Di tengah arus globalisasi dan perkembangan teknologi informasi, penampilan fisik serta standar kecantikan menjadi aspek yang semakin diperhatikan oleh masyarakat di berbagai belahan dunia. Media sosial, industri hiburan, dan budaya populer secara tidak langsung membentuk persepsi bahwa kecantikan bukan hanya tentang estetika, tetapi juga berkaitan erat dengan nilai sosial, rasa percaya diri, hingga peluang profesional. Dalam lingkungan seperti ini, konsumsi produk kecantikan menjadi semakin masif dan dianggap sebagai kebutuhan esensial oleh banyak kalangan.
Fenomena ini turut terjadi di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan terhadap produk kosmetik terus meningkat. Perempuan dari berbagai lapisan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan, mulai menjadikan kosmetik sebagai bagian dari rutinitas harian. Bahkan dalam banyak kasus, kosmetik tidak lagi dianggap sebagai kebutuhan tersier, melainkan menjadi simbol perawatan diri yang dipandang penting dalam kehidupan sosial maupun profesional. Peningkatan daya beli masyarakat dan kemudahan akses terhadap produk kosmetik melalui platform daring turut memperkuat tren ini. Banyak masyarakat yang menggunakan kosmetik yang tidak memenuhi standar keamanan dan kualitas yang telah ditetapkan. Produk-produk tersebut kerap mengandung zat berbahaya seperti merkuri dan hidrokuinon, yang dapat menimbulkan risiko serius bagi kesehatan, termasuk kerusakan kulit, kanker kulit, bahkan kerusakan permanen pada otak.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melaporkan bahwa ditemukan 415.035 produk kosmetik ilegal dalam periode Juni hingga September 2024, hal ini menunjukkan bahwa peredaran kosmetik ilegal bukan sekadar pelanggaran teknis, melainkan telah menjadi masalah yang bersifat sistemik dan terstruktur. Produk-produk tersebut tidak hanya beredar di pasar gelap, tetapi juga telah menyusup ke pasar resmi dan platform e-commerce besar.
Di sisi lain, masih terdapat celah dalam sistem regulasi dan pengawasan terutama terkait praktik maklon tanpa kontrak resmi (maklon bawah tangan) yang belum diatur secara komprehensif dalam peraturan perundang-undangan. Keterbatasan kapasitas audit terhadap pelaku industri kosmetik turut memperparah situasi karena memungkinkan pelanggaran terjadi secara berulang tanpa tindakan yang tegas. Lemahnya koordinasi antara BPOM, aparat penegak hukum, dan instansi terkait lainnya menyebabkan upaya penindakan terhadap pelaku kosmetik ilegal seringkali tidak berjalan efektif.
Akumulasi dari berbagai persoalan tersebut telah menciptakan ketimpangan perlindungan hukum bagi konsumen, serta meningkatkan risiko kesehatan masyarakat akibat penggunaan produk yang tidak aman. Ketidakseimbangan antara regulasi yang ada dengan realitas praktik industri di lapangan membuat pengawasan sulit dilakukan secara menyeluruh. Oleh karena itu, penting untuk merancang langkah strategis yang terintegrasi agar peredaran kosmetik di Indonesia dapat berlangsung secara aman, legal, dan bertanggung jawab.
Penyusunan artikel ini dilakukan menggunakan metode Systematic Literature Review (SLR), dengan pengumpulan informasi dan data yang diperoleh dari 10 artikel relevan yang diambil dari basis data PubMed dan Google Scholar. Sumber data literatur dalam kajian ini berasal dari basis data PubMed (n=69) dan Google Scholar (n=227), dengan total 296 artikel yang ditelusuri. Dari keseluruhan artikel tersebut, sebanyak 10 artikel ditemukan relevan dan sesuai dengan fokus penelitian ini. Jenis dokumen yang dikaji adalah artikel yang diterbitkan dalam lima tahun terakhir, berasal dari jurnal nasional yang terindeks SINTA, serta dapat diakses secara terbuka.
Pengawasan BPOM Lemah
Tren kecantikan yang semakin berkembang pesat di Indonesia telah membentuk suatu realitas sosial yang berat terhadap tekanan terhadap penampilan. Keinginan masyarakat, khususnya perempuan, untuk tampil menarik dan memiliki kulit wajah yang cerah dan mulus sering kali menjadi prioritas utama. Obsesi terhadap standar kecantikan ini melahirkan permintaan yang sangat tinggi terhadap produk-produk kosmetik yang menjanjikan hasil instan. Hal ini juga sejalan dengan studi Susilawati tahun 2022, yang menunjukkan bahwa standar kecantikan di Indonesia, yang identik dengan kulit putih dan bersih, mendorong meningkatnya penggunaan kosmetik pemutih kulit di kalangan wanita.
Namun, tingginya permintaan ini tidak selalu diimbangi dengan kesadaran akan keamanan produk yang digunakan. Banyak konsumen, terutama dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, lebih memilih kosmetik yang murah dan mudah dijangkau, tanpa memperhatikan izin edar maupun kandungan bahan di dalamnya. Faktor minimnya pengetahuan akan risiko serta kurangnya edukasi publik dari pemerintah turut memperbesar potensi masyarakat menggunakan produk yang tidak aman. Hal ini juga didukung dengan studi Dinda tahun 2022, studi tersebut menunjukan bahwa mayoritas ibu hamil dengan tingkat pendidikan rendah tidak mengetahui bahaya kosmetik pemutih.
Situasi ini kemudian menciptakan celah besar bagi pelaku usaha untuk memenuhi permintaan pasar melalui jalur ilegal. Banyak produsen memanfaatkan tingginya minat terhadap kosmetik murah dengan memproduksi barang tanpa izin edar resmi. Menurut studi Sende tahun 2020, produksi ini dilakukan secara masif oleh pabrik-pabrik yang tidak terdaftar, bahkan melalui kerja sama maklon di bawah tangan yang belum terjangkau oleh regulasi resmi. Motivasi utama para pelaku usaha ini adalah keuntungan finansial yang besar.
Mereka kerap memanfaatkan kekosongan atau kelemahan regulasi, terutama dalam pengawasan kontrak produksi tidak resmi, untuk mengedarkan produk kosmetik tanpa harus tunduk pada aturan dan standar keamanan. Akibatnya, peredaran kosmetik ilegal di pasaran pun semakin meluas.
Situasi ini semakin memprihatinkan karena sebagian besar kosmetik ilegal terbukti mengandung zat berbahaya seperti merkuri, hidrokinon, tretinoin, hingga steroid.Â
Berdasarkan hasil pengujian pada studi Sande tahun 2020, tercatat sekitar 57,9% sampel kosmetik ilegal mengandung merkuri. Menurut studi Lamakarate tahun 2022, merkuri merupakan bahan yang dapat menyebabkan gangguan ginjal, kerusakan saraf, hingga kanker kulit jika digunakan dalam jangka panjang karena tidak melalui proses pengujian mutu dan keamanan.
Permasalahan ini juga diperkuat oleh lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum. Menurut studi Sande tahun 2020, permasalahan ini dipicu oleh ketiadaan regulasi yang menyeluruh, terutama terhadap kontrak produksi maklon ilegal, serta minimnya audit terhadap produsen yang tidak terdaftar, membuat BPOM kesulitan melakukan pengawasan menyeluruh. Hal ini juga didukung oleh studi Rastiawaty tahun 2024 yang mana koordinasi antar lembaga seperti BPOM dan aparat penegak hukum masih belum optimal, menjadikan pelaku usaha ilegal sulit disentuh hukum.
Menurut studi Jefri tahun 2020, banyaknya pabrik kosmetik tanpa izin edar tetap beroperasi tanpa hambatan karena masyarakat enggan melapor, dan proses hukum berjalan lambat atau tidak menyentuh aktor utama dibalik produksi. Lemahnya sanksi serta minimnya penindakan tegas terhadap pelanggaran membuat produsen dan distributor kosmetik ilegal merasa aman untuk terus menjalankan bisnis mereka. Pendapat ini sejalan dengan studi Widyawati tahun 2025 yang mana efektivitas pengawasan regulasi peredaran kosmetik masih menjadi kendala karena sanksi yang ada belum cukup memberikan efek jera pada produsen.
Padahal, BPOM sejatinya memiliki wewenang untuk mencabut izin edar, menarik produk berbahaya dari pasaran, serta menjatuhkan sanksi administratif maupun pidana. Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan tugas tersebut masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari keterbatasan sumber daya hingga hambatan birokrasi. Pendapat ini juga didukung oleh studi Rastiawaty tahun 2024 yang mana pengawasan yang belum optimal dan tidak terkoordinasi secara baik antar lembaga, seperti BPOM dan aparat penegak hukum, berkontribusi pada tingginya peredaran kosmetik ilegal dan menjadi faktor penyebab utamanya.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian systematic literature review di atas, maka alternatif solusi yang diusulkan sebagai rekomendasi kebijakan, antara lain; (1). Penguatan secara komprehensif untuk Sistem Operasional Prosedur (SOP) internal BPOM yang berkaitan dengan pengawasan kosmetik ilegal. (2). Melakukan tinjauan ulang menyeluruh terhadap Sistem Operasional Prosedur (SOP) yang sudah ada untuk menemukan celah atau kelemahan dalam SOP tersebut. (3). Peningkatan kinerja Balai POM dalam pengawasan kosmetik ilegal secara rutin dan terkoordinasi. (4). Memastikan bahwa semua stakeholder Balai POM Daerah dan BPOM secara ketat mengikuti SOP yang telah ditetapkan dalam pelaksanaan tugasnya. (5). Peningkatan efektivitas kerjasama BPOM dengan multi sektor dan lintas sektor sesuai dengan peran dan tanggung jawab bidangnya masing-masing untuk menekan peredaran kosmetik ilegal dan pengawasannya. (6). Peningkatan kapasitas kelembagaan BPOM, termasuk sumber daya manusia dan sarana-sarana penunjang kinerja BPOM.
Di akhir tulisan ini dapat disimpulkan bahwa peredaran kosmetik ilegal di indonesia menjadi isu serius yang dipicu oleh tingginya permintaan masyarakat, khususnya pada perempuan terhadap produk kecantikan murah tanpa memperhatikan aspek keamanan dan legalitas produk. Banyak produk ilegal mengandung bahan berbahaya seperti merkuri, hidrokinon, dan steroid yang dapat menimbulkan risiko kesehatan yang serius, mulai dari iritasi hingga kanker kulit. Permasalahan ini dipengaruhi oleh lemahnya pengawasan, ketidakefektifan penegakan hukum, serta minimnya edukasi publik mengenai kosmetik ilegal. Selain itu, celah regulasi terutama terkait praktik maklon tanpa kontak resmi dan lemahnya koordinasi antar lembaga penegak hukum turut memperbesar ruang gerak pelaku usaha ilegal. Untuk mengatasi persoalan ini, dapat dilakukannya penguatan dan peninjauan ulang SOP internal BPOM, peningkatan kinerja pengawasan secara rutin dan terkoordinasi, serta penegakan disiplin SOP di seluruh jajaran BPOM. Selain itu, efektivitas kolaborasi dengan multi sektor dan lintas sektor perlu ditingkatkan, didukung oleh penguatan kapasitas kelembagaan BPOM, baik dari sisi sumber daya manusia maupun sarana penunjang. Dengan langkah strategis tersebut, diharapkan peredaran kosmetik di indonesia dapat berlangsung secara aman, legal, serta bertanggung jawab sehingga perlindungan kesehatan masyarakat dapat terjamin.
Tim-1 Advokasi Kesahatan Mahasiswa Promkes Kesmas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;Â Pembina: M. Farid Hamzens. Ketua: Chintia Nosy Nur Aisyah. Anggota: Anggie Eka Lestari, Siti Syafitri Novitasari, Nurchaliza, dan Cherry Athirah Hulwah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI