Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... freelancer

Penulis Cerpen "Astaga! KKN di Desa Legok" dalam buku KKN Creator (2024). Fokus cerpen dan story telling. Skill business analyst, SMEs, green productivity, and sustainability. Kolaborasi, kontak ke wiryawansisca@gmail.com yang ingin dianalisis laporan keuangan, dll e-mail saja bahan2nya.dah biasa kerja remote. trims bnyk

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sendu di Balik Kearifan Lokal Kaki Gunung Pangrango

23 April 2025   23:10 Diperbarui: 23 April 2025   23:36 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kecubung. Sumber: mediasulsel.com.

            Rani yang biasa berpikiran logis, merasa bangkrutnya warung Mimin terutama karena pinjaman Bank Emok yang bunganya mencekik, bukan karena guna-guna. Sementara sakit kulitnya Didin, suami Mimin, mungkin disebabkan tungau yang biasa hidup di area lembab seperti desa yang terletak di kaki Gunung Pangrango ini. Untuk meredakan sakit kulit Didin, Rani pun memberinya sekantung simplisia sambiloto. Air rebusan sambiloto sebaiknya diminum dan dipercikkan ke bagian kaki yang terkena penyakit kulit. Untunglah, penyakit Didin mereda dan ia pun bisa kembali bekerja sebagai buruh bangunan.

             

***

            Ketika Rani sedang menggantungkan kain seprai di tiang jemuran yang terletak di teras samping, terdengarlah celotehan Mimin yang cukup kencang. "KERJANYA HANYA MENCUCI PAKAIAN SAJA."

            "BENAR. SETIAP HARI HANYA MENCUCI PAKAIAN. TAPI TETAP PUNYA UANG. GANJIL SEKALI. PADAHAL TAK BERSUAMI," timpal Lilih, anak perempuan Mimin alias ibunya Ika. Lilih yang tampak pendiam, ternyata ceriwis seperti ibu kandungnya.

            "BACOT SIA! (Ucapanmu!)" teriak Rani yang hilang kesabaran. Cara tersebut efektif walaupun sangat kasar dan tak patut ditiru. Kedua tetangga bermulut tajam tersebut langsung menutup mulut serapat pintu penjara.           

            Rani sungguh merasa jengkel. Ia bukan pengangguran ataupun berprofesi haram. Memang pekerjaannya tampak ganjil bagi penduduk desa ini yang mengagungkan pekerjaan fisik. Ya, ia seorang content creator yang menulis artikel-artikel untuk suatu majalah online perempuan.

            "Rani mengapa tak kerja saja di area ini? Masa tak bekerja?" ujar Abdul, tetangganya yang berprofesi sebagai tukang pijat keliling.

            "Iya, seharusnya Rani itu bekerja sehingga ada kesibukan. Mumpung masih muda. Apalagi sekarang Rani tak memiliki rumah. Harus rajin bekerja agar bisa membeli rumah. Atau, Rani harus segera menikah agar ada yang bertanggungjawab. Untuk apa menunggu pacar yang belum pasti? Sekarang juga Rani kan tak diberi nafkah olehnya?" timpal Ipah, istrinya Abdul yang membuka warung kecil.

            Rani kesal. Mengapa ia harus menjadi sasaran rasa penasaran para tetangganya. Omongan mereka begitu tajam melecut hatinya yang sensitif. Padahal bisa saja ia melontarkan kata-kata balasan sepedas cabai keriting. Tapi ia harus bersabar menahan diri karena ia hanya warga pendatang. Ia teringat pepatah Agatha Christie, pengarang serial detektif favoritnya. Kejahatan di area terpencil jauh lebih mengerikan dibandingkan di kota. Bahkan, Feisal, sahabatnya yang berprofesi sebagai aparat, pernah berpesan, "Kau harus berhati-hati jika hidup di area gunung. Jika petani, maka mereka berkarakteristik baik. Kau harus waspada karena penduduk gunung tak hanya petani, tapi juga penjahat atau turunan penjahat yang melarikan diri dari masalah hukum."

            Manusiawi jika pikiran Rani melantur ke mana-mana. Bagaimana mungkin penghasilan gabungan dari warung kecil dan tukang pijat keliling bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarga Abdul dan Ipah? Mereka kuat membiayai anak perempuannya untuk kuliah di Universitas Terbuka dan anak laki-lakinya untuk sekolah di SMU. Menutupi 4 cicilan motor. Mengembangkan bisnis warung yang semakin lama semakin membesar. Juga merenovasi rumah mereka yang sering terkena gempa. Sekali merenovasi setidaknya memerlukan biaya sekitar 10 juta Rupiah karena tiang penyangga rumah roboh dan dinding retak-retak. Setiap paginya sebelum membuka warung, Ipah berkeliling untuk menagih uang arisan. Sementara sang suami membuka layanan pijat panggilan ke luar kota. Apakah hal itu mungkin secara kelayakan bisnis? Mau tak mau Rani berprasangka buruk. Arisan itu bukan sembarang arisan, tapi tagihan renternir yang harus dibayar per hari. Profesi pijat panggilan mungkin hanya kamuflase. Bisa saja Abdul berprofesi sebagai pencuri kendaraan bermotor mengingat area ini rawan penggelapan kendaraan bermotor sehingga seminggu sekali, pasti terdengar sirine mobil polisi yang melakukan patroli malam. Tiba-tiba Rani tersentak karena merasa jengah pada dirinya sendiri. Ia tak boleh berpikiran negatif pada tetangganya hanya karena rasa tersinggung. Cara mereka mencari nafkah bukan urusannya. Sama sekali bukan urusannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun