Rani mengeluh dalam hati. Ia ingin segera angkat kaki, tapi kesopanan memaksanya untuk bertahan menghadapi tetangga barunya. Ia pun bertanya agar tetangganya itu mengerti bahwa aktivitas si tetangga yang mengajukan pertanyaan terus-menerus itu merintangi dirinya untuk pergi. "Bu Mimin mau pergi bersama ke Cikodok?" tanya Rani sekedar basa-basi. Ia tahu tetangganya itu harus bekerja di ladang. Tapi, tak ada tanda-tandanya si tetangga untuk menyudahi pembicaraan.
      Mimin terkekeh. "Aku pergi ke arah yang berbeda. Tempatku bekerja di sana. Karena aku buruh tani harian, tempat kerjaku berbeda-beda tergantung pemilik tanah yang memperkerjakanku."
      "Hari ini menanam padi?"
      Mimin menggelengkan kepala. "Panen tomat. Cuaca terlampau panas untuk menanam padi. Aku berangkat dulu ya. Jika terlambat, nanti upahku dipotong."
      Tanpa menunggu jawaban Rani, Mimin berlari menuju tempat kerjanya. Rani pun merasa lega. Ia tak terbiasa berbicang-bincang dengan emak-emak yang super detil.
      Rani terpukau menatap langit pagi ini yang bagaikan lukisan abu-abu. Perlahan semburat emas mentari menjalar batang ilalang hingga menerangi alam raya. Di kejauhan tampak puncak Gunung Pangrango berselubung halimun penuh misteri. Ngarai yang menjanjikan alam keabadian terdapat di kanan kiri jalan selebar 3 meter yang hanya bisa dilalui 1 mobil. Di bawah ngarai, sungai dangkal tampak keruh akibat aktivitas turunan Nabi Adam dan Hawa. Beberapa bocah cilik yang penasaran, termasuk Ika, mengaduk-aduk gundukan sampah yang terdampar di tepi sungai. Mereka menggunakan ranting kayu. Setelah memperhatikan aktivitas mereka sekilas, Rani pun melanjutkan perjalanannya ke Cikodok.
***
      "HUAAA. BUAYA! ADA BUAYA KELUAR DARI SUNGAI!" jerit Ika. Ia berlari tunggang langgang menuju rumahnya. Air mata menggenang di pipinya yang kemerah-merahan akibat terbakar sinar mentari. Lilih dan Pia, kedua temannya pun ikut melarikan diri sembari berteriak heboh. Bahkan, domba-domba yang terkurung di istana domba alias rumah megah berlantai dua khusus peternakan domba yang berjarak 2 rumah dari rumah Ika, turut prihatin. Mereka mengembik saling bersahut-sahutan bagaikan orkestra.
      "AYA NAON? (ADA APA?)" teriak Didin. Ia lari menghambur keluar rumah dan memeluk Ika, cucu tunggalnya. Ika dan kedua orangtuanya memang tinggal serumah dengan Didin dan istrinya.Â
      Ika menunjuk pada sesosok makhluk yang lari zigzag dari tepi sungai menuju sawah. "Hu ... hu ... hu, takut ... Ada buaya. Takut gigit ..."