Selanjutnya muncullah seorang pemuda bertubuh kurus, bermata juling, dan bergigi tonggos. Ia berjalan dengan postur tubuh agak bungkuk, digandeng oleh seorang perempuan muda yang ternyata adalah pembantunya. Pemuda itu bernama Ivan. Ia gemar menonton sinetron karena tidak ada kegiatan lain di rumah. Kedua orang tuanya sibuk bekerja dari pagi hingga malam hari.
Ivan tidak pernah menempuh pendidikan di sekolah umum. Jenjang TK hingga SMA dikecapnya di sekolah anak berkebutuhan khusus. Selanjutnya ayahnya merasa tak ada gunanya anaknya itu melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Terapi-terapi dan les-lesnya diberhentikan karena dirasa kurang membuahkan hasil yang berarti. Hanya les di BMC inilah yang tetap dipertahankan karena bermain piano membuat hati Ivan lebih tenang.
Kemudian aku bertemu dengan seorang remaja laki-laki bertubuh tinggi besar dan berkulit sawo matang. Kedua bola mata pemuda berusia belasan tahun itu berwarna keabu-abuan. Ia datang ke BMC dengan dituntun oleh seorang wanita paruh baya yang rupanya adalah ibu kandungnya.
Ayub, nama remaja itu, adalah seorang tuna netra semenjak lahir. Ia menempuh pendidikan hingga tamat SMA di sebuah sekolah luar biasa. Ayahnya sudah meninggal dunia sejak Ayub masih balita. Sang ibu sangat menyayangi putra bungsunya ini. Ia berusaha mendidik dan membina anaknya dengan baik. Kakak-kakak Ayub pun sangat menyayangi adiknya tersebut dan bergiliran mengantarkan anak muda yang gemar makan sate ayam itu mengikuti les piano dan olah vokal di BMC.
Terakhir muncullah Awi. Dari raut wajahnya yang berbentuk mongoloid, aku bisa menebak bahwa dia adalah penyandang down syndromme. Yang membuatku takjub, lelaki muda bertubuh agak gemuk dan berambut cepak ala tentara ini memiliki kepribadian yang menyenangkan. Dia menyapa semua orang yang dikenalnya dengan ramah. Meskipun suaranya cadel seperti anak kecil berusia empat tahun, pria berpipi tembem itu tetap percaya diri .
Direktur lalu mengajakku dan Veli untuk menyaksikan Awi bermain piano. Wow, permainan pianonya luar biasa! Jari-jemarinya begitu lincah menari-nari diatas alat musik berbentuk persegi itu. Ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya terlihat benar-benar menghayati lagu klasik yang dimainkannya. Sungguh bagaikan pianis profesional!
Hatiku benar-benar terenyuh melihat pemandangan yang biasanya hanya kulihat di TV maupun berita-berita di media sosial. Orang-orang istimewa yang diciptakan Tuhan dengan segala kekurangan, namun masih sangat bersemangat untuk mengembangkan kemampuannya agar dapat menjadi manusia yang berguna. Tuhan pun selalu membuka jalan bagi mereka.Â
Ada saja lembaga seperti Beautiful Music Course ini yang bersedia menampung dan mengembangkan talenta anak-anak Tuhan yang luar biasa itu.
Pandanganku kemudian beralih pada Veli. Gadis kecilku itu senyum-senyum saja tak berkomentar. Juga tidak merasa takut maupun ganjil melihat berbagai jenis orang berkebutuhan khusus di tempat ini.
"Veli mau belajar menyanyi di sini?"
"Iya, Mama. Veli ingin bisa menyanyi sebagus Kak Dea tadi."