Mohon tunggu...
Sisca Wulandari
Sisca Wulandari Mohon Tunggu... Dosen, Mahasiswa S3, Traveller

Penulis Buku Anti Korupsi dan Aktivis Pencegahan Kekerasan Seksual. Penjelajah Wisata Berbagai Negara. Mom satu anak yang bekerja sambil kuliah.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Gelap! Grup Fantasi Sedarah di Facebook dan Kilasan dari Sisi Psikologisnya

20 Mei 2025   14:49 Diperbarui: 20 Mei 2025   15:03 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Citizen Riau)

Jakarta. Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan manusia. Platform seperti Facebook yang awalnya dirancang untuk mempererat hubungan sosial kini menjadi ruang terbuka untuk berbagai ekspresi, termasuk yang bersifat menyimpang. Salah satu fenomena yang mengejutkan adalah munculnya grup-grup bertema fantasi sedarah (incest fantasy) di Facebook. Grup-grup ini, meskipun sering kali disamarkan dengan nama atau topik yang tidak mencolok, memperlihatkan tren mengkhawatirkan di mana anggota secara terbuka berdiskusi, berbagi cerita, atau bahkan memproduksi konten yang berkaitan dengan fantasi seksual antaranggota keluarga.

Fenomena ini bukan hanya mengusik norma sosial dan moral masyarakat, tetapi juga menunjukkan adanya celah dalam sistem moderasi konten media sosial, serta menggambarkan sisi gelap kebutuhan psikologis sebagian orang. Tulisan ini akan membahas mengapa grup-grup bertema fantasi sedarah muncul di platform seperti Facebook, apa dampaknya, dan bagaimana langkah pencegahan yang bisa dilakukan oleh berbagai pihak.

Fantasi Seksual dan Psikologi Individu

Fantasi seksual merupakan gambaran mental yang dapat membangkitkan gairah seksual dan sering kali mencerminkan keinginan atau kebutuhan yang tidak dapat diwujudkan dalam kenyataan. Menurut Leitenberg (1995), fantasi seksual berfungsi sebagai mekanisme untuk mengekspresikan konflik internal dan keinginan bawah sadar. Dalam konteks fantasi sedarah, individu mungkin mengekspresikan kebutuhan akan kedekatan emosional atau kekuasaan melalui narasi yang tidak dapat diwujudkan dalam hubungan nyata.

Namun, penting untuk dicatat bahwa meskipun fantasi sedarah dapat muncul dalam pikiran individu, hal tersebut tidak selalu berhubungan dengan keinginan untuk melakukan tindakan nyata. Sebagian besar individu yang memiliki fantasi semacam itu tidak berencana untuk mewujudkannya dalam kehidupan nyata.

Distorsi Kognitif dan Rasionalisasi

Menurut penelitian oleh Latief, Tajuddin, dan Amal (2020), pelaku kekerasan seksual inses sering kali menunjukkan distorsi kognitif, seperti minimnya empati dan justifikasi perilaku menyimpang. Distorsi ini memungkinkan individu untuk mengabaikan norma sosial dan moral, serta meyakini bahwa perilaku mereka dapat diterima dalam konteks tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa fantasi sedarah dapat berfungsi sebagai mekanisme untuk menjustifikasi perilaku yang sebenarnya tidak dapat diterima secara sosial.

Dalam penelitian tersebut, ditemukan lima bentuk distorsi kognitif pada pelaku kekerasan seksual inses, antara lain: (1) ketidakmampuan untuk mengendalikan diri, (2) pandangan bahwa hubungan seksual tidak berbahaya, (3) anggapan bahwa anak-anak tertarik pada hubungan seksual, (4) pandangan bahwa dunia adalah tempat yang berbahaya, dan (5) keyakinan bahwa orang tua memiliki hak terhadap anak-anak mereka. Distorsi-distorsi ini memungkinkan pelaku untuk membenarkan tindakan kekerasan seksual yang mereka lakukan terhadap anak kandung mereka.E-Journal Universitas Sanata Dharma

Selain itu, penelitian oleh Cahya (2019) juga menunjukkan bahwa distorsi kognitif mengenai pemerkosaan berpengaruh signifikan terhadap risiko pengulangan kejahatan seksual oleh pelaku. Penelitian ini mengungkapkan bahwa distorsi kognitif dapat memperkuat keyakinan pelaku bahwa tindakan mereka dapat diterima atau dibenarkan, sehingga meningkatkan kemungkinan mereka untuk mengulangi perilaku tersebut.Universitas Airlangga Repository

Dari perspektif terapi, distorsi kognitif dianggap sebagai faktor utama yang perlu ditangani dalam intervensi terhadap pelaku kekerasan seksual. Terapi kognitif-perilaku bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengubah pola pikir yang menyimpang, serta membantu individu untuk mengembangkan pemahaman yang lebih sehat dan realistis mengenai hubungan interpersonal dan seksual (Budhiarto, 2017).

Anonimitas dan Pengaruh Media Sosial

Media sosial, seperti Facebook, menyediakan platform yang memungkinkan individu untuk berinteraksi secara relatif anonim. Anonimitas ini diketahui dapat mengurangi rasa malu dan meningkatkan kebebasan dalam mengekspresikan diri, terutama ketika membahas topik yang bersifat pribadi atau tabu (Suler, 2004). Namun, kondisi ini juga dapat menimbulkan efek negatif, karena individu merasa lebih bebas untuk berbagi fantasi seksual yang menyimpang atau bahkan terlibat dalam perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial.

Fenomena grup-grup daring yang membahas fantasi sedarah, misalnya, memanfaatkan celah ini. Grup semacam itu sering kali menggunakan nama atau topik yang disamarkan, sehingga sulit dideteksi oleh sistem moderasi otomatis yang digunakan oleh platform seperti Facebook (Gillespie, 2018). Anonimitas dan kurangnya pengawasan memungkinkan terciptanya ruang aman palsu yang memperkuat eksistensi kelompok devian.

Selain itu, paparan terhadap konten menyimpang secara terus-menerus di media sosial dapat mengubah persepsi individu terhadap batasan norma sosial. Hald dan Malamuth (2008) dalam studinya menunjukkan bahwa konsumsi berulang terhadap konten seksual ekstrem, termasuk yang bertema kekerasan atau inses, dapat menurunkan sensitivitas moral dan meningkatkan toleransi terhadap kekerasan seksual. Dalam konteks ini, grup media sosial berperan bukan hanya sebagai wadah ekspresi, tetapi juga sebagai medium normalisasi perilaku menyimpang.

Faktor Psikologis yang Mendorong Terbentuknya Grup Fantasi Sedarah

Menurut Karhulaht, & Vlisalo (2021), beberapa faktor psikologis yang dapat mendorong individu untuk bergabung dalam grup-grup yang membahas fantasi sedarah antara lain:

  • Kebutuhan akan Kedekatan Emosional: Individu yang merasa kesepian atau kurang mendapatkan perhatian emosional mungkin mencari cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui fantasi.
  • Pencarian Identitas: Remaja atau individu yang sedang mencari identitas diri mungkin terpengaruh oleh kelompok sebaya atau komunitas online yang memiliki pandangan atau minat serupa.
  • Pengalaman Trauma Masa Lalu: Individu yang pernah mengalami trauma, seperti pelecehan seksual, mungkin mengembangkan fantasi sebagai cara untuk mengatasi atau memahami pengalaman tersebut.
  • Keterbatasan dalam Hubungan Nyata: Individu yang merasa tidak puas dengan hubungan nyata mereka mungkin mencari pelarian melalui fantasi yang tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata.

Dampak Psikologis dari Terlibat dalam Grup Fantasi Sedarah

Terlibat dalam grup yang membahas fantasi sedarah dapat memiliki dampak psikologis yang signifikan (Vranceanu, A. M., Hobfoll, S. E., & Johnson, R. J. (2007); dan Gelinas, D. J. (1984), baik bagi individu maupun masyarakat secara keseluruhan:

  • Normalisasi Perilaku Menyimpang: Terpapar secara terus-menerus pada konten yang membahas fantasi sedarah dapat menurunkan sensitivitas terhadap perilaku tersebut dan membuatnya tampak lebih dapat diterima.
  • Gangguan Psikologis: Individu yang terlibat dalam grup semacam itu mungkin mengalami gangguan psikologis, seperti kecemasan, depresi, atau gangguan stres pascatrauma, terutama jika mereka pernah mengalami trauma terkait.
  • Risiko Tindakan Nyata: Meskipun sebagian besar individu tidak berniat untuk mewujudkan fantasi mereka, terlibat dalam grup semacam itu dapat meningkatkan risiko untuk melakukan tindakan nyata, terutama jika didorong oleh distorsi kognitif atau pengaruh kelompok.

(Sumber:KPAI)
(Sumber:KPAI)

Upaya Pencegahan dan Intervensi

Untuk mencegah terbentuknya grup-grup yang membahas fantasi sedarah dan mengurangi dampak negatifnya, beberapa langkah dapat diambil (Prasetiono, Arochman, & Fayola (2021); Yuliyanto, Santosa, & Nugroho (2022); dan Dewantara & Dewi (2025)):

  • Edukasi dan Literasi Digital: Meningkatkan pemahaman masyarakat, terutama remaja, tentang dampak negatif dari terlibat dalam grup semacam itu dan pentingnya menjaga batasan dalam berinteraksi di dunia maya.
  • Pendampingan Psikologis: Memberikan dukungan psikologis kepada individu yang menunjukkan tanda-tanda ketertarikan atau keterlibatan dalam grup semacam itu, untuk membantu mereka mengatasi kebutuhan atau masalah yang mendasarinya.
  • Moderasi dan Pengawasan Konten: Platform media sosial perlu meningkatkan sistem moderasi untuk mendeteksi dan menghapus konten yang membahas atau menggambarkan fantasi sedarah, serta memberikan sanksi kepada anggota grup yang terlibat.
  • Pendekatan Keluarga dan Komunitas: Keluarga dan komunitas perlu berperan aktif dalam membimbing dan memberikan dukungan kepada individu, terutama remaja, untuk menghindari terlibat dalam grup sementara.

Referensi:

Budhiarto, H. (2017). Intervensi untuk Laki-laki Pelaku Kekerasan Seksual. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/324829376_Intervensi_untuk_Laki-laki_Pelaku_Kekerasan_Seksual

Cahya, A. K. (2019). Pengaruh Keterpaparan Pornografi, Fantasi Seksual Menyimpang, Dan Distorsi Kognitif Tentang Pemerkosaan Terhadap Prediksi Risiko Pengulangan Kejahatan Seksual Oleh Pelaku Kejahatan Seksual (Pemerkosaan). Skripsi, Universitas Airlangga. Retrieved from https://repository.unair.ac.id/93986/

Gelinas, D. J. (1984). Persisting negative effects of incest. National Criminal Justice Reference Service. https://www.ojp.gov/ncjrs/virtual-library/abstracts/persisting-negative-effects-incest

Ghiyats Furqan Dewantara & Aditya Kumala Dewi (2025). Peran Edukasi Literasi Digital dalam Mengurangi Dampak Negatif Media Sosial. Research Journal of Social Economics Empowerment (ROSEE). https://journal.untidar.ac.id/index.php/rosee/article/view/2422

Gillespie, T. (2018). Custodians of the Internet: Platforms, Content Moderation, and the Hidden Decisions That Shape Social Media. Yale University Press.

Hald, G. M., & Malamuth, N. M. (2008). Self-perceived effects of pornography consumption. Archives of Sexual Behavior, 37(4), 614--625. https://doi.org/10.1007/s10508-007-9212-1

Karhulahti, V.-M., & Vlisalo, T. (2021). Fictosexuality, Fictoromance, and Fictophilia: A Qualitative Study of Love and Desire for Fictional Characters. Frontiers in Psychology. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.575427

Latief, R. Z., Tajuddin, I., & Amal, A. J. (2020). Gambaran Bentuk Distorsi Kognitif pada Pelaku Kekerasan Seksual Inses. Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma, 5(2), 125--134. https://doi.org/10.24071/suksma.v5i2.8255

Much Yuliyanto, Hedi Pudjo Santosa, & Adi Nugroho (2022). Literasi Digital bagi Wali Murid TK Pelangi Nusantara, Cegah Anak Salah Gunakan Media untuk Akses Konten Dewasa. Faculty of Social and Political Sciences - Universitas Diponegoro. https://fisip.undip.ac.id/id/2022/03/15/literasi-digital-bagi-wali-murid-tk-pelangi-nusantara-cegah-anak-salah-gunakan-media-untuk-akses-konten-dewasa/

Slamet Joko Prasetiono, Arochman Arochman, & Regnata Revi Fayola (2021). Literasi Digital untuk Membekali Generasi Muda dalam Upaya Menangkal Konten Negatif Internet. IC Tech: Majalah Ilmiah. https://doi.org/10.47775/ictech.v14i1.55

Suler, J. (2004). The online disinhibition effect. CyberPsychology & Behavior, 7(3), 321--326. https://doi.org/10.1089/1094931041291295

Vranceanu, A. M., Hobfoll, S. E., & Johnson, R. J. (2007). Child multi-type maltreatment and associated depression and PTSD symptoms: the role of social support and stress. Child Abuse & Neglect, 31(1), 71--84. https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2006.04.010

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun