Ada peran dan fungsi pers yang berada di atas semua itu. Di luar itu, pers pun, menurut pengamat media Sirikit Syah (Membincang Pers, Kepala Negara, dan Etika Media), fakta pun-bagi pers-harus dipilih. Ini adalah salah satu "kuasa" media, menurut eks wartawan Jakarta Post tersebut.
Mengacu ke pendapat itu, media memiliki kekuasaan sendiri, dan Prabowo sebagai calon presiden pun memiliki kuasa tersendiri--setidaknya di kalangan partai dan koalisi pendukungnya. Dalam realitas hari ini, media punya "kerajaan" tersendiri yang tak bisa didikte oleh raja manapun. Ya, kecuali Prabowo jadi penguasa, dan memilih memberedel semua media yang tidak mengikuti kata-katanya.
Justru di sini, pers sendiri pun ogah, pastinya, belum-belum berkuasa sudah banyak dikte. Apalagi sampai memaksa media untuk mengikuti segala irama yang dimainkannya, tentu saja tidak bisa.
Jika kemarin Prabowo bisa mengeluarkan kalimat, "Untuk apa wawancarai saya?" bukan tak mungkin ke depan tak lagi sekadar menolak meliput reuni-reunian yang kental kepentingannya. Bisa jadi juga tegas-tegas kalangan pers membalas, "Untuk apa saya wawancarai Anda?"
Kecuali, ada pengecualian, mbok ya, masih dalam perjalanan menuju kursi kekuasaan, tidak perlulah meniru-niru gaya mertua yang pernah berkuasa hingga ia bisa menempatkan diri atas media. Sebab bicara soal ngambek, media juga punya cara sendiri buat ngambek. Lha, itu kemaren acara reuni-reunian "belasan juta" orang itu luar biasa di mata Anda, bisa diperlihatkan sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja oleh media, kan, Pak? Jadi, sudahlah.***