Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Wabi-sabi, Ketidaksempurnaan yang Sempurna

20 Juli 2022   10:30 Diperbarui: 21 Juli 2022   01:35 1364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ketidaksempurnaan bisa saja adalah kesempurnaan itu sendiri. Sumber: elartedelkintsugi via parapuan.co

Plato berpendapat bahwa kesempurnaan tidak mungkin ada di luar alam pikiran. Sebuah cita-cita hanya bisa ada di dalam pikiran kita, dan selebihnya hanyalah replika atau tiruan. Sifat sementara alam semesta dan nasib yang hampir sempurna menghadapkan kita pada sebuah kenyataan yang akhirnya berantakan.

Mari kita mengambil contoh tentang tubuh yang nyaris sempurna. Tubuh manusia tentu saja akan segera menjadi mangsa usia tua. Makin kita berusaha menyempurnakan sesuatu, makin kaku dan rapuh jadinya, seperti air yang diam sempurna dihancurkan oleh sebutir pasir yang jatuh ke dalamnya, atau seperti kutipan dari Lao Tzu: "Lebih mudah membawa cangkir kosong daripada cangkir yang diisi sampai penuh. Makin tajam pisau, makin mudah tumpul. Makin banyak kekayaan yang Anda miliki, makin sulit untuk dilindungi." (Lao Tzu, Tao Te Ching, 9).

Jika kita berjalan dengan jari kaki untuk menjalani kehidupan yang nyaris sempurna dan ketika hanya sedikit dorongan saja, itu sudah cukup untuk membuat kita terjatuh. Dengan demikian, mengejar kesempurnaan tampaknya menjadi tugas orang-orang bodoh.

Oleh karena itu, mengejar kesempurnaan sering kali melelahkan kita, membuat kita tertekan, cemas, dan membenci diri sendiri karena kita membebani diri kita dengan rasa kekurangan yang terus-menerus atau tidak pernah merasa cukup. Ini seperti usaha mati-matian agar air di kolam tetap tenang dan jernih, meskipun kita tidak dapat mencegah angin, hujan, gempa bumi, dan fenomena alam lain mengguncangnya.

Analogi manusia sebagai kolam sebening kristal yang tidak akan pernah tenang, justru menjadikan sebagian besar dari kita menyerupai kolam air keruh, tunduk pada keinginan alam, hujan, angin, dan api kehancuran yang tak terhindarkan. 

Dengan kondisi yang sekilas dan tidak sempurna ini, kita beresonansi dengan seluruh dunia. Ketidaksempurnaan adalah keadaan alami yang menjadi sebuah tragedi. Berbeda dengan sudut pandang "wabi-sabi" keindahan justru berasal dari ketidaksempurnaan yang sempurna.

Ilustrasi wabi sabi tentang ketidaksempurnaan yang sempurna| by pixabay
Ilustrasi wabi sabi tentang ketidaksempurnaan yang sempurna| by pixabay

Merangkul ketidaksempurnaan 

Merangkul ketidaksempurnaan bukan berarti kita tidak boleh memperbaiki diri. Selama masuk akal dan tanpa harus bertujuan sempurna, perbaikan diri malah dianjurkan.

Keinginan untuk kesempurnaan adalah suatu bentuk kemelekatan: kita melekat pada suatu gagasan atau visi besar tentang bagaimana segala sesuatunya menjadi "seharusnya"---dan kemelekatan terletak pada akar penderitaan. Hanya dengan membiarkan fantasi kesempurnaan ini larut, kita dapat melepaskan diri dari siksaan keinginan.

Wabi-sabi adalah pengalaman tentang bagaimana segala sesuatunya, bukan bagaimana seharusnya, dalam kondisi sementara yang tidak sempurna. "Seseorang harus sangat menyadari ketidakkekalan dunia," kata Dogen, pendiri aliran Soto Buddhisme Zen.

Penuaan, asimetri , kebengkokan, kerusakan, pembusukan, kematian: rangkul mereka sebagai bagian intrinsik dari alam, dan kita mungkin mulai melihat keindahan di dalamnya, seperti yang dilakukan Kaisar Stoic, Marcus Aurelius. Dia menggambarkan momen "wabi-sabi"nya sebagai berikut: "Kita harus ingat bahwa ketidaksengajaan alam memiliki pesonanya sendiri, bahkan daya tariknya sendiri. Cara roti terbelah di bagian atas dalam oven menunjukkan bagian atasnya hanyalah produk sampingan dari pemanggangan, namun entah bagaimana roti itu membangkitkan selera makan kita tanpa kita tahu alasannya; bagaimana buah ara yang matang mulai pecah; dan buah zaitun hampir jatuh---bayangan pembusukan memberikan keindahan yang unik." (Marcus Aurelius, Meditasi, 3-2.)

Menghargai Ketidaksempurnaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun