Walaupun perceraian / pertikaian dalam keluarga hanya berlangsung dalam jangka waktu yang pendek, namun akibat dari kejadian tersebut memiliki efek jangka panjang pada psikologis anak. Allison dan Furstenberg menganalisis data dari National Survey of Children, sebuah survey tentang kesehatan fisik dan emosional anak di USA, ditemukan bahwa perceraian menimbulkan efek negatif dan jangka panjang pada perilaku, kesejahteraan psikologis, dan prestasi akademik anak. Sejalan dengan penemuan Allison dan Furstenberg, pendapat lainnya menyatakan bahwa perceraian dapat menimbulkan stress, tekanan, dan perubahan pada fisik dan mental anggota keluarga yang bersangkutan, terutama anak (Save Degun, 2002: 113).
Selain itu, kondisi keluarga yang tidak kondusif membuat remaja lebih berisiko terlibat penyalahgunaan atau ketergantungan NAPZA dibandingkan dengan remaja yang dididik dalam keluarga yang kondusif dan ketidakutuhan keluarga (broken home by death) mempunyai pengaruh 26,7% pada anak atau remaja yang terlibat penyalahgunaan NAPZA (Hawari, 2007).
Menangani Kasus "Broken Home"
Anak yang mengalami broken home merupakan pihak yang patut diperhatikan dan diawasi pertumbuhannya karena pada dasarnya mereka tidak sama dengan anak lainnya dari keluarga normal (Bisono, 2009). Mereka lebih rentan terhadap pengaruh buruk dari lingkungan, apalagi pergaulan anak muda. Selain itu, tingkat sensitivitas, kedewasaan, serta kemandirian anak broken home juga berbeda dengan anak dari keluarga harmonis.
Salah satu upaya menangani kesehatan mental anak broken home yaitu melalui konsultasi psikologis oleh pihak yang berpengalaman menangani kasus broken home seperti guru BK, pendidik di pendidikan informal, dan psikolog. Anak korban broken home rentan dengan emosi negatif karena itu dukungan moral dari lingkungan sekitar yang suportif akan sangat membantu anak broken home dalam menetralisir perasaan negatif di hati mereka.
Upaya lainnya yang dapat dilakukan sebagai tindakan mencegah terjadinya kasus broken home adalah menekan angka perceraian yang menjadi akar masalah dari peristiwa broken home. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy, membuat kebijakan baru mulai tahun 2020 yaitu mewajibkan setiap pasangan yang akan menikah untuk mengikuti kelas pranikah secara gratis [3]
Edukasi pranikah ini dirasa penting mengingat angka perceraian yang tinggi di Indonesia. Di kelas ini, mereka akan diberikan materi tentang psikologi keluarga dan semua hal yang berkaitan dengan menjaga keutuhan keluarga beserta prakteknya. Pasangan yang akan rujuk juga diharapkan dapat mengikuti kelas ini. Intinya, penanganan kasus broken home oleh faktor eksternal akan membantu upaya penanganan oleh faktor internal (yang berasal dari dalam diri sendiri) sehingga diharapkan para korban broken home tidak terjerumus ke jalan hidup yang salah.
Referensi :
[1] Merdeka. 2020. Kemenag Sebut Angka Perceraian Mencapai 306.688 Per Agustus 2020 | merdeka.com. [online] Available at: [Accessed 18 February 2021].
[2] Zuraidah, 2016. ANALISA PERILAKU REMAJA DARI KELUARGA BROKEN HOME. [online] E-journal.potensi-utama.ac.id. Available at: [Accessed 20 February 2021].
[3] Allison PD, Furstenberg FF. How marital dissolution affects children: variation by age and sex. Development Psychology. 1989;25:540-9