Di balik kata “iya” yang terucap cepat, kadang tersembunyi rasa takut. Takut mengecewakan. Takut dianggap egois. Takut tak lagi disukai. Maka kita pun belajar untuk selalu bersedia membantu saat diminta, mengalah saat dipaksa, memaklumi meski lelah. Kita menempatkan kebutuhan orang lain di atas segalanya, bahkan jika itu berarti mengorbankan diri sendiri. Inilah wajah tak kasat mata dari people pleaser—seseorang yang terlalu baik hingga lupa bahwa dirinya juga layak diperhatikan.Fenomena ini tidak terbatas pada kelompok usia atau profesi tertentu. Ia bisa menjelma dalam diri siapa saja. Seorang siswa yang tak bisa menolak tugas tambahan karena takut dibilang tidak kompak. Seorang pekerja yang tak berani menolak lembur karena khawatir dianggap tidak loyal. Seorang ibu rumah tangga yang terus berkata “ya” pada semua permintaan keluarga karena merasa harus selalu tersedia. Seorang pemimpin yang tak pernah menegaskan batas karena ingin terus disukai bawahannya.Mereka semua terlihat baik. Dan memang, sebagian dari mereka adalah orang-orang yang benar-benar peduli. Tapi masalah muncul ketika kepedulian itu tak lagi sehat—ketika setiap tindakan baik bukan lagi lahir dari keikhlasan, melainkan dari kecemasan.
Ketika Kebaikan Berasal dari Ketakutan
Banyak orang tidak menyadari bahwa menjadi people pleaser adalah bentuk perlindungan diri yang muncul dari pengalaman atau luka emosional tertentu. Seorang anak yang tumbuh dalam keluarga yang keras bisa belajar sejak dini bahwa “dicintai” hanya terjadi saat ia patuh dan menyenangkan. Seorang remaja yang pernah ditinggalkan karena terlalu jujur, bisa tumbuh dengan pola pikir bahwa kejujuran itu berbahaya, bahwa lebih aman menjadi penurut.
Lama-lama, mereka membangun kebiasaan untuk mengutamakan orang lain. Mereka berkata “iya” bahkan sebelum berpikir. Mereka mendahulukan kebutuhan orang lain sebelum sempat bertanya pada dirinya sendiri “Apakah aku mau? Apakah aku mampu?”
Menurut psikolog klinis, people pleasing bisa berakar dari self-worth yang rendah. Seseorang yang merasa bahwa dirinya tidak cukup baik akan terus mencari pembenaran dari luar. Mereka merasa hanya layak dicintai jika bisa membuat orang lain bahagia, jika tidak merepotkan, jika selalu siap.
Dan meskipun pola ini bisa membuat kita diterima, sering kali itu bukan penerimaan yang tulus. Banyak people pleaser justru merasa tidak dihargai. Mereka merasa dimanfaatkan. Mereka merasakan hubungan yang berat sebelah. Tapi mereka tetap bertahan, tetap tersenyum, tetap berkata “tidak apa-apa”. Karena dalam diam, mereka takut “Kalau aku menolak, apakah mereka masih mau bersamaku?”
Kelelahan yang Tak Terucap
Menjadi people pleaser adalah pekerjaan berat yang tak pernah disebutkan. Tidak ada jadwal kerja. Tidak ada jam istirahat. Setiap saat, kita waspada—apakah orang lain nyaman? Apakah mereka kecewa? Apakah aku sudah cukup baik?
Kelelahan emosional ini tidak selalu tampak. Tapi ia menggerogoti perlahan. Kita jadi sering merasa kosong. Sulit menikmati waktu sendiri. Takut membuat keputusan tanpa persetujuan orang lain. Bahkan untuk hal sederhana seperti memilih makanan, kadang kita berpikir “Kira-kira orang lain suka nggak, ya?”
Lama-kelamaan, identitas kita menjadi kabur. Kita tidak lagi tahu apa yang benar-benar kita suka, kita inginkan, atau kita butuhkan. Karena terlalu lama fokus pada orang lain, kita lupa mendengarkan suara dari dalam diri sendiri.
Ironisnya, semakin kita berusaha menyenangkan semua orang, semakin besar kemungkinan kita mengabaikan diri sendiri. Dan ketika kita mulai lelah, yang muncul justru rasa bersalah. Seolah-olah, ingin istirahat adalah bentuk kegagalan. Seolah-olah, menetapkan batas adalah sikap tidak tahu terima kasih.
Inilah siklus yang sering menjebak seorang people pleaser: memberi tanpa henti, lalu lelah, tapi merasa bersalah saat ingin berhenti.
Budaya yang Membentuk
Tak bisa dimungkiri, budaya kita turut membentuk mentalitas people pleasing. Kita diajarkan sejak kecil untuk “jangan merepotkan orang lain”, “harus bisa diandalkan”, “jangan menolak jika diminta tolong”. Nilai-nilai ini pada dasarnya baik, tetapi menjadi masalah ketika dibawa secara ekstrem—tanpa mempertimbangkan keseimbangan dan kesehatan emosional individu.
Di tempat kerja, misalnya, kita menghargai pegawai yang selalu siap lembur, tidak pernah mengeluh, dan “siap sedia kapan pun diminta”. Dalam keluarga, kita menyanjung anggota yang selalu mengalah, tak pernah menolak, dan terus memberi tanpa pamrih.
Namun kita jarang memberi ruang untuk berkata “tidak”. Kita jarang memberi pujian pada orang yang menjaga batasnya sendiri. Padahal, menetapkan batas bukanlah bentuk ketidakpedulian, melainkan bentuk cinta diri. Dan cinta diri yang sehat bukan berarti egois, tapi justru fondasi agar kita bisa memberi secara tulus—bukan karena terpaksa.
Jalan Menuju Kesadaran
Kesadaran adalah langkah pertama. Mengenali bahwa kita memiliki kecenderungan people pleasing bukanlah aib. Justru itu adalah bentuk keberanian. Karena hanya dengan menyadari, kita bisa mulai mengubah pola.
Dalam proses mengenali kecenderungan menjadi seorang people pleaser, penting untuk mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan jujur kepada diri sendiri. Apakah saya sering merasa bersalah setiap kali harus menolak permintaan orang lain, meskipun saya tahu bahwa saya sedang tidak sanggup? Perasaan bersalah ini bisa menjadi tanda bahwa kita terlalu terbiasa memprioritaskan kenyamanan orang lain di atas kesejahteraan pribadi.
Lalu, apakah saya merasa terpaksa saat membantu, seolah-olah tidak punya pilihan selain berkata “iya”? Bantuan yang diberikan bukan lagi lahir dari niat tulus, melainkan dari dorongan untuk tetap diterima atau dihindarkannya konflik. Hal ini tentu melelahkan secara batin.
Selanjutnya, coba tanyakan, apakah saya takut kehilangan hubungan jika bersikap jujur tentang batas dan perasaan saya? Ketakutan ini sering kali membuat kita menyembunyikan kebenaran, berpura-pura nyaman, padahal dalam hati merasa terbebani.
Dan yang tak kalah penting, apakah saya merasa sangat lelah secara emosional setelah berinteraksi dengan orang lain? Jika setelah bergaul justru merasa terkuras, bukan terisi, bisa jadi itu karena terlalu banyak energi tercurahkan untuk menyesuaikan diri dan menjaga citra yang menyenangkan.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini secara jujur adalah langkah awal untuk memahami bahwa menyenangkan semua orang bukanlah kewajiban, apalagi satu-satunya cara agar kita layak diterima.
Jika jawabannya ya, mungkin sudah saatnya kita mulai belajar untuk hidup lebih jujur pada diri sendiri. Mengatakan “tidak” bukan berarti berhenti peduli. Itu adalah langkah kecil menuju hubungan yang lebih sehat—dengan orang lain, dan dengan diri kita sendiri.
Kita perlu menyadari bahwa tidak semua orang harus senang dengan kita. Tidak semua permintaan harus dipenuhi. Tidak semua hubungan harus dijaga dengan mengorbankan kebahagiaan pribadi.
Belajar menetapkan batas bukan hanya soal berkata “tidak”, tapi juga soal berkata “aku juga penting”.
Membangun Relasi yang Seimbang
Hubungan yang sehat bukanlah yang satu pihak terus memberi dan pihak lain terus menerima. Hubungan yang sehat dibangun dari saling menghargai batas, saling mendengarkan kebutuhan, dan saling memberi ruang untuk tumbuh sebagai individu.
Ketika kita mulai bersikap jujur—tentang apa yang mampu kita lakukan, apa yang kita inginkan, dan kapan kita butuh jeda—kita sedang membangun hubungan yang lebih jernih. Kita memberi tahu orang lain bagaimana memperlakukan kita dengan hormat. Kita tidak sedang menjadi “kurang baik”, tapi sedang menjadi manusia yang utuh.
Banyak orang yang awalnya takut menetapkan batas akhirnya terkejut, ternyata orang-orang yang benar-benar peduli, tidak pergi. Mereka justru menghargai kejujuran. Mereka belajar menyesuaikan. Dan dari sana, hubungan yang lebih tulus dan tahan lama bisa tercipta.
Sebaliknya, mereka yang hanya bersama kita karena kita selalu menuruti, akan pergi saat kita mulai menegaskan diri. Dan itu bukan kehilangan, tapi pembebasan.
Menjadi Baik, Tanpa Kehilangan Diri
Dunia ini memang butuh orang-orang baik. Tapi kebaikan yang sejati bukanlah yang mengorbankan diri hingga hancur. Kebaikan yang sejati lahir dari kesadaran, keseimbangan, dan keberanian untuk berkata jujur—bahkan jika itu berarti berkata “tidak”.
Menjadi orang yang penuh kasih tidak berarti selalu siap. Tidak berarti selalu setuju. Kadang, menjadi orang yang penuh kasih justru berarti berkata “Maaf, kali ini aku tidak bisa. Aku juga perlu dijaga.”
Jangan tunggu sampai tubuhmu lelah, emosimu tumpah, dan jiwamu kosong. Belajarlah mendengarkan dirimu sendiri, sama seperti kamu selama ini mendengarkan orang lain. Sebab kamu juga penting. Kamu juga layak dimengerti.
Dan ingat, menyenangkan semua orang itu mustahil. Tapi menyelamatkan diri sendiri? Itu bisa dimulai sekarang.
Bagaimana denganmu?
Pernah merasa sulit berkata "tidak" demi menyenangkan orang lain?
Bagikan pengalamanmu di kolom komentar. Siapa tahu, ceritamu bisa jadi penguat bagi orang lain yang sedang belajar menjaga diri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!