Sosbud  |  Percakapan di Tepi Danau: Menjaga Taman Pikiran
DikToko
(Soetiyastoko)
Aku terusik bisik lembut, bukan lewat kupingku --tetapi langsung ke gumpalan di dalam tulang kepalaku. "Ayo ikuti aku, menyusuri tepi sungai bening", itu bisiknya. Nadanya seperti milik Eyang Putri-ku. Tapi pasti bukan dari bibir Eyang.
Entah kenapa, kutinggalkan teras Villa di Lembah itu. Kuikuti ajakannya, seperti sedang dituntun dengan kasih. Daun-daun kering gemerisik halus, terinjak kakiku.
Entah seberapa jauh telah berjalan, bunga-bunga pukul sembilan --mekar, menyapa dengan angguk dan senyum.
"Duduklah sebentar di sini, di tepi dermaga kayu yang sunyi ini. Lihatlah bagaimana permukaan danau ini memantulkan wajahmu dengan setia. Di balik wajah yang tenang itu, ada sebuah taman yang sangat berharga---otakmu. Ia adalah taman tempat benih pikiran tumbuh, tempat kenangan mekar seperti teratai, dan di mana kedamaian seharusnya bersemayam". Kalimat-kalimat itu tertib, antri --langsung ke benakku.
Apakah ini jawaban-Nya --yang kuminta saat kutengadahkan dua telapak tanganku, di dinihari tadi ?
Suara burung-burung yang riang, cahaya matahari jam 9. Terasa hangat, menyibak dinginnya punggung gunung.
Kalimat - kalimat itu terdengar lagi dan sepertinya --sosok yang bicara itu dekat sekali. Posisinya dekat sekali denganku.
"Namun, tanpa disadari, kadang kita biarkan angin kotor dan hujan badai masuk, merusak keindahan taman itu. Bayangan di air yang tenang ini seakan berbisik, mengingatkan kita pada hal-hal yang perlahan-lahan mengikis keindahan itu".
Taman ?
Taman yang mana ?