Â
 Jakun Dika bergerak naik turun ketika Bu Pia bangkit dari duduknya dan menghampiri pagar bambu yang membatasi rumahnya dan rumah gadai ini. Ya Allah, mengapa Kau kembali memberi cobaan berat? Padahal aku hanya ingin mengangkat jemuran. Sepertinya, aku harus wirid lebih rajin agar terhindar dari gangguan mistis terus menerus.
Â
 "UH! UH! UH!" seru Bu Pia sembari mengacungkan pisau yang tadi diasahnya. Dengan pisau tersebut, ia menunjuk celana boxer merah milik Dika yang terjatuh. Kemudian, ia juga menunjuk dada Dika dengan penuh ancaman.Â
Â
 Dika meneguk ludah dengan susah payah. Pisau yang digenggam Bu Pia tampak berkilau dan sangat tajam. Untuk apa sih Bu Pia memutar-mutarkan gagang pisaunya seperti itu? Mata Bu Pia juga tampak lebih kelam dari biasanya! Ia sudah menyerupai malaikat maut dengan raut wajahnya yang dingin.
Â
 "HIHIHIHIHI!" Suara cekikikan Bu Pia efektif membuat Dika gemetar ketakutan. Bahkan, ia hampir mengompol. Tanpa mempedulikan Bu Pia, Dika langsung mengambil langkah seribu. Nyawa Dika lebih berharga dibandingkan celana boxer merah walaupun itu pemberian kekasihnya saat ia ulang tahun. Jika Bu Pia menginginkan celana boxer merah itu pun, ia merelakannya. Jika Bu Pia memakainya pun agar perutnya hangat, ia tak keberatan. Ia tak ingin tewas di tangan Bu Pia yang dirasuki kunti. Biarlah celana boxer merah itu menjadi upeti agar ia tak dibunuh! Please, Bu Pia. Cari korban yang lain saja, ya! Dika masih ingin hidup. Dika belum nikah, Bu! Masih perjaka tulen 100 karat.
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI