Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Reuni Demi Prabowo, Media Jadi Pendosa

6 Desember 2018   20:37 Diperbarui: 6 Desember 2018   21:13 1349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo masih memiliki masalah dalam membangun hubungan dengan media yang sejatinya corong penting untuknya berburu istana - Foto: Merdeka.com

Beberapa hari belakangan, dunia media sedang didudukkan di kursi pesakitan. Sebagai pendosa, karena ketika sekelompok orang yang diklaim mencapai belasan juta yang memadati Monumen Nasional dan sekitarnya, katanya mewakili umat, kok bisa-bisanya media membangun sekat.

Kalangan media jadi tertuduh. Para jurnalis dituding berpihak kepada penguasa. Eksesnya, dari atas ke bawah beramai-ramai mencela media. Berbagai cap buruk pun berdatangan, dari tuduhan bahwa kafir menguasai media, penguasa melarang media membesarkan berita seputar acara yang katanya reuni, hingga ajakan untuk tidak menghormati jurnalis.

Ajakan itu sendiri datang dari "tokoh besar" di acara tersebut, yakni Prabowo Subianto yang hari ini masih terkenal sebagai calon presiden. Ia mengajak untuk tidak lagi menghormati media karena menurutnya media sudah berada di kubu penguasa.

Tentu saja, ajakan dari seorang tokoh sekelas Prabowo yang memiliki pengikut belasan juta itu, tak bisa dianggap sebagai ajakan sederhana.

Bayangkan jika di antara peserta reuni itu adalah para pengusaha kaya raya, punya pengaruh kuat ke berbagai perusahaan, dan bisa menentukan sebuah perusahaan media bisa dapat kue iklan atau tidak. Bangkrut tuh perusahaan-perusahaan media. Kompas meratap, Tempo bersedih, Metro TV berduka, dan berbagai TV lain berbelasungkawa. 

Eh, tapi itu candaan saya saja. 

Sebab media-media itu juga jelas punya kue iklan dari mana-mana. Mereka juga punya orang-orang yang punya kemampuan "berdagang" alias mencari iklan yang andal. Relasi yang mereka punya pun tentu saja bukanlah kelas orang-orang yang gemar "bikin semak" jalan raya saja.

Jadi, Prabowo sebagai capres memang patut kecewa di sini. Ia belum jadi presiden, hingga belum bisa menjadi penentu hidup-mati sebuah media. Coba jika kursi presiden sudah di tangannya, inspirasi dari sang mertua, maksud saya, dari mantan presiden Soeharto, pasti takkan dilewatkan begitu saja.

Beredel!

Satu kata itu saja cukup keluar dari mulutnya. Media sebesar apa pun bisa tumbang. Perusahaan media bisa bangkrut. Karyawan dan juga wartawan bisa gigit jari, dan terpaksa menghabiskan waktu memutar lagu-lagu Rhoma Irama tujuh hari tujuh malam di YouTube! 

"Merana ... memang merana ... kalau putus kontrak!"

Sayang sekali, Pak Capres kita ini belum jadi presiden. Dia pun tidak bisa minta bantu kepada pemerintah, "Tolong dong, beredel saja media-media itu tuh!" Jelas, karena minta bantu kepada lawan, sama saja mencoreng muka sendiri. 

Jadilah di depan banyak wartawan, Prabowo memilih menunjukkan karakternya bahwa, "Gue mantan jenderal, lho! Jangan main-main dengan saya!"

Kira-kira itulah kesan dari pernyataannya kepada beberapa wartawan tempo hari (dengan bahasa versi saya, tentunya) saat ia memilih meluapkan kekecewaannya kepada kalangan media. Dalam kondisi emosi, penggunaan kata "gue" dan "saya" bisa saja muncul dalam satu kalimat.

Di sisi lain, keputusannya menunjukkan karakter sebagai pemberang di depan media pun memunculkan tanda tanya di media lainnya, yakni media sosial.

"Itu disengaja atau alami saja?"

"Jangan-jangan sikapnya di depan wartawan gitu cuma buat bikin namanya jadi obrolan lagi ..."

"Bisa jadi itu cuma caranya saja biar namanya tetap terjaga, karena sudah pasti diberitakan oleh media ..."

Jika Anda rajin membuang waktu di media sosial, akan dengan mudah menemukan kalimat bernada kegamangan seperti itu. Apalagi ini tahun politik, kegamangan yang muncul bisa saja lebih serius daripada kegamangan bujang lapuk yang masih bertanya-tanya, apakah dia memutuskan kawin saja atau tetap memilih sendirian saja. 

Namun di tengah kencangnya berita seputar kurangnya berita tentang "aksi jutaan umat" tadi, hingga Prabowo kecewa, saya juga punya sudut pandang lain. Boleh jadi sudut pandang ini juga terbetik di kepala Anda--entah Anda beruban atau belum. Bahwa, jangan-jangan Prabowo gusar hanya karena ia sedang menjadi korban "PHP"--istilah coding yang kini diterjemahkan sebagai "Pemberi Harapan Palsu."

Sebab melihat lagi, bahwa memang jika membuka-buka laman berita, status Prabowo di sana tak lebih sebagai tamu. Mengherankan, kok bisa seorang tamu bisa lebih risau daripada orang yang punya acara. 

Nah, jangan-jangan ini cuma acaranya sendiri, karena dengan acara ini maka mereka yang sedang semangat-semangatnya membela agama bisa direcoki, bahwa jika membela dia hingga ia jadi penguasa, maka itu bagian dari membela agama!

Boleh jadi ini kesimpulan saya yang mengada-ada saja. Namun memang jika mengulik lebih jauh, ada banyak narasi yang dibangun jika mengulik bagaimana mereka menyuarakan acara reuni tersebut. Satu sisi dibangun narasi bahwa ini adalah aksi membela agama, wujud cinta kepada agama, hingga dipandang sebagai gerakan mujahid yakni orang yang sedang berjihad.

Dalam Islam, jihad itu menjadi satu bab khusus karena saking serius dan mulianya "ibadah" tersebut. Begitu juga gelar mujahid, dimuliakan secara khusus dalam Alquran, "Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah." Itu tertulis di Surat At-Taubah.

 Masalahnya, acara itu sendiri memang sangat kental dengan narasi-narasi politis. Orang-orang yang diberikan kepercayaan untuk berbicara pun adalah figur-figur yang sudah terkenal sebagai pembela militan capres yang memarahi wartawan tadi. 

Jika mereka yang datang ke sana untuk mendengar tokoh pendukung Prabowo bicara disebut sebagai mujahid, sebenarnya pantas juga untuk diberikan lagi beberapa pertanyaan.

"Emang Prabowo adalah tokoh Islam?"

"Emang Prabowo sangat mewakili umat Islam?"

"Apakah Prabowo memang orang yang betul-betul melaksanakan semua perintah Islam, setidaknya yang diperintahkan dalam Rukun Islam?"

"Apakah membela Prabowo sama dengan membela Islam?"

"Seberapa jauh sih keberpihakan Prabowo kepada umat Islam sejak ia masih di militer hingga ia diberhentikan dari dunia militer?"

Tunggu saudara-saudara. Di sini saya sebagai pemilik sepuluh jari yang menulis semua ini tidak memberikan jawaban. Cukup kembali pada kewarasan kita saja. 

Apa hubungannya dengan pers? Ya, pers punya tanggung jawab. Bukan untuk mengikuti apa yang diinginkan oleh orang yang ingin berkuasa. Pers bukan kalangan yang lahir dan tumbuh untuk sekadar menciptakan dan memperbesar sebuah kehebohan. 

Ada peran dan fungsi pers yang berada di atas semua itu. Di luar itu, pers pun, menurut pengamat media Sirikit Syah (Membincang Pers, Kepala Negara, dan Etika Media), fakta pun-bagi pers-harus dipilih. Ini adalah salah satu "kuasa" media, menurut eks wartawan Jakarta Post tersebut.

Mengacu ke pendapat itu, media memiliki kekuasaan sendiri, dan Prabowo sebagai calon presiden pun memiliki kuasa tersendiri--setidaknya di kalangan partai dan koalisi pendukungnya. Dalam realitas hari ini, media punya "kerajaan" tersendiri yang tak bisa didikte oleh raja manapun. Ya, kecuali Prabowo jadi penguasa, dan memilih memberedel semua media yang tidak mengikuti kata-katanya.

Justru di sini, pers sendiri pun ogah, pastinya, belum-belum berkuasa sudah banyak dikte. Apalagi sampai memaksa media untuk mengikuti segala irama yang dimainkannya, tentu saja tidak bisa.

Jika kemarin Prabowo bisa mengeluarkan kalimat, "Untuk apa wawancarai saya?" bukan tak mungkin ke depan tak lagi sekadar menolak meliput reuni-reunian yang kental kepentingannya. Bisa jadi juga tegas-tegas kalangan pers membalas, "Untuk apa saya wawancarai Anda?"

Kecuali, ada pengecualian, mbok ya, masih dalam perjalanan menuju kursi kekuasaan, tidak perlulah meniru-niru gaya mertua yang pernah berkuasa hingga ia bisa menempatkan diri atas media. Sebab bicara soal ngambek, media juga punya cara sendiri buat ngambek. Lha, itu kemaren acara reuni-reunian "belasan juta" orang itu luar biasa di mata Anda, bisa diperlihatkan sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja oleh media, kan, Pak? Jadi, sudahlah.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun