Banyak penduduk yang memiliki kolam ikan kecil di halaman depan rumah. Tak banyak penduduk yang bercocok tanam. Para suami biasanya bekerja sebagai buruh bangunan di pusat kota. Sedangkan para istri cenderung membuka warung sehingga persaingan antar warung sangat ketat. Ke mana pun kami pergi membeli bahan makanan, pasti warga sekitar mengetahui. Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan Teh Dina.
Â
 "Umi, kemarin saya lihat Umi membeli 20 buah rangginang (cemilan ketan goreng) mentah dari Nek Isah. Mengapa Umi tak membeli rangginang pada saya? Buatan saya jauh lebih enak dan garing. Bumbunya ajip (lezat)! Terasa bawang putih dan kencurnya," kata Teh Dina pada Ibu. Ia memanyunkan bibirnya yang semerah darah. Vampir pun kalah bersaing dengannya.
Â
 Ibu tertawa. "Saya kan tidak tahu Teh Dina juga jualan rangginang. Apa ada ranggining (cemilan dari tepung beras) mentah?"
Â
Teh Dina menggangguk antusias. Ia mengajak kami memasuki pos ronda yang kosong dan memamerkan dagangannya.
Â
 "Saya beli 10 ranggining saja. Ini perlu dijemur dulu di bawah sinar matahari sebelum digoreng?" Tanya Ibu.
Â
 "Jika mau dijemur dulu boleh, jika mau langsung digoreng juga tak masalah," ujar Teh Dina diplomatis. Kedua matanya mengepak-ngepak.