Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Di Indonesia, Pendidikan Kriminalisasi, dalam Pelajaran atau Mata Kuliah, Apa?

16 Mei 2025   20:05 Diperbarui: 16 Mei 2025   20:05 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW

Manusia yang spiritual (SQ), intelektual (IQ), dan emosional (EQ) sudah cerdas, dalam upaya meraih kesuksesan hidup di dunia tidak akan membodohi apalagi mengkriminalisasi manusia lain demi kepentingan dan keuntungan di dunia yang sesaat.

(Supartono JW.16052025)
Pengamat pendidikan nasional

Kendati penahanan mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS, pengunggah meme Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), telah ditangguhkan Bareskrim Polri. Namun, tetap saja hal ini menambah tebal kisah-kisah kriminalisasi yang terus menerus dijadikan senjata dan ujung tombak "mereka" dalam membela diri dan mempertahankan "sesuatu".

Praktik-praktik otoriter dalam merepresi kebebasan berekspresi di ruang digital dengan menggunakan argumen kesusilaan, yang tidak adil, tetap nyaring.

Sejatinya, ekspresi damai seberapapun ofensif, baik melalui seni, termasuk satir dan meme politik, bukanlah merupakan tindak pidana. Putusan terbaru MK pun telah menyatakan bahwa keributan di media sosial tidak tergolong tindak pidana.

Dari pendapat beberapa ahli di berbagai ruang publik, dapat saya simpulkan bahwa kebebasan berpendapat adalah hak yang dilindungi baik dalam hukum HAM internasional dan nasional, termasuk UUD 1945. Bahkan, standar HAM internasional menganjurkan agar kasus meme itu, tidak dilakukan melalui pemidanaan.

Terlebih, lembaga negara sendiri termasuk Presiden bukanlah suatu entitas yang dilindungi reputasinya oleh hukum hak asasi manusia.

Tetapi, kriminalisasi dari ruang ekspresi sepertinya memang ditujukan untuk terus menciptakan dan menyuburkan iklim agar masyarakat ketakutan dan merupakan bentuk taktik kejam untuk membungkam kritik di ruang publik.

Karenanya, kisah meme ini, serta kisah-kisah kriminalisasi berjilid sebelumnya, selain bertentangan dengan semangat putusan MK. Negara tidak boleh anti-kritik, apalagi menggunakan hukum sebagai alat pembungkaman dengan kendaraan UU ITE yang disalah gunakan.

Kriminalisasi, mendidik?

Dari kasus terhangat menyoal meme dan sejumlah kasus kriminalisasi lainnya di negeri ini yang dilakukan oleh "penguasa",  ini adalah satu dari sekian fakta bahwa pendidikan agama dan pendidikan formal di Indonesia terus gagal. Mengapa?

Salah satu kemungkinan jawabannya adalah karena para pemimpin Indonesia di pemerintahan dan parlemen dalam menjalankan fungsi dan tugasnya hanya sebagai aktor. Sementara naskah dan sutradaranya ada di balik pemerintahan dan parlemen, "para pemodal".

Semua dari mereka sepertinya bermentalitas penjajah, demi "kesuksesan" mereka, program pembodohan dan kriminalisasi pun sepertinya dilakukan secara terstruktur, tersistem, dan masif (TSM).

Pertanyaannya, hukum sehebat dan setinggi apa yang dapat menghentikan perbuatan TSM yang sangat jahat itu? Fakta bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, nyatanya hanya menjadi slogan. Sebab, siapa cukong di balik penguasa di pemerintahan dan parlemen sepertinya sudah menjadi pemilik Republik ini, dengan menjadi penjajah yang lebih parah dari penjajah kolonialisme.

Lihatlah, meski Jokowi sudah bukan Presiden, tetapi masih nampak lebih "memimpin" dibandingkan Presiden Prabowo. Kapolri dari rezim Jokowi pun, masih diamankan duduk menjabat. Apa maksud di baliknya? Mereka tahu, ada rakyat yang cerdas dan tahu "permainan" mereka. Tapi mereka memiliki benteng untuk menangkalnya.

Siapa pun yang mencoba mengusik, melawan, menentang, menolak, dan lainnya, kriminalisasi menjadi dewa penyelamatnya. Di mana letak keberhasilan pendidikan agama dan pendidikan formal mereka? Bagaimana berharap rakyat berhasil dalam pendidikan, bila mereka saja terus mempraktikan perbuatan yang jauh dari norma agama, norma pendidikan, dengan mempermainkan produk hukum pesanan/buatan "mereka".

Kriminalisasi, perbuatan zalim

Kriminalisasi adalah proses membuat sesuatu yang semula bukan kejahatan menjadi kejahatan, di mana suatu perbuatan yang awalnya tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana.

Oleh karena itu, sesuai ajaran agama kriminalisasi tergolong perbuatan zalim, sebuah kejahatan yang dapat dijerat dengan hukum pidana. Dalam konteks Islam, kezaliman adalah perbuatan yang tidak adil, menyakiti, dan menindas orang lain.

Bentuk kriminalisasi yang kini sudah mendarah daging dipahami rakyat Indonesia, ada yang dalam tindakan fisik, verbal, atau tindakan lain yang merugikan hak-hak orang lain.

Bila benar cerdas SQ, IQ, dan EQ, maka tidak akan ada orang-orang yang mengkriminalisasi orang lain. Atau, karena kecerdasan SQ, IQ, dan EQnya disalah gunakan, maka tidak akan peduli bahwa melakukan kriminalisasi adalah perbuatan zalim.

Kriminalisasi, norma pendidikan?

Bila dari sudut agama, kriminalisasi adalah perbuatan zalim, dari sudut pendidikan, kriminalisasi mengingkari nilai-nilai pendidikan itu sendiri.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan. Istilah ini juga berasal dari kata didik yang berarti memelihara dan memberi latihan, termasuk mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.

Oleh karena itu, orang yang sudah terdidik, seharusnya dapat menerapkan nilai-nilai etika dan moral, pandai bersyukur, kebaikan, kejujuran, tanggung jawab, empati-simpati, tahu diri, tahu malu, tahu berterima kasih, tahu malu, rendah hati, hingga menghargai dan menghormati orang lain.

Pendidikan yang berhasil, maka dipastikan akan menguatkan karakter positif seseorang untuk selalu berbuat baik dan bertanggung jawab, terhindar dari perbuatan zalim, jahat, perilaku kriminal hingga mengkriminalisasi.

Bagaimana dengan perilaku manusia yang dengan TSM malah mengkriminalisasi orang lain? Dari sudut pendidikan, tentu pelakunya dapat dikategorikan tidak terdidik, sebab meski mengetahui kriminalisasi perbuatan apa, tetap saja melakukan dan menabrak hukum dan hak asasi manusia.

530 kasus kriminalisasi
 
Saya kutip dari Amnesty.id, Jumat (9/5/2025), Amnesty International Indonesia mencatat selama 2019-2024 setidaknya terdapat 530 kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi dengan jerat UU ITE terhadap 563 korban.

Pelaku kriminalisasi didominasi oleh patroli siber Polri (258 kasus dengan 271 korban) dan laporan Pemerintah Daerah (63 kasus dengan 68 korban).

Kriminalisasi lawan politik

Selain itu, rakyat juga sudah sangat paham bahwa "penguasa" terbudaya memiliki program mengkriminalisasi lawan politik dengan menggunakan pasal-pasal yang tidak relevan atau dengan menafsirkan pasal-pasal hukum secara meluas. Beberapa contoh hukum yang sering digunakan untuk mengkriminalisasi lawan politik di Indonesia meliputi UU ITE, KUHP, dan UU Pemilu.

UU ITE sering digunakan untuk menindak ujaran kebencian, penghinaan, dan fitnah di media sosial, yang seringkali digunakan untuk. mengkriminalisasi lawan politik.

Sementara KUHP digunakan untuk menindak berbagai tindakan yang dianggap melawan hukum, seperti penghasutan dan tindakan yang mengganggu ketertiban umum, yang seringkali disalahgunakan untuk mengkriminalisasi lawan politik.

Selanjutnya UU Pemilu, yang mengatur tentang larangan black campaign dan kampanye hitam, namun pasal-pasal ini juga dapat disalahgunakan untuk menindak kritik atau pernyataan yang tidak disukai oleh pihak tertentu.

Dalam faktanya, selama ini, ada buzzer politik yang dikriminalisasi karena melakukan black campaign atau ujaran kebencian di media sosial, ditindak berdasarkan UU ITE dan KUHP.

Aktivis dan tokoh oposisi
yang melakukan kritik terhadap pemerintah atau kebijakan pemerintah, seringkali juga ditindak dengan berbagai pasal hukum, seperti KUHP, UU ITE, dan UU Pemilu.

Lebih dari itu, dalam beberapa kasus, pihak berwenang melakukan operasi hukum yang menyasar lawan politik dengan menggunakan pasal-pasal hukum yang tidak relevan atau dengan menafsirkan pasal-pasal hukum secara meluas.

Pada akhirnya, kriminalisasi merusak tatanan demokrasi sebab membungkam berekspresi, berkumpul, berorganisasi, merusak supremasi hukum, hingga membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum.

Saya ulangi, manusia yang spiritual (SQ), intelektual (IQ), dan emosional (EQ) sudah cerdas, dalam upaya meraih kesuksesan hidup di dunia tidak akan membodohi apalagi mengkriminalisasi manusia lain demi kepentingan dan keuntungan di dunia yang sesaat. Pertanyaan saya, di Indonesia, pendidikan mengkriminalisasi, diajarkan di mana? Dalam pelajaran apa, mata kuliah apa?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun