Panorama pantai Anoi Itam dari dalam benteng Jepang
Manusia selalu tertarik untuk mencari ujung dan sebuah titik nol. God is the tangential point between zero and infinity, begitu kata Alfred Jarry. Saya bukan penggemar Matematika, tapi kurang lebih, tangen bermakna sebuah garis lurus yang selalu menyentuh kurva tanpa memotong kurva itu.
Saya selalu menyukai perjalanan karena sepulang dari perjalanan, saya merasa menjadi manusia baru. Perjalanan bertemu manusia dan budaya yang berbeda dari keseharian kita, juga bisa menjadi pencerahan. Tak jarang saya menemukan Tuhan di tempat yang saya singgahi, dan di antara manusia-manusia yang saya jumpai. Kali ini, Sabang adalah bukti bahwa Tuhan menitipkan alam yang begitu memesona untuk rakyat Aceh.
Selain ingin melihat tugu Nol Kilometer di pulau yang terletak paling ujung barat Indonesia ini, saya pergi untuk napak tilas jejak ibu dan almarhum ayah saya. Beberapa bulan lalu, saya menemukan selembar foto ayah dan ibu di sebuah pantai di Sabang. Saya tanya pada Ibu di pantai mana ia dan ayah berpose, ibu lupa. Foto itu diambil sekitar dua puluh dua tahun yang lalu. Semasa kecil, saya pernah tinggal selama tiga tahun di Lhokseumawe. Ya, saya rindu pada laut ujung barat Indonesia. Saya rindu kenangan akan Aceh.
Berikut adalah catatan perjalanan saya selama 4 hari 3 malam di bumi Serambi Mekah:
Day 1
Banda Aceh – Ulee Lheue – Balohan – Danau Aneuk Laot – pantai Sumur Tiga – CasanemoResort
Linda Nurdin, seorang reporter senior RRI menjemput saya dan teman di bandara Sultan Iskandar Muda di suatu siang. Ia tampak gagah dengan gamis hitam, kerudung hitam, dan boots hitam. Kak Linda adalah seorang single parent yang menjadikan rumahnya sebagai homestay. Selain reporter andal, ia juga jago memasak. Salah satu alasan saya memilih homestay adalah supaya bisa berinteraksi dengan orang lokal dan bertukar cerita. Ibu Kak Linda menjadi salah satu korban tsunami Aceh. Ketika mobil kami melewati kuburan massal, mata Kak Linda berkaca-kaca.
Kami singgah makan siang di rumah makan Lem Bakrie. Namanya lucu ya? Ayam goreng dan ikan kayu di rumah makan ini rasanya juara. Sampai sekarang saya masih terkenang rasa ayam gorengnya. Kata Kak Linda, orang Aceh pantang menggunakan ayam broiler. Semua masakan Aceh menggunakan ayam kampung. Saya juga tak melewatkan menikmati kopi Aceh di rumah makan ini.

Makan bersama Kak Linda di RM Lem Bakrie

Kopi Aceh yang mak nyus
Usai makan siang, Kak Linda mengantar saya ke pelabuhan Ulee Lheue. Tarif kapal untuk menyeberang ke Sabang bervariasi. Saya dan teman memilih tiket eksekutif AC seharga Rp65.000. Kapal berangkat pukul 4 sore. Kak Linda bilang terkadang saat musim ramai turis, kapal bisa berangkat sebelum jam 4 bila penumpang sudah penuh. Perjalanan ke pelabuhan Balohan, Sabang memakan waktu sekitar satu jam.

Becak Aceh dan pedagang jajanan sore di pelabuhan Ulee Lheue

Ruang tunggu pelabuhan Ulee Lheue yang lengang dan tarif menyeberang ke Sabang
Setiba di pelabuhan Balohan, Pak Kana, sopir merangkap pemandu wisata sudah menanti. Pelabuhan Balohan sungguh bersih.Saya benar-benar menyukai atmosfer Sabang. Tak ada hiruk-pikuk manusia. Tak ada yang tergesa-gesa. Orang Aceh mungkin tak banyak tersenyum, namun bukan berarti tak ramah. Laut dan langit di atas saya biru bersih. Saya tersenyum membayangkan ayah dan ibu saya dua puluh dua tahun lalu ada di sini.
Konon, dulu pelabuhan Sabang bersaing dengan Singapura. Sabang bahkan mengalahkan Singapura di masa sebelum Perang Dunia II. Namun setelah Jepang menduduki Sabang, status pelabuhan bebas ditutup dan beralih menjadi benteng pertahanan. Pemerintah Indonesia berencana menjadikan Sabang sebagai area duty free di tahun 1970. Entah mengapa, rencana itu gagal. Diam-diam saya bersyukur, karena bila Sabang adalah pelabuhan bebas, pulau indah ini pasti akan ramai oleh manusia beraneka bangsa dan bukan mustahil keindahan alamnya akan tergerus.

Pelabuhan Balohan Sabang dengan miniatur kapal

Dua lelaki menunjuk peta wisata di pelabuhan Balohan Sabang

Salak Sabang
Di perjalanan menuju penginapan di Sabang, saya melewati Danau Aneuk Laot. Danau ini adalah danau air tawar yang menjadi sumber air minum. Pak Kana bilang, akses menuju danau ini sengaja tidak dibuka untuk umum demi menjaga kualitas airnya. Turis hanya bisa memotret danau ini dari kejauhan. Lagi-lagi saya mengagumi komitmen Pemda Sabang untuk melindungi warganya dan tidak mengobral alam atas nama pariwisata belaka. Konon, di zaman Belanda berkuasa, banyak kapal yang melalui Selat Malaka mengambil air danau ini untuk pasokan air minum di kapal mereka.
Jalanan di Sabang cukup mulus dan ditata dengan baik. Sepanjang jalan tempat saya mengambil foto danau, jajaran pohon bunga berwarna pink dan bunga-bunga rumput yang juga berwarna pink menambah semarak suasana. Cuaca Aceh yang panas memang cocok untuk mekarnya aneka bunga tropis. Saya serasa syuting film India di sini. Hihihi..

Danau Aneuk Laot

Bunga-bunga di Sabang

Bunga rumput yang manis
Pak Kana mengantar saya dan teman ke Casanemo Resort, penginapan kami selama di Sabang. Resort yang menempati peringkat pertama di TripAdvisor ini terletak di area pantai Sumur Tiga. Disebut sumur tiga karena ada tiga sumur air tawar yang digunakan untuk minum oleh warga di area ini. Sampai di Casanemo kami disambut oleh Nelly, seekor dalmatian yang pemalu dan sopan. Ia hanya memandang dan mengendus kami, tak menyalak sedikit pun. Sepasang anjing kampung, Luna dan Coco Lee tampak lebih bersemangat mengamati kami.
Pemilik Casanemo adalah seorang gadis Aceh yang cantik nan nyentrik bernama Balqis. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Kak Linda, Balqis adalah perempuan muda yang berpenampilan modern. Hobinya diving dan ia berminat pada fashion dan desain. Alasannya membuat resort bukan demi keuntungan belaka. Ia bilang ia ingin memberdayakan warga lokal, yang ia rekrut menjadi pegawainya.


Coco Lee, Luna dan Nelly yang santai di ruang baca buku

Pantai Sumur Tiga di sekitar Casanemo Resort

Gapura pembatas pantai dan Casenemo Resort
Sampai di kamar, hari sudah menjelang Maghrib. Angin sore berhembus kencang di beranda kamar, membuat tempat tidur gantung yang terpasang di balkon kamar terayun-ayun. Kantuk dan lelah menyergap. Hari pertama di Serambi Mekkah ini pun diakhiri dengan tidur yang lelap.
Day 2
Nol Kilometer – Pantai Iboih – Pulau Rubiah
Hujan semalam membuat saya pulas tidur dan bersemangat ketika bangun di hari kedua perjalanan ini. Pak Kana yang setia sudah menanti di gerbang Casanemo. Ia membawa saya dan teman untuk sarapan lontong sayur khas Aceh. Rasanya unik karena lauknya ikan tongkol, ikan favorit penduduk Aceh, dan untungnya juga ikan favorit saya.

Lontong sayur khas Aceh
Perut kenyang, hati pun senang. Tujuan pertama kami hari ini adalah Tugu Nol Kilometer. Jalanan aspal menuju tugu ini sungguh bagus. Hutan-hutan dan pemandangan laut menyergap mata. Saya mematikan AC mobil dan membuka jendela. Sungguh saya iri pada warga Sabang yang punya hutan dan laut seindah ini.
Ketika separuh perjalanan, seorang lelaki yang mengendarai motor menegur Pak Kana dengan bahasa Aceh yang tak saya mengerti. Ternyata hujan semalam membuat sebatang pohon tumbang melintang di jalan beberapa meter di depan kami. Kami pun menunggu penjaga hutan yang akan datang memotong dan menyingkirkan si pohon tumbang.Sembari menunggu, saya asyik memotret serangga dan jamur-jamur yang menempel di batang pepohonan. Beberapa ekor kupu-kupu bersayap cantik berseliweran di sekitar kami. Hutan ini seperti surga yang membuat saya betah.

Saya di hutan dalam perjalanan menuju Tugu Nol Kilometer

Pohon tumbang yang dipotong supaya kami bisa melanjutkan perjalanan

Bebatuan cantik di hutan sekitar Tugu Nol Kilometer
Sekitar setengah jam menanti, kami pun melanjutkan perjalanan lagi menuju Nol Kilometer. Beberapa ekor monyet menyambut kami. Saya pun menyesal tak membawa pisang untuk makhluk-makhluk penjaga tugu itu. Beberapa dari mereka berlarian menuju saya dan memandang lapar pada kamera yang saya pegang. Pak Kana sontak mengusir monyet-monyet lapar itu dengan mengacungkan ranting.
“Haurgghh.. haurggh,” si monyet lapar yang lari ke dahan tetap memandangi saya dengan sebal. Ia memukul-mukulkan tangannya ke dengkul mungilnya, menggertak saya.
Saya bergegas mengambil gambar Tugu Nol Kilometer yang kondisinya kurang terawat. Ada coretan tangan jahil di prasasti tugu. Sayang pula, tak ada penjaga yang bisa membuat sertifikat bukti saya pengunjung tugu bersejarah ini. Pak Kana bilang, hari ini hari Jumat sehingga tak banyak pengunjung. Petugas pun tak datang.

Tugu Nol Kilometer
Tugu yang tingginya sekitar 22,5 meter ini diresmikan oleh Wapres Try Sutrisno pada 9 September 1997. Ada pula prasasti yang ditandatangani BJ Habibie yang kala itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi/ Ketua BPPT pada 24 September 1997.Tugu ini ternyata memikiki kembaran di Merauke, tepatnya di Distrik Sota, Kabupaten Merauke. Hmm.. kapan ya saya melihat kembarannya di Merauke?

Tugu yang dicoret-coret

Monyet nakal bin galak di Tugu Nol Kilometer
Puas memotret tugu, kami bergerak menuju pantai Iboih, pantai tercantik yang ada di Sabang. Kami ingin menyeberang ke Pulau Rubiah. Namun, hari Jumat membuat kami harus menunggu para tukang perahu usai menunaikan sholat Jumat. Sekitar dua jam kami menunggu hingga speed boat dan para tukang perahu siap menyeberangkan kami menuju pulau kecil nan cantik di seberang Iboih.
Sejauh mata memandang, hanya biru dan biru yang tampak. Pasir, laut, dan langit Iboih sungguh memesona. Meski siang cukup panas, udara di pulau Sabang ini tak membuat kulit kering dibandingkan dengan pantai di pulau-pulau kecil bagian lain Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan hutan-hutan di Sabang yang masih terjaga.
Tiba-tiba, saya melihat pemandangan menakjubkan lainnya. Seorang pria bule berpeci melintas membawa minuman dingin. Wow! Ada bule soleh jualan jus! Saya pun memotretnya. Sayang, ia keburu pergi untuk sholat Jumat.

Pantai Iboih

Peringatan di pantai Iboih

Bule soleh penjual jus dan minuman dingin di Iboih
Pukul dua siang, tukang speed boat tiba dan siap mengantar saya dan teman ke Pulau Rubiah. Pak Kana tetap tinggal di Iboih menjaga mobilnya. Awak kapalnya sungguh istimewa, dua bocah berkaus dengan nama punggung Beckham dan Torres. Keluarga tukang speed boat turut menyertai kami selama perjalanan sekitar 15 menit itu.

Pose seorang turis lokal di Iboih

Beckham, Torres dan ibunya menanti bapak mereka datang bersama speed boat

Keluarga tukang speedboat

Dermaga pulau Rubiah
Tiba di pulau Rubiah, saya makin terkagum-kagum pada keindahan alam Sabang. Saya dan teman bergegas menjelajahi pulau mungil ini. Kami menemukan sebuah sudut pantai yang indah dan sepi. Di dekat pantai nan sepi itu, nampak beberapa bangunan Belanda yang masih bagus namun tak berpenghuni. Kami bertanya-tanya dalam hati, siapa yang pernah tinggal di sini ya? Lalu, sebuah tembok batu menyingkirkan penasaran kami.
KARANTINA HAJI – PULAU RUBIAH – SABANG
Begitu yang tertulis pada tembok batu yang ditumbuhi rumput liar.
“Whoa, berarti nenekku pernah di sini!” teman saya berseru senang.
Ya, kami tak menyangka akan menemukan sepotong cerita masa lalu di pulau ini. Nenek teman saya adalah salah satu jamaah haji yang merasakan ‘nikmatnya’ naik haji dengan menggunakan kapal laut. Pulau Rubiah ini memang pernah menjadi pusat karantina haji di masa silam. Saya membayangkan perasaan para jamaah haji era jadoel. Betapa penuh perjuangan mereka untuk mencapai tanah suci.
Sandal jepit saya putus di pantai sepi pulau Rubiah. Saya pun kembali ke pantai Iboih dengan ‘nyeker’ dan menenteng sepasang sandal. Hmm.. ini adalah penanda penting di laci ingatan saya.

Rumah bekas karantina haji di pulau Rubiah

Sudut pantai yang sepi di pulau Rubiah

Pose saya di dermaga Pulau Rubiah sebelum pulang
Day 3
Sabang Hills – Benteng Jepang – Anoi Itam – Balohan – Ulee Lheue
Pagi di hari ketiga menerbitkan setitik rasa sedih di hati saya. Ini adalah hari terakhir saya menjelajah Sabang. Tujuan utama kami hari ini adalah menjejak benteng Jepang di Sabang. Dalam perjalanan, kami menyempatkan mengunjungi Sabang Hills, sebuah penginapan legendaris yang berketinggian 700 m di atas permukaan laut dengan pemandangan alam spektakuler. Lagi-lagi, serombongan monyet menyambut kami di beranda Sabang Hills. Untung mereka tak segalak monyet di Tugu Nol Kilometer.

Masjid Agung Sabang

Sabang Hills

Pose di Sabang Hills berlatar laut biru

Pemandangan laut dan bukit dari beranda Sabang Hills

Sapi-sapi Sabang asyik merumput

Jalanan di Sabang yang luar biasa mulus
Setiba di lokasi menuju benteng Jepang, kami harus mendaki beberapa tangga untuk mencapai benteng. Jalanan yang dipaving dan tangga yang kokoh memudahkan wisatawan untuk mengakses benteng. Benteng siang itu sepi. Hanya ada saya dan teman saya. Sedihnya, lagi-lagi saya menemukan coretan tangan jahil di beberapa bangunan benteng.Seonggok potongan meriam menyambut kami di mulut utama benteng yang berhadapan langsung dengan laut.
Saya terpesona. Saya membayangkan zaman penjajahan Jepang dulu, orang-orang berkulit kuning itu mengawasi laut Indonesia dari benteng mungil ini. Pak Kana sebelumnya berkata, dulu para budak dari tanah Jawa dibawa ke Sabang dengan mata tertutup, untuk dipekerjakan di benteng ini.

Saya di benteng Jepang

Atap benteng Jepang dan lorong menuju basement
Hal lain yang membuat saya kagum tentang kota Sabang, pemerintah kota semungil ini sudah memiliki kesadaran akan pentingnya ruang publik. Saya mendapati banyak sekali ruang publik bertebaran di kota ini. Di depan kantor Walikota Sabang misalnya, ada taman asri di sekitar Monumen Sabang-Merauke yang menjadi tempat kongkow warga Sabang. Siang itu, saya menjumpai serombongan pelajar SMU, sekelompok anak muda yang berdiskusi sembari mengetik di laptopnya, dan sepasang lelaki yang asyik mengobrol.

Pusat nongkrong sore-sore di Sabang

Tugu Sabang-Merauke di depan kantor walikota Sabang

Taman dan ruang publik di depan kantor walikota Sabang

Gedung Kesenian Sabang
Sedih rasanya meninggalkan Sabang dan kembali ke Banda Aceh. Kami pun berpisah dengan Pak Kana. Di Ulee Lheue, Kak Linda sudah menanti kami.
Day 4
Monumen Kapal PLTD Apung – Museum Tsunami – Masjid Baiturrahman
Ini adalah hari terakhir saya menjejak tanah Serambi Mekkah. Hari ini saya dan teman berencana jalan-jalan singkat sebelum ke bandara untuk pulang ke Jakarta. Seorang tukang becak motor mengantar kami putar-putar kota Banda Aceh.
Destinasi pertama adalah monumen Kapal PLTD Apung di desa Punge Blang Cut. Saya terpesona memandangi kapal besar itu dan membayangkan dahsyatnya gelombang tsunami yang menghempasnya hingga ke daerah pemukiman penduduk. PLTD Apung adalah sebuah kapal pembangkit listrik tenaga diesel yang berlabuh di lepas pantai. Bobotnya 26.000 ton terhempas sejauh 5 km oleh gelombang tsunami 2004. Saya tak berlama-lama di sini karena mata sudah berkaca-kaca menahan haru.

Monumen Kapal PLTD Apung

Alun-alun Banda Aceh

Museum Tsunami
Pak Fauzi, sang tukang becak pun membawa kami menuju Museum Tsunami Aceh. Saya hanya memotret sebentar dan memilih tak masuk ke dalamnya. Tujuan wajib selanjutnya adalah Masjid Agung Baiturrahman. Tentu saja, saya sudah menyiapkan kerudung yang wajib dikenakan bila hendak memasuki area masjid.


Masjid Agung Baiturrahman
Usai jalan-jalan singkat, perut jadi keroncongan. Kami pun berbelok ke warung kopi untuk mengganjal perut. Warkop Zakir dekat homestay Kak Linda menjadi pilihan kami. Warga Aceh terkenal gemar nongkrong di warung kopi. Tentu saja, warung-warung kopi di Aceh didominasi oleh pengunjung pria. Saya tak sabar mencomot timphan, jajanan khas Aceh yang selalu jadi favorit saya bila makan di kedai mie Aceh di Jakarta. Usai nongkrong di warung kopi yang dilengkapi wi-fi ini, kami kembali ke homestay untuk mengambil ransel dan menuju bandara.

Jajanan dan kopi di Warkop Zakir

Seorang tentara asyik ngopi di Warkop Zakir yang dilengkapi wi-fi
Perjalanan selama empat hari terasa kurang. Kak Linda yang mengantar kami ke bandara berkata, seharusnya kami minimal seminggu menjelajah Aceh. Dalam hati saya berjanji, suatu hari saya akan kembali ke Aceh untuk menjelajah alam bawah lautnya. Saya pun mencatat apa lagi yang jadi cita-cita saya dan belum kesampaian: “Makan kuliner Aceh yang ada bumbu ganjanya.” :D
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI