita masih belum berminat menjualnya maka kita punya peluang untuk mendapatkan dividen. Misalkan beberapa waktu kemudian ada pembagian dividen sebesar Rp200 per lembar sahamnya, maka jika kita pegang 100 lot (10.000 lembar) saham BRI, maka kita akan dapat dividen sebesar (Rp200 x 10.000) = Rp2.000.000,-. 

Nominal uang yang kita terima dari dividen setelah dipotong pajak 10% yaitu sebesar Rp1.800.000,-. Jika beberapa bulan setelah dividen dibayarkan ternyata saham BRI melejit naik menjadi Rp5000/lembar dan kita bermaksud menjualnya pada harga tersebut, maka keuntungan yang kita dapatkan jauh lebih besar. Sudah dapat dividen, dapat pula capital gain yang lumayan besar. Wah....!

Ternyata berinvestasi saham di Bursa Efek Indonesia sangat menarik, disamping potensi imbal hasilnya tinggi, kewajiban perpajakannya pun cukup simpel dengan tarif yang cukup rendah. 

Praktisnya lagi, kita tidak perlu menghitung dan menyetorkan sendiri pajak penghasilan transaksi penjualan saham ataupun dividen, melainkan otomatis dipotong dan disetorkan oleh penyelenggara bursa dalam hal ini diwakili oleh broker (sekuritas), tempat dimana kita membuka rekening saham yang menjadi perantara kita dalam jual beli saham. Nggak repot to....!

Saya jadi berandai-andai, coba kewajiban pembayaran pajak penghasilan lainnya sesederhana dengan tarif semurah yang diterapkan ketika transaksi penjualan saham ataupun dividen, tentu para wajib pajak tidak terlalu terasa dalam membayar pajak, dan enjoy dalam mengisi SPT karena tidak diribetkan dengan kerumitan perhitungan tarif progresif yang bisa berpotensi terjadinya kurang bayar atau lebih bayar.

Sistem dan Perhitungan Sederhana, Bayar Pajak jadi Tak Terasa, Penerimaan Pajak Luar Biasa!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun