Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Kamu, Sebut Saja Ini Sebuah Perjalanan

16 Maret 2023   07:54 Diperbarui: 16 Maret 2023   07:58 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: https://www.rukita.co/stories

Hari ini aku berangkat.

Aku berharap kotamu tak dingin menyambutku. Aku hanya menyandang ransel kecil. Karena, memang, tak banyak yang kubawa: puisi-puisi yang tak pernah kutulis dan cerita, banyak cerita.

Cerita, nantilah, aku sedang memilah-milah, cerita apa dan dimulai dari mana. Kuharap, cerita-cerita ini akan mencairkan kebekuan senyummu.

Jam di stasiun kereta menunjukkan pukul 20.00. Itu berarti setengah jam lagi kereta akan berangkat.

Sengaja aku duduk dekat jendela. Bukan ingin melihat pemandangan di luar. Lagi, apa yang dapat dilihat di kegelapan malam? Memang ada terlihat sorot lampu jalan. Lampu-lampu dari papan iklan, sinar lampu yang terlempar dari dari balik kaca gedung-gedung. Berlarian ke arah belakang.

Dan kereta memang sudah bergerak.

Irama bantalan rel yang terlindas bagai musik latar kenanganku bersamamu di perjalanan ini. Meski kantuk menerpa, debaran gambaran bakal bertemu denganmu tentu tak dapat meninabobokkanku.

Sebesar apa nyalimu untuk menemuiku?

Suaramu kembali terngiang dan berputar-putar di rongga otakku.

***

Pulang kembali ke kota ini ada sesuatu yang menyergap jiwaku. Kebersamaan denganmu, melintasi jalanan berdua, menikmati sore hingga tak terasa malam telah jatuh.

Aku tak sabar lagi menemuimu di tempat kita sering menghabiskan malam. Suara tawamu yang lepas, dan cubitan mesra yang selalu mampir di lenganku. Dulu.

Cafe Romansa tetap menyimpan kenangan. Bangunannya tak berubah, hanya warna cat yang lebih lembut dan segar mengikuti  tren.      
Dan kini aku sudah di depan cafe.           Melewati pintu kayu berornamen kaca tembus pandang. Mataku langsung tertuju pada meja dan kursi, tempat favorit kita dulu. 

Kau! Di sana, telah menungguku!
 

"Siska, sudah lama di sini?" sapaku terasa grogi, benar-benar gugup.

"Sekitar dua belas menitan saja kok," sambil berdiri menangkup tangan di dadanya, Siska menyambut dengan sekulum senyum.

"Apa kabar, Mas?" Pertanyaan dengan suara lembut itu tak pernah berubah sejak aku mengenalnya, dulu.

"Alhamdulillaah, baik," jawabku bersamaan dengan  duduk berhadapan.

"Silakan, mau pesan apa? Aku sudah." Gadis itu menyodorkan buku menu. Aku hanya bisa berdehem dan mengusir rasa kikuk dengan mencoba memilih apa yang ingin kucicipi malam ini.
 
"Sebesar apa nyalimu untuk menemuiku, Mas? Ternyata, kau membuktikannya padaku untuk datang ke tempat ini." Duh, Siska mulai membuka percakapan tanpa basi-basi lagi.

"Aku, aku minta maaf atas kesalahanku. Membuatmu menunggu tanpa kepastian selama tiga tahun terakhir ini. Sulit bagiku menceritakannya padamu," Mataku tertuju tajam, memandangi parasnya yang masih tetap ayu.

"Sulit? Sesulit apa?" Terasa datar pertanyaan itu telontar dari bibirnya.

Aku hanya menghela napas, menyandarkan punggung, memainkan jemariku.

"Maafkan aku, Sayang." Kata itu yang bisa terucap dari bibirku dengan perasaan bersalah. Berbarengan dengan tertahannya semburan tawa kecil dari gadis dihadapanku itu.

"Sayang? Gak salah ucap, tuh?" sindir Siska.

Dan, "Aku nggak mau ribet dan lama-lama mengurai tentang hubungan kita yang sudah kuanggap tak lagi ada, Mas." Kini wanita ayu itu memandangku serius.

"Cukup sudah tiga tahun ini aku bagai layangan putus, tak tahu harus bagaimana tanpamu yang menghilang tanpa kabar. Dan tetiba dua pekan lalu kau berkabar untuk menemuiku. Semudah itu? Kau pikir? Kau ...?"

"Maafkan aku, Siska." Aku meraih tangannya mencoba menggenggam. Hei, dia menepisnya!

"Sudah. Sudah lama aku memaafkan dirimu. Juga memaafkan ketololanku, yang terlalu berharap dengan dirimu. Tapi nyatanya?"

Aku tak berani menatap Siska.

"Kau tahu, aku hampir ambruk. Untung datang Pras, kalau tidak ...?"

"Pras?"

***

Hari ini aku berangkat. Tapi kini meninggalkan kotamu. Aku masih menyandang ransel kecil. Puisi-puisi, ah, mungkin aku harus belajar menulis puisi.

Juga cerita. Tak banyak, hanya satu cerita. Cerita yang aku tahu dimulai dan berakhir di mana.

Namamu dengan ornamen berwarna keemasan, pada kertas hardcover coklat muda. Bersanding dengan, siapa namanya? Pras? Sebuah kartu undangan perkawinan.

Aku tidak tahu bagaimana mengeja perasaanku. Cemburu, kecewa, atau sebuah penyesalan?

Dan itu harga yang pantas untuk kuterima.

Aku merapatkan jaketku. AC dalam kereta kurasakan lebih dingin dibanding biasanya. Atau perasaanku saja?

***

Lebakwana -- Tepian Sungai Mahakam, Maret 2023

Sebuah cerpen kolaborasi karya Ayah Tuah dan Siska Artati

***

Artikel 26 - 2023

#Tulisanke-471
#CerpenKolaborasi
#AyahTuah
#AkuKamuSebutSajaIniSebuahPerjalanan
#NulisdiKompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun