Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Alasan Takdir Tidak Mengizinkan Mereka Bersatu Lebih Awal

6 April 2021   07:33 Diperbarui: 13 Mei 2023   17:55 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
picture by pixabay.com

Seharusnya Delia dan Raen merayakan tahun pertama kebersamaan sejak awal berpacaran di salah satu sudut ruangan restoran dengan penuh kehangatan. Namun sebaliknya, suasana malam itu terasa dingin.    

“Aku ingin menyampaikan suatu hal penting, Re.” tutur Delia memulai percakapan. Seulas senyum tipis tersungging di bibirnya.  

Raen yang hendak mengangkat gelas untuk bersulang mendadak mengurungkan niat. Lelaki itu meletakkan gelas ke atas meja kembali, kemudian mencondongkan tubuh ke depan beberapa sentimeter. Mata sipitnya menatap wajah wanita yang dicintainya itu dengan penuh antusias. Senyum manis pun bermain di bibirnya.

”Sampaikanlah, Sayang. Apakah kau akhirnya bersedia menerima lamaranku? Terlalu lama aku menunggu kau menyetujuinya,” ujarnya penuh harap.

Harapan Raen bukan tanpa alasan. Berkali-kali dia menyatakan keinginan untuk segera naik pelaminan, tetapi Delia selalu berkelit menyatakan kebelumsiapannya. Raen masih sabar menunggu karena dia tidak ingin belahan jiwanya itu setuju secara terpaksa.   

Delia mengembus napas beberapa detik. Tampak sedikit keraguan dari wajah tirusnya saat memandang Raen. Delia sangat mencintai kekasihnya itu. Namun, keputusan yang hendak diambilnya malam itu sudah dia pikirkan baik-baik.

“Hubungan kita harus berakhir, Re.” Kalimat getir dan dingin terucap dari bibir merah Delia.

Raen tidak sepenuhnya terkejut. Lelaki itu mengangkat gelas kembali, lalu menenggak moktail di dalamnya dan membiarkan sedikit cairan itu berada dalam rongga mulut seperti hendak merasakan sebuah sensasi rasa. Sesudah itu barulah dia menelannya.

“Ayolah, Del. Tidak baik melakukan tipuan lucu pada malam perayaan kita,” cetus Raen tidak percaya.

“Aku serius.”

Suasana menjadi hening. Raen meletakkan gelas ditangannya ke tempat semula, lalu meraih kedua tangan halus Delia dan menggenggamnya erat. Matanya menatap sang kekasih dalam-dalam.  

“Kenapa? Apa kau masih ragu denganku? Ada apa denganmu?” tanya Raen pelan hampir berbisik. Tangannya semakin erat mengenggam jemari perempuan cantik dihadapannya itu. 

Perlahan-lahan Delia menarik tangannya dan melepaskannya dari genggaman Raen. Wanita berbalut busana hitam elegan malam itu pun memalingkan wajah dari tatapan lelaki yang mencintainya itu.   

“Aku sudah tidak mencintaimu lagi, Re, ” jawab Delia bergetar sebelum menggigit bibir sedikit keras.     

Raen menghela napas dan mengusap kepala. Astaga, kalimat itu tidak pernah dia duga—dan Delia mengatakannya seolah sudah mati rasa. Selama ini dia berusaha untuk tidak melakukan kesalahan. Apa yang terjadi? Barisan kata yang terucap dari bibir tipis Delia bagaikan petir yang menggelegar tanpa musabab.  

Mata lelaki tiga puluh tahun itu sudah mulai berembun. Raen tidak bisa berkomentar apa-apa. Mulutnya kaku dan hatinya terkoyak, luka. Disaat itulah Delia berdiri dan pergi meninggalkan Raen dalam kebingungan.

“Maafkan aku, Re,” ucapnya terakhir kali dengan mata berkaca-kaca. Sebenarnya wanita itu  pun berada dalam keadaan batin yang tidak baik-baik saja.

***

Miom atau tumor jinak tumbuh di area rahim Delia. Perempuan dua puluh lima tahun itu sudah lama mengetahuinya. Selama ini Delia beranggapan bahwa miom tersebut tidak akan berbahaya meskipun timbul sakit yang luar biasa saat datang bulan. Barulah dua bulan terakhir dia mengetahui bahwa miom tersebut semakin mengkhawatirkan. Menurut dokter, satu-satunya jalan terbaik menghilangkan rasa sakit akibat tumor itu adalah dengan cara mengangkat rahim. Itu artinya Delia tidak akan pernah bisa menjadi wanita seutuhnya.

“Kelak kalau kita menikah, aku ingin punya anak yang banyak darimu, Sayang.”

Kata-kata yang sering diucapkan Raen terus berputar di ingatan Delia. Kalimat itu dulu dianggapnya sungguh romantis, tetapi sekarang bak pedang menghujam ulu hati. Keinginan memiliki buah hati tidak akan pernah terwujud. Ini bukan hanya perkara dinikahi Raen saja, melainkan dengan lelaki mana pun, sebab keputusan untuk operasi sudah dia sanggupi.

Hal inilah yang membuat Delia berpikir kembali tentang hubungan asmaranya itu. Delia tidak ingin memberitahu Raen. Dia yakin laki-laki itu akan pergi setelah tahu dirinya tidak bisa memberikan kebahagiaan lebih andaipun mereka menikah. Maka itulah, Delia mengambil sikap lebih dahulu, meninggalkan Raen sebelum ditinggalkan, meskipun perasaan yang dihasilkan sama saja, nyeri.

***

Di ruangan serba putih Delia masih berbaring di atas tempat tidur pemulihan pascaoperasi.

Tante Mia, wanita yang sudah dianggap sebagai pengganti ketiadaan ibunya itu duduk disampingnya.

“Tidak akan ada laki-laki yang mau menerima keadaanku sekarang,” gumam Delia putus asa. Gumaman itu lebih tertuju kepada diri sendiri, namun terdengar jelas di telinga Tante Mia.

“Tidak baik bicara seperti itu, Delia. Jangan mencela takdir Tuhan. Tuhan pasti memberikan alternatif kebahagiaan dalam bentuk yang lain untukmu. Yakinlah.”

Sekarang tidak hanya luka fisik yang harus dipulihkan, tetapi ada luka psikis juga yang harus disembuhkan. Menjalani hidup sebagai wanita yang tidak sempurna tentu tidak ringan bagi Delia. Namun, berkutat pada polemik kehilangan rahim, jelas akan menimbulkan problem kejiwaan tersendiri. Itu tentu sangat tidak baik.

Delia berusaha menerima takdir dan melupakan pernikahan. Hari-hari selanjutnya dia jalani dengan beragam aktivitas. Bekerja dan bersenang-senang, seperti berbelanja, perawatan ke salon, makan, nonton film, atau membaca tabloid receh sekadar ingin tahu gosip murahan artis kawin cerai. Untuk kegiatan lainnya, dia lebih memilih pergi ke panti asuhan. Bergembira bersama anak-anak yang tidak pernah merasakan kehangatan kasih sayang orang tua merupakan bentuk keuntungan bersama yang bisa menjadi terapi psikis untuknya.

***

Setahun berlalu. Suatu pagi kertas merah keungu-unguan berada di atas meja kerjanya. 

“Tadi ada kurir yang mengantarkannya.” Penjelasan singkat Anggi, rekan kantornya.  

Delia membolak balik kertas di tangannya. Membuka dan membaca nama yang tertera semacam olok-olok saja baginya. Dia berpikir bahwa Raen pasti mengira keputusannya pergi adalah kesalahan besar. Betapa cepatnya cinta lenyap bersamaan dengan hati yang berbalik seperti kaos kaki, meskipun semuanya itu bukan salah Raen. 

Delia tidak ingin hadir. Selanjutnya, dia membiarkan komunikasi dengan Raen terputus begitu saja. Hitungan hari, minggu, bulan, sampai tahun ke lima sejak mereka berpisah akhirnya terlewati.

Sampai pada kamis siang minggu pertama di bulan kedua, ketika Delia baru usai mengantar tamu kantor untuk menginap di sebuah hotel, tiba-tiba dari pelataran lobi seruan panggilan mengarah kepadanya.

“Delia!”

Delia menoleh dan terpaku beberapa jenak. Raen? Bagaimana bisa lelaki itu berada di hadapannya lagi.

“Hai,” jawab Delia singkat, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tentu saja dia mencari pasangan hidup Raen dan juga buah hatinya—yang mungkin sudah ada.

 “Aku sendirian, Del,” pungkas Raen tersenyum geli seolah memahami reaksi Delia yang bersikap kikuk bertemu dengannya. Bibir Delia pun terlihat lucu membentuk huruf “o”.

***

“Setahun lalu dia memilih pergi, setelah tahu kemungkinan besar aku tidak bisa memberinya keturunan. Tiga tahun pertama kami sudah berusaha. Sampai akhirnya dokter menyatakan akulah yang salah. sementara itu, keluarga besarnya terus-terusan mendesak agar kami bercerai saja. Ini keputusan yang sangat berat. Ya, sudah. Aku terima semua, ” tutur Raen panjang lebar mengenai kehidupannya setelah menikah.

Delia tercengang. Dia tidak menyangka hal yang sama terjadi pada Raen. Kehidupan memang tidak bisa ditebak. Semuanya penuh rahasia. Raen pun lalu memperhatikan Delia. Wanita itu tetap sama seperti dulu, cantik, meskipun sedikit terlihat lebih kurus. Mereka pun saling melempar senyum.  

“Seperti sesuatu yang konyol, ya, Re. Aku memutuskanmu dan kamu ditinggalkan istri karena masalah yang hampir serupa.”

Perempuan berambut panjang tergerai itu lantas tertawa kecil. Raen pun ikut tertawa. Ya, mereka sama-sama mentertawakan takdir yang seolah memberi jawaban tentang alasan mengapa mereka tidak diizinkan bersatu lebih awal.

***

“Apakah kau masih ingin punya anak yang banyak, Re?” gurau Delia. Raen pun terkekekeh-kekeh sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

Delia dan Raen berpandangan sama bahwa memiliki anak tidak harus terlahir dari rahim sendiri. Kehadiran sosok kecil Kayla dari yayasan yatim piatu memberi warna kehidupan di antara mereka. Ya, mereka pun sepakat mengikat hubungan kembali—dan kali ini sebagai pasangan suami istri.  

---

-Shyants Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun