Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... freelancer

Penulis Cerpen "Astaga! KKN di Desa Legok" dalam buku KKN Creator (2024). Fokus cerpen dan story telling. Skill business analyst, SMEs, green productivity, and sustainability. Kolaborasi, kontak ke wiryawansisca@gmail.com yang ingin dianalisis laporan keuangan, dll e-mail saja bahan2nya.dah biasa kerja remote. trims bnyk

Selanjutnya

Tutup

Horor

Misteri Rumah Gadai, Bab 16 (Jodoh)

9 Mei 2025   22:13 Diperbarui: 9 Mei 2025   22:13 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber: pixabay.

Disclaimer: Beberapa bab novel ini, tak seram karena memang sengaja dibuat begitu agar ketegangan naik dan turun. Begitu pula alur. Aku agak lambatin saat bab yang tak seram agar terasa kehidupan di desa itu ya alurnya terasa agak lambat.

Silakan membaca petualangan Ima di rumah gadai. Terima kasih =)

_______________________________

Aku katakan padamu. Kau tidak mencintai seseorang karena wajahnya, pakaiannya, atau mobilnya. Kau mencintainya karena ia menyanyikan lagu yang hanya dimengerti oleh hatimu.

-L.J. Smith.

_____________________________________

"Assalamualaikum."

 

"Wassalaikumsalam," ujar Ibu sembari membukakan pintu pagar rumah. "Mang Alip, mari masuk! Saya sudah menunggu Mang Alip sejak pagi."

 

Dengan wajah bersimbah keringat, Mang Alip meletakkan sekarung besar hasil panennya. "Maaf Bu, saya terlambat datang. Banyak pekerjaan di kebun hingga tengah hari. Ini saya baru sempat memanen sekedarnya. Kebunnya agak jauh di atas bukit."

 

"Tidak apa-apa. Terima kasih banyak. Varian singkong apa ini? Singkong mentega?" tanya Ibu sembari mengintip ke dalam karung goni yang belepotan tanah tersebut.

 

"Bukan, ini singkong aci. Walaupun ukuran umbinya lebih kecil, tapi rasanya lebih pulen. Daging umbinya tak keras. Mau digoreng atau dikukus, sama saja enaknya."

 

Ibu menganggukkan kepala mendengar promosi singkong aci kebanggaan Mang Alip. "Banyak sekali hasil panen yang Mang Alip bawa. Tak hanya singkong, Mamang juga membawa pisang dan ubi. Apa Mamang tak rugi? Saya hanya membeli semua ini dengan 20 ribu Rupiah?"

 

"Aduh, Ibu. Tak boleh berkata seperti itu. Kita ini kan sudah seperti keluarga. Saya sangat senang Ibu mau berhubungan baik dengan saya. Tapi keluarga Ibu suka kan dengan kuliner ala desa seperti ini? Jangan-jangan makanan seperti ini dibuang begitu saja ketika saya pulang!" ujar Mang Alip dengan raut wajah penuh kekuatiran.

 

"Iya, Mang. Dibuang ke perut," celetuk Dika dengan ekspresi jenaka.

 

"Dika ini bisa saja bercandanya. Mamang suka sekali dengan Dika yang ramah dan pandai mengaji. Kemarin malam pun Mamang melihat Dika ada di Madrasah," sahut Mang Alip dengan mata penuh sayang. Aku hampir tersedak ketika Mang Alip memijit lembut kedua pipi chubby Dika. "Pipina hipu! (Pipinya empuk!)"

 

Mang Alip menoleh pada Ibu, "Dika untuk saya saja, Bu! Biar anak Ibu yang tampan ini jadi anak saya saja. Nanti ia akan saya latih agar menjadi petani handal yang berpenghasilan besar. Tak boleh pemuda seperti Dika hanya berdiam diri di rumah. 

 

"Dika berjualan sempol ayam dan nasi uduk," sahut Ibu. Ia tak terima Dika disinggung.

 

"Tapi Dika harus aktif dan berdiri di atas kaki sendiri."

 

"Anak ini belum pernah berkebun sama sekali. Ia mudah terpeleset," dalih Ibu yang memanjakan Dika, sang anak bungsu kesayangan. 

 

"Pemuda seperti Dika harus dilatih fisiknya agar kuat, Bu. Tak boleh dimanjakan terus-menerus. Nanti otot-ototnya lembek," ujar Mang Alip bersikeras. "Nanti saya juga akan mencarikan jodoh gadis yang cantik, solehah, dan baik hati untuk Dika."

 

Aku meleletkan lidah pada Dika yang terus tersenyum. "Dika sudah punya kekasih gadis ibukota, Mang! Tiap malam saja mereka berbincang via handphone hingga berjam-jam."

 

Mang Alip berdecak tak setuju. "Selama janur kuning belum menancap, Dika ini terbuka di pasar perjodohan. Rezeki, jodoh, dan usia hanya Allah Swt. yang mengetahui. Jadi, jangan tolak penawaran saya!" Ia mendesah, kemudian berkata, "Sayang sekali saya tak memiliki anak perempuan untuk dijodohkan dengan Dika. Kelima anak saya semuanya pria."

 

Ibu tersenyum simpul. Ia menolak halus ta'aruf tersebut, "Dika ini sudah berhubungan serius dengan Rita. Rencananya, mereka akan menikah akhir tahun ini."

 

"Aduh! Padahal Mamang memiliki kerabat yang cantik-cantik."

 

"Ustaz Arif juga menyarankan saya ta'aruf dengan anak angkatnya. Padahal saya sudah memberitahu status saya yang sudah terikat janji dengan Rita," kata Dika sembari terkekeh. 

 

Mang Alip mengangkat kedua alisnya yang abu-abu. Kilat penasaran tampak pada kedua bola matanya. "Anak angkat yang mana? Ia kan memiliki dua anak angkat yang janda. Anak angkat yang pertama berstatus janda beranak tiga. Sedangkan yang lainnya, janda beranak dua."

 

"Keduanya, Mang. Saya disuruh memilih," jawab Dika dengan nada serius. 

 

"Ah, Mamang kurang setuju. Kedua perempuan tersebut kurang kuat mempertahankan ikatan pernikahan sebelumnya. Padahal intrik dalam rumah tangga memang harus dihadapi. Sebaiknya, Dika ta'aruf dengan gadis pilihan Mamang. Benar tidak, Bu?" tegas Mang Alip sembari menoleh pada Ibu untuk mempelajari ekspresi wajah Ibu yang sulit ditebak. "Agar kita sungguh-sungguh menjadi keluarga."

 

"Saya sih bagaimana jodoh yang diberikan Allah Swt saja. Mau Dika dapat janda atau gadis. Yang terpenting akhlaknya baik. Tapi saya tak mau Dika mengecewakan Rita, calonnya yang setia menunggu. Rita banyak membantu keluarga kami," tegas Ibu.

 

Dika menyeringai karena dirinya diperebutkan untuk menjadi menantu. Mata kanannya mengedip padaku tanpa ketahuan Mang Alip. Ia memang memiliki daya tarik magnet yang mempesona orangtua. "Seharusnya Mang Alip mencarikan jodoh bukan untukku, melainkan Kak Ima yang jomlo abadi. Usia Kak Ima sudah 27 tahun. Jangankan calon suami, pacar pun tak pernah punya. Satu-satunya pria yang pernah mengejarnya ialah pangeran genderuwo bermata merah."

 

Aku pun melontarkan tatapan membunuh pada Dika yang berpura-pura tak melihat ancaman nyata di hadapannya. Adik kurang ajar tersebut malah asyik menyeruput kopi susu panas. "Mang Alip, seharusnya Dika dicarikan jodoh nenek berusia 100 tahun karena ia manja luar biasa. Ia grandma complex," ujarku sarkastik. Dika langsung merespon dengan menjulurkan lidahnya. Sementara Ibu dan Mang Alip tertawa melihat hubunganku dengan Dika seperti Tom and Jerry.

 

"Kak Ima sirik! Makanya, pria pada kabur karena Kak Ima sedingin putri Kutub Utara. Lidahnya setajam stiletto."

 

Mendengar penuturan Dika akan statusku yang jomlo kronis, tombol mode on mak comblang pada otak Mang Alip langsung bekerja. Seperti robot Artificial Intelligence, ia menatap wajahku dengan seksama seolah-olah menilai diriku di pasar perjodohan. "Ima sangat cantik. Masih kuliah atau sudah kerja?"

 

"Aku sudah lulus sarjana strata satu, Mang. Pekerjaanku mengarang artikel untuk majalah. Work from home."

 

Mang Alip mengerutkan kening. "Walaupun usia Ima dikategorikan tua untuk ukuran gadis desa, tapi tak akan sulit bagi Ima untuk memperoleh suami. Apa Ima mau dijodohkan dengan anak Mamang? Mau, ya?"

 

Aku tercengang. Apa telingaku tak salah mendengar. "Anak Mamang kan jauh lebih muda dariku. Bukankah anak Mamang yang tertua usianya baru 23 tahun?"

 

"Dua puluh tiga tahun itu sudah dewasa. Perbedaan usia 4 tahun lebih muda tak jadi masalah. Banyak pasangan lain yang perbedaan usianya sangat jauh, tapi pernikahan mereka tetap bahagia," ujar Mang Alip dengan penuh semangat. "Bukankah Ima lebih senang dengan pemuda yang cekatan dan aktif? Nanti kalian bisa mendaki gunung berdua."

 

Dika langsung tersenyum dengan gayanya yang menyebalkan. Aku pun langsung memelototinya. 

 

"Ima tidak mau pacaran dengan berondong. Nanti harus Ima yang menjadi babysitter-nya," tolakku tegas.

 

"Lihat dulu anak Mamang. Wajahnya tampan karena ia mewarisi kecantikan ibunya," bujuk Mang Alip. Ia men-scrolling photo gallery di smartphone-nya dan memaksaku untuk melihatnya. "Tidak hanya tampan, ia juga tinggi. Tak seperti Mamang yang pendek."

 

"Anak Mamang memang cukup tampan. Tapi, aku belum ingin berpacaran."

 

Mang Alip mendesah. Ekspresi wajahnya tampak kecewa. "Jika kau berubah pikiran, langsung hubungi Mamang, ya?"

 

Aku terpaksa menganggukkan kepala untuk menyenangkan hati tua tersebut. Wajah sendu Mang Alip pun kembali secerah mentari.

 

Mang Alip pun kembali mencurahkan perhatian pada Dika. Ia menekan perut Dika dengan hati-hati, "Lihat! Perut Dika agak buncit. Jika tiap hari ia ikut saya ke kebun, tentu lemak perut ini akan segera menghilang."

 

Ibu pun tertawa. "Dika memang senang makan. Apalagi ia berjualan sempol ayam. Jika dagangan tak habis, ia yang menyantapnya."

 

Tiba-tiba Mang Alip teringat masalah yang mengganjal. "Bu, bolehkah saya lihat sekeliling rumah ini, terutama area dapur yang angker? Saya penasaran sejak pembicaraan kita yang terakhir di rumah Akang Danu."

 

Ibu pun mengantarkan Mang Alip berkeliling rumah. Tak berapa lama mereka pun kembali ke ruang tamu.

 

"Ah, rumah gadai ini memang kurang baik untuk dihuni keluarga Ibu. Auranya suram. Rumah ini tak hanya disukai roh halus, tapi kurang membawa rezeki. Bagaimana menurut pendapat Ibu setelah tinggal di sini?"

 

"Rezeki cukup untuk makan. Tapi harus berjuang susah payah."

 

"Rumah ini kurang dirawat dan lama kosong sehingga makhluk halus senang menempati. Apa Ibu sekeluarga betah tinggal di sini?"

 

 Ibu menggelengkan kepala. "Andai saja ada peminat over gadai yang serius."

 

 Mang Alip merenung. "Coba nanti saya tawarkan rumah ini."

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun