Â
Aku meringis. Sungguh pertanyaan yang konyol. "Seperti yang kau lihat sendiri. Aku tak sanggup berdiri. Kepalaku sangat pening karena pelipisku terbentur batu sungai."
Â
Dengan hati-hati, jemarinya meraba pelipisku yang berdarah. Tak urung aku merintih kesakitan. Jemarinya pun memeriksa kulit kepalaku dengan seksama. Kemudian, ia menatap sekujur tubuhku dan bergumam, "Maafkan aku."
Â
Belum sempat aku bereaksi, pria itu memeriksa tubuhku secepat mungkin. "Tampaknya tak ada tulang yang patah."
Â
Aku merengut. Pria itu memang cukup sopan. Tapi seharusnya, ia tak perlu memeriksa tulang-tulang di tubuhku. Kan aku sudah mengatakan bahwa yang terluka hanya pelipisku. Ini pasti modusnya untuk menyentuh tubuhku. Dengan ngeri, aku baru menyadari tubuhku yang basah kuyup. Pakaianku melekat ketat dan mencetak tubuhku sedemikian rupa. Sungguh penampilan yang tak pantas dilihat oleh pria!
Â
Tanpa menyadari perasaanku yang bergejolak, pria dengan raut wajah segetir sambiloto tersebut, menyentuh dahiku. "Wajahmu merah padam. Apa demam karena kedinginan, ya?"Â
Â