Mohon tunggu...
SNF FEBUI
SNF FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Badan Semi Otonom di FEB UI

Founded in 1979, Sekolah Non Formal FEB UI (SNF FEB UI) is a non-profit organization contributing towards children's education, based in Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia. One of our main activities is giving additional lessons for 5th-grade students, from various elementary schools located near Universitas Indonesia. _________________________________________________________ LINE: @snf.febui _________________________________________________________ Instagram: @snf.febui ____________________________________________________ Twitter: @snf_febui _______________________________________________________ Facebook: SNF FEB UI ____________________________________________________ Youtube: Sekolah Non Formal FEB UI ______________________________________________________ Website: snf-febui.com ______________________________________________________ SNF FEB UI 2020-2021 | Learning, Humanism, Family, Enthusiasm | #SNFWeCare

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stigma "Broken Home": Tali Penjerat Kesehatan Mental Anak

28 Februari 2021   18:54 Diperbarui: 7 Maret 2021   14:24 2737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak semua anak beruntung memiliki keluarga yang lengkap dan harmonis. Faktanya, terdapat lebih dari 306.000 kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2020 [1]. Implikasinya, ratusan ribu anak Indonesia harus merasakan keretakan hubungan di keluarga intinya. Disetujui ataupun tidak, perpisahan orang tua tetap membawa kekecewaan dan kesedihan bagi sang anak. Anak yang menjadi korban broken home mengalami disrupsi pada kesehatan mentalnya.

Stigma anak "broken home" di masyarakat seakan menggeneralisasi bahwa anak broken home pastilah anak yang bandel atau patut untuk dikasihani. Padahal setiap anak mempunyai respon yang berbeda terhadap kondisi broken home yang dialaminya. Ada sebuah istilah yang cukup terkenal yaitu a broken home doesn't mean a broken child. Maknanya adalah seseorang yang meskipun orang tuanya bercerai, namun ia termasuk anak yang berperangai baik dan memiliki segudang prestasi bahkan meraih kesuksesan dalam hidupnya. Tandanya, ia menyikapi permasalahan keluarga ini dengan positif.

Namun tidak sedikit juga dari mereka yang malah tumbuh menjadi pribadi yang nakal atau melakukan penyimpangan sosial sesuai dengan stigma buruk anak "broken home". Lebih jauhnya bahkan ada yang sampai melakukan tindak kriminal atau self-harm. Anak-anak ini mengatasi rasa sakit hati yang mereka alami akibat perceraian orang tua dengan sesuatu yang negatif.

Keberagaman respon anak terhadap perceraian orang tua inilah yang tidak serta merta membenarkan stigma buruk anak "broken home". Lalu menilik lebih jauh kasus ini, bagaimana pengalaman sebagai broken home memiliki korelasi dengan kesehatan mental seorang anak? Bagaimana dinamika psikologis anak broken home mempengaruhi masa depan hidupnya? Seperti apa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi luka yang anak-anak tersebut rasakan akibat broken home?

Dibalik Stigma "Broken Home"

Broken home didefinisikan sebagai keluarga yang retak atau berantakan (mengalami disfungsi keluarga) yang ditandai dengan adanya perceraian orang tua, pertikaian atau konflik dalam keluarga, orang tua yang kurang dalam memberikan kasih sayang, kurangnya komunikasi diantara anggota keluarga karena kesibukan masing-masing, dan sebagainya (Ndari, 2016: 40).

Sejatinya, keluarga adalah tempat anak dalam mendapatkan pendidikan dan kasih sayang. Lalu, timbul kepuasan psikis pada diri anak yang akan menjadi penentu cara anak bereaksi terhadap lingkungan. Anak yang tumbuh dalam keluarga yang tidak harmonis (broken home) tidak akan mendapatkan kepuasan psikis yang cukup sehingga sulit untuknya mengontrol emosi dan mengembangkan keterampilan sosial. Sulit untuk berkomunikasi secara terbuka dan sehat, kurang mampu dalam membangun hubungan sosial yang baik, dan lain sebagainya.

Selain itu, tidak kondusifnya keadaan rumah membuat emosi negatif menyelubungi perasaan para korban broken home. Bak luka disiram air garam, stigma buruk anak broken home yang ada di masyarakat memperparah emosi negatif yang mereka rasakan akibat perpecahan dalam keluarganya. Tak jarang mereka diremehkan dan dibicarakan dari belakang oleh orang disekitarnya. Kebanyakan para korban broken home hanya bisa diam menahan semua rasa sakitnya seorang diri. Keadaan ini membuat luka yang mereka alami berkali-kali lipat menjadi lebih menyakitkan.

Dinamika Psikologis Anak "Broken Home"

Menggunakan teori "The Five Stage of Grief" [2], kita juga bisa menganalisa dinamika psikologis anak broken home. Tahap pertama adalah denial, dimana anak broken home berpura-pura tidak terjadi apapun dan menolak kesedihan. Ia menolak fakta bahwa keluarganya telah terpecah dan berpura-pura bahwa keluarganya masih baik-baik saja. Tahap kedua adalah anger, anak broken home akan marah dan menyalahkan orang atau benda di sekitarnya untuk melampiaskan kesedihannya. Tahap ketiga adalah bargaining, yaitu ketika seorang anak broken home mulai berandai-andai hal yang seharusnya dilakukan untuk mencegah perpecahan keluarganya terjadi. Tahap keempat adalah depression, anak broken home menyadari fakta yang terjadi saat ini serta merasa sangat sedih dan tidak beruntung atas keretakan keluarganya. Tahap terakhir yaitu acceptance, seorang anak broken home menerima keretakan dalam keluarganya dan menyadari bahwa ia harus melaluinya serta mengambil hikmah atas hal tersebut. Ia merasa bahwa ia harus melanjutkan hidupnya dengan baik. Kegagalan dalam mencapai tahap acceptance menghasilkan anak broken home dengan perilaku menyimpang dan bahkan bertindak kriminal atau self-harm.

Dampak "Broken Home"

Walaupun perceraian / pertikaian dalam keluarga hanya berlangsung dalam jangka waktu yang pendek, namun akibat dari kejadian tersebut memiliki efek jangka panjang pada psikologis anak. Allison dan Furstenberg menganalisis data dari National Survey of Children, sebuah survey tentang kesehatan fisik dan emosional anak di USA, ditemukan bahwa perceraian menimbulkan efek negatif dan jangka panjang pada perilaku, kesejahteraan psikologis, dan prestasi akademik anak. Sejalan dengan penemuan Allison dan Furstenberg, pendapat lainnya menyatakan bahwa perceraian dapat menimbulkan stress, tekanan, dan perubahan pada fisik dan mental anggota keluarga yang bersangkutan, terutama anak (Save Degun, 2002: 113).

Selain itu, kondisi keluarga yang tidak kondusif membuat remaja lebih berisiko terlibat penyalahgunaan atau ketergantungan NAPZA dibandingkan dengan remaja yang dididik dalam keluarga yang kondusif dan ketidakutuhan keluarga (broken home by death) mempunyai pengaruh 26,7% pada anak atau remaja yang terlibat penyalahgunaan NAPZA (Hawari, 2007).

Menangani Kasus "Broken Home"

Anak yang mengalami broken home merupakan pihak yang patut diperhatikan dan diawasi pertumbuhannya karena pada dasarnya mereka tidak sama dengan anak lainnya dari keluarga normal (Bisono, 2009). Mereka lebih rentan terhadap pengaruh buruk dari lingkungan, apalagi pergaulan anak muda. Selain itu, tingkat sensitivitas, kedewasaan, serta kemandirian anak broken home juga berbeda dengan anak dari keluarga harmonis.

Salah satu upaya menangani kesehatan mental anak broken home yaitu melalui konsultasi psikologis oleh pihak yang berpengalaman menangani kasus broken home seperti guru BK, pendidik di pendidikan informal, dan psikolog. Anak korban broken home rentan dengan emosi negatif karena itu dukungan moral dari lingkungan sekitar yang suportif akan sangat membantu anak broken home dalam menetralisir perasaan negatif di hati mereka.

Upaya lainnya yang dapat dilakukan sebagai tindakan mencegah terjadinya kasus broken home adalah menekan angka perceraian yang menjadi akar masalah dari peristiwa broken home. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy, membuat kebijakan baru mulai tahun 2020 yaitu mewajibkan setiap pasangan yang akan menikah untuk mengikuti kelas pranikah secara gratis [3]

Edukasi pranikah ini dirasa penting mengingat angka perceraian yang tinggi di Indonesia. Di kelas ini, mereka akan diberikan materi tentang psikologi keluarga dan semua hal yang berkaitan dengan menjaga keutuhan keluarga beserta prakteknya. Pasangan yang akan rujuk juga diharapkan dapat mengikuti kelas ini. Intinya, penanganan kasus broken home oleh faktor eksternal akan membantu upaya penanganan oleh faktor internal (yang berasal dari dalam diri sendiri) sehingga diharapkan para korban broken home tidak terjerumus ke jalan hidup yang salah.

Referensi :

[1] Merdeka. 2020. Kemenag Sebut Angka Perceraian Mencapai 306.688 Per Agustus 2020 | merdeka.com. [online] Available at: [Accessed 18 February 2021].

[2] Zuraidah, 2016. ANALISA PERILAKU REMAJA DARI KELUARGA BROKEN HOME. [online] E-journal.potensi-utama.ac.id. Available at: [Accessed 20 February 2021].

[3] Allison PD, Furstenberg FF. How marital dissolution affects children: variation by age and sex. Development Psychology. 1989;25:540-9

[4] Ndari, P., 2016. DINAMIKA PSIKOLOGIS SISWA KORBAN BROKEN HOME DI SMP NEGERI 5 SLEMAN. [online] Journal.student.uny.ac.id. Available at: [Accessed 19 February 2021].

[5] Save Degun. 2002. Psikologi Keluarga (Peranan Ayah dalam Keluarga). Jakarta: PT. Rineka Cipta.

[6] Hawari, D. 2007. Remaja dan Perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta

Oleh : Shania Rahmi | EIE 2019

Kepala Biro Jurnalistik

SNF FEB UI 2020-2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun