Misalnya, seorang anak laki-laki yang gemar dan berbakat dalam bidang tata rias harus mengesampingkan bakatnya tersebut hanya karena sentimen dari berbagai pihak yang timbul akibat aktivitas tata rias identik dengan perempuan.
Oleh karena itu, untuk menyelamatkan sekian laki-laki yang depresi karena memendam masalahnya sendirian, untuk memberi jalan bagi sekian laki-laki dalam mengejar impiannya di bidang tata rias, bahasan ini menjadi sangat penting untuk diangkat dan didiskusikan secara lebih mendalam.
Toxic Masculinity dalam Parenting
Terdapat berbagai jawaban untuk menjawab pertanyaan terkait "dari mana?" dan "di mana?" toxic masculinity ini lahir serta berkembang. Isunya terlalu kompleks untuk dijelaskan hanya melalui satu faktor.Â
Namun, di antara berbagai faktor yang berkaitan dalam menyokong eksistensi dari toxic masculinity tersebut, terdapat satu faktor yang dekat dengan hampir kebanyakan orang dan memiliki peran yang sangat krusial, yaitu parenting. Bak pisau bermata dua, parenting memiliki dua potensi jika berhadapan dengan toxic masculinity.Â
Dalam satu hal, jika dilakukan dengan cara yang tepat, parenting dapat memutus rantai toxic masculinity. Namun, jika tidak dilakukan dengan cara yang tepat, parenting justru berpotensi memperpanjang eksistensi dari toxic masculinity.
Permasalahannya hadir ketika terdapat beberapa hal yang dirasa sudah lumrah dalam parenting, tetapi ternyata memiliki konsekuensi yang dapat memperpanjang eksistensi dari toxic masculinity.Â
Oleh karena itu, diperlukan  pengetahuan terkait tindakan apa saja yang seharusnya tidak dilakukan agar konsekuensi yang dimaksud tidak terjadi, setidaknya terdapat beberapa tindakan yang harus dihindari untuk memutus rantai pembudayaan toxic masculinity melalui parenting.Â
Beberapa tindakan tersebut meliputi mendikte anak untuk menjadi laki-laki yang kuat, memberi contoh seksisme dalam rumah tangga, dan memaksa anak untuk menyembunyikan emosinya [7].
Mendikte anak untuk menjadi laki-laki yang kuat dapat tersampaikan melalui ucapan-ucapan seperti "man up!", "be a man!", dan sejenisnya. Padahal, pada kenyataannya, ucapan tersebut tidak akan menjadikan anak laki-laki sebagai seorang yang kuat, tetapi sebaliknya, ucapan tersebut dapat merusak mereka.Â
Bahkan, dalam wawancara dengan The Representation Project, Joe Ehrmann, mantan pelatih dan pemain profesional National Football League (NFL), menyebutkan bahwa "be a man!" adalah tiga kata yang paling berdampak secara destruktif kepada setiap pria yang didapatkan ketika mereka masih anak-anak [8].Â