"Aduh, itu anak. Maafkan Ika, ya," pinta Mimin yang dibalas dengan gumaman persetujuan Rani yang sebenarnya setengah tak rela. Menyadari wajah Rani yang sepucat kertas, ia pun membantu tetangga barunya itu.
      Rani baru bisa bernapas lega setelah sampai di sisi jalan. Ia pun mengamati Mimin yang sudah siap dengan segala perlengkapan tempurnya di sawah. Mimin menggunakan blus kotak-kotak biru sepanjang lutut, celana panjang merah muda polkadot putih, dan sepatu bot hijau. Sungguh menarik gaya berbusana petani yang tabrak warna dan tabrak motif.
      "Rani hendak ke mana pagi-pagi begini?" tanya Mimin yang rasa penasarannya sebesar kucing oranye-nya. Tak majikan tak hewan peliharaan, keduanya sering mengintai aktivitas Rani.
      "Mau ke Cikodok."
      "Untuk apa? Berjalan ke Cikodok cukup jauh," ujar Mimin yang senang menginterogasi.Â
      "Beli sayur."
      "Bisa ke warung sayur Acih."
      "Aku harus mengambil uang di ATM Mini Cikodok."
      Kedua mata Mimin bercahaya. "Ah, ternyata Rani memiliki banyak simpanan uang di Bank, ya? Enaknya."
      Rani tersenyum kaku. "Tidak banyak. Hanya sekedar untuk makan."
      "Setidaknya, Rani memiliki uang. Tidak seperti aku yang banyak utang akibat Pak Didin, suamiku yang sakit-sakitan. Setiap ia sakit, kami harus meminjam uang pada Bank Emok. Meminjam uang 20 juta Rupiah, tapi mengembalikannya harus dua kali lipat. Minggu lalu baru saja utang itu lunas."