Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... freelancer

Penulis Cerpen "Astaga! KKN di Desa Legok" dalam buku KKN Creator (2024). Fokus cerpen dan story telling. Skill business analyst, SMEs, green productivity, and sustainability. Kolaborasi, kontak ke wiryawansisca@gmail.com yang ingin dianalisis laporan keuangan, dll e-mail saja bahan2nya.dah biasa kerja remote. trims bnyk

Selanjutnya

Tutup

Horor

Misteri Rumah Gadai, Bab 7 (Halimun Salak)

6 Mei 2025   12:25 Diperbarui: 6 Mei 2025   11:39 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disclaimer: Tinggal di lereng Gunung Salak dan dekat tepi sungai, nuansanya lain.

S0re sudah sepi. Hampir praktis tak ada kendaraan yang lewat. Hanya debur air sungai yang terdengar.

Kurir makanan online yang mengantar ke rumah gadai, pasti mengeluh...ngeri karena harus melewati hutan...

Memang sih kalau terus menjelajah pasti sampai ke Taman Nasional Halimun Salak :P

Kisah jin Cisadane ini kudengar dari seseorang yang usianya sudah lanjut. Memang kisahnya suka aneh bin ajaib. O.O

Silakan baca kisah petualangan Ima di bawah ini=)

________________________

Seolah-olah aku sedang menuruni lereng, padahal kupikir akan menanjak. Begitulah yang terjadi. Menurut pendapat masyarakat, aku sedang menuju ke atas, namun kehidupan juga semakin menjauh dariku.

-Leo Tolstoy.    

________________________________________

 

 Jam 7 pagi aku dan Ibu menaiki lereng Gunung Halimun Salak yang terjal dengan penuh semangat. Udara pagi sangat segar. Kristal embun yang menggantung di dedaunan berkilauan di bawah sinar mentari. 

 

 Lewat jam 10 pagi aku merasa sesak napas jika berjalan kaki. Cuaca ekstrim membuat sinar matahari lebih terik dari biasanya. Udara panas menyebabkan debu lebih beterbangan dan menyiksa paru-paruku. Menurut peneliti lingkungan, ozon berlubang karena pencemaran udara sehingga menyebabkan pemanasan global. Bumi sedang tak baik-baik saja! 

 

 Oleh karena Jabodetabek terkena masalah polusi udara, pemerintah menerapkan larangan membakar sampah sembarangan. Sampah daun atau limbah sayuran seharusnya dikubur. Sedangkan sampah anorganik sebaiknya didaur ulang. Sudah banyak penganut lingkungan hijau yang mendaur ulang sampah anorganik menjadi batu bata, paving block, pot tanaman, atau pun tas belanja. Karena terpencilnya area ini dan keterbatasan akses informasi, masih banyak warga yang membakar sampah daun kering, terutama saat sore hari. Mataku sering pedih karenanya.

 

"Hebat benar Umi (panggilan untuk ibu) masih kuat menaiki lereng gunung. Saya sudah tidak kuat berjalan jauh. Jika jongkok, kemudian berdiri pun saya seperti melakukan gerakan dangdut patah-patah. Pinggang saya langsung menjerit. Ibu sangat sehat walaupun sudah setengah baya," puji Bu Iroh, tetangga yang berjualan bakso mercon. Ia memandang iri pada kedua kaki Ibu yang masih kuat berjalan kaki. Ibu yang aktif memang tak pernah memanjakan tubuhnya dengan bermalas-malasan. 

 

 "Mereka berdua tak pernah memesan ojek," bisik seorang pengemudi ojek pengkolan pada rekannya di saung (rumah khas Sunda) kecil, tempat mangkalnya ojek. Para pengemudi ojek pengkolan memandang sedih pada kami berdua yang tak pernah menggunakan jasa mereka. Bukannya pelit, tapi uang kami memang sekering Gurun Sahara. Jasa ojek pengkolan sebesar 15 ribu Rupiah. Uang sebanyak itu bisa membeli ayam seperempat kilogram dan sebungkus sayuran sop yang terdiri atas 3 wortel, 1 kentang, sebongkah kol, daun bawang, dan seledri. Sekeluarga bisa kenyang dengan sepanci sup ayam tersebut. Atau, uang tersebut digunakan untuk membeli sebungkus sayur asam dan tempe. Zaman sekarang, kita dituntut untuk mengatur menu sehat semaksimal mungkin dengan budget seminimal mungkin. 

 

 Di tepi kiri jalan, Sungai Cisadane mengalir deras. Terdengar deru air menampar bebatuan sungai. Menatap Sungai Cisadane dari atas lereng, membuatku teringat perkataan kerabatku, Mang Rakay.

 

 "Salah satu nenek moyang kita menikah dengan jin perempuan Sungai Cisadane," ujar Mang Rakay bombastis sehingga membuatku menaikkan kedua alisku. Benar-benar di luar nalar.

 

 "Mang, mana mungkin jin menikah dengan manusia? Jin dan manusia berbeda alam. Musyrik!"

 

 Mang Rakay mengangkat bahu. "Itu sudah menjadi legenda di keluarga kita. Orang tua Mamang pernah mengajak Mamang untuk melihat anak hasil pernikahan jin dan manusia."

 

 "Lalu, anak jin seperti apa?" tanyaku berpura-pura antusias. Sebenarnya, aku tak percaya. Tapi, aku tak ingin mengecewakan pamanku yang sudah berusia 70 tahun ini. Ia sangat antusias menceritakan legenda jin Sungai Cisadane.

 

 "Buaya putih," sahut Mang Rakay dengan tenang. Aku langsung tersedak mendengarnya.

 

 "Mamang bercanda, ya? Anak jin dan manusia hasilnya buaya putih?" tanyaku sembari memutar bola mataku. 

 

 "Neng Ima, tak percaya perkataan Mamang? Jika Mamang memanggil namanya, Neng Urip, sembari menepuk air Sungai Cisadane, buaya putih akan datang menghampiri."

 

 "Hap! Lalu, ia menggigit lengan Mamang."

 

 Mang Rakay terkekeh. "Hush! Tak boleh berkata seperti itu. Nanti kualat. Siapa tahu ia mendatangi Neng Ima dalam mimpi." Mang Rakay menggigit sedikit pisang gorengnya yang masih mengepul panas. Ia menelan cemilan tersebut, dan kemudian berkata, "Jika Mamang memanggilnya, Neng Urip selalu minta dielus kepalanya."

 

  Aku merengut. "Aneh sekali legenda buaya putihnya."

 

 "Terserah jika Neng Ima tak percaya. Mamang hanya mengatakan fakta yang Mamang ketahui," ujar Mang Rakay.

 

 "Mamang bohong, kan?"

 

 Mang Rakay tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya tersenyum misterius. Kemudian, ia meneguk kopi manisnya dengan nikmat. 

 

 Oh My God, aku masih berkerabat dengan siluman buaya putih! Mungkin Mang Rakay terobsesi dengan film Nyi Blorong yang ada adegan siluman buaya putih.

 

***

 Pemukiman penduduk lebih padat di tepi kanan jalan dibandingkan tepi kiri karena lebih aman. Selain adanya Sungai Cisadane, tepi kiri merupakan area seperti jurang. Tak ada pengaman bagi pengguna jalan. Jika kita terpeleset ke dalam jurang tersebut, langsung Almarhum. Kita akan memiliki surat identitas baru, yaitu surat keterangan kematian. Walaupun demikian, banyak pengguna jalan tak memedulikan keamanan berkendara. Mereka tetap mengemudikan kendaraan bermotor sekencang mungkin di jalan aspal yang lebarnya hanya sekitar empat meter ini. Aku dan Ibu sudah terbiasa lari ke halaman rumah penduduk jika ada truk yang melintas. 

 

 Banyak penduduk yang memiliki kolam ikan kecil di halaman depan rumah. Tak banyak penduduk yang bercocok tanam. Para suami biasanya bekerja sebagai buruh bangunan di pusat kota. Sedangkan para istri cenderung membuka warung sehingga persaingan antar warung sangat ketat. Ke mana pun kami pergi membeli bahan makanan, pasti warga sekitar mengetahui. Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan Teh Dina.

 

 "Umi, kemarin saya lihat Umi membeli 20 buah rangginang (cemilan ketan goreng) mentah dari Nek Isah. Mengapa Umi tak membeli rangginang pada saya? Buatan saya jauh lebih enak dan garing. Bumbunya ajip (lezat)! Terasa bawang putih dan kencurnya," kata Teh Dina pada Ibu. Ia memanyunkan bibirnya yang semerah darah. Vampir pun kalah bersaing dengannya.

 

 Ibu tertawa. "Saya kan tidak tahu Teh Dina juga jualan rangginang. Apa ada ranggining (cemilan dari tepung beras) mentah?"

 

Teh Dina menggangguk antusias. Ia mengajak kami memasuki pos ronda yang kosong dan memamerkan dagangannya.

 

 "Saya beli 10 ranggining saja. Ini perlu dijemur dulu di bawah sinar matahari sebelum digoreng?" Tanya Ibu.

 

 "Jika mau dijemur dulu boleh, jika mau langsung digoreng juga tak masalah," ujar Teh Dina diplomatis. Kedua matanya mengepak-ngepak.

 

 "Berarti harus dijemur dulu," celetukku melihat gelagat Teh Dina.

 

 "Umi, mengapa tak membeli 20 buah saja. Nanti Umi menyesal tak membeli lebih banyak," rayu Teh Dina. Ia melemparkan senyum maut.

 

 Tingkah Teh Dina membuat Ibu dan aku tertawa. Ia sungguh jenaka.

 

 "Bukannya tak mau memborong dagangan Teteh, tapi uangnya hanya sedikit. Jika ada uang berlebih, nanti saya akan membeli lebih banyak," ujar Ibu.

 

 "Benar, ya. Buatan saya banyak disajikan di pesta nikah. Minggu lalu Pak Ujang Endi membeli 200 rangginang dan 100 ranggining untuk pesta pernikahan anak perempuan bungsunya. Jika Umi membeli banyak rangginang atau pun ranggining, nanti saya beri diskon," promo Teh Dina gencar.

 

  Aku dan Ibu pun memuji Teh Dina. Ia tambah bangga dengan prestasinya. Matanya pun berbinar-binar. Kami pun melambaikan tangan ketika berpisah dengan Teh Dina yang ramah tersebut.

 

***

  Sepanjang lereng Gunung Halimun Salak, kami melewati hamparan sawah dan ladang ketimun. Ada juga kebun singkong, ubi, dan pisang. Tapi, tidak ada pohon pepaya. Jarang petani yang memiliki lahan pertanian sendiri. Umumnya, mereka menyewa lahan. Hasil pertanian pun dijual ke tengkulak. Petani menyisakan sedikit hasil tani untuk dijual dengan harga murah ke warga sekitar.

 

   Kontur tanah tepi kiri jalan semakin menurun ketika mendekati lereng menuju bukit. Uniknya, Sungai Cisadane mengalir bukan dari atas bukit, tapi mengalir sepanjang lereng. Aku sangat terkejut ketika mengetahui bukit yang kulalui, dialiri sungai bawah tanah yang nantinya bertemu dengan Sungai Cisadane yang berada di lereng. Area ini benar-benar unik! Apakah ada gua bawah tanah di dalam bukit?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun