Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kursi Wagub Hanya Pelipur Lara; PKS Tetap Bisa Dikacangin Gerindra!

6 November 2018   02:06 Diperbarui: 6 November 2018   05:41 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar diadopsi dari https://nasional.inilah.com/read/detail/2468643/ini-tanda-koalisi-gerindra-pks-mulai-retak

Rupanya, rengekan PKS yang keukeuh meminta jatah kursi Cagub DKI usai ditikung Sandi Uno di menit-menit akhir bursa cawapres Prabowo beberapa waktu lalu, pun terkabul. Melalui drama panjang dan sejumlah intrik "ancam-mengancam" ala ABG puber, Gerindra akhirnya mau berbagi jatah kuasa kepada PKS di Ibu Kota. Namun, benarkah ini pemberian mandat kuasa atau hanya pelipur lara lantaran iba dengan PKS yang kini tengah goyah dalam internal partai, sekaligus merupakan salah satu langkah strategis pengamanan si "bocah angel" dalam koalisi Gerindra.

Kalau melihat rekam jejak koalisi Gerindra-PKS yang terjalin sejak 2014 lalu, PKS memang kerap kali bermanuver menaikkan posisi tawar dengan menyodorkan nama capres, lalu turun jadi cawapres dan akhirnya mentok bersikukuh meminta kursi DKI II. Padahal, seharusnya PKS yang menyabet 6 kemenangan dalam Pilkada serentak 2018 ini, bisa meminta jatah lebih lantaran Gerindra sendiri sebenarnya termasuk medioker dalam pilkada serentak.

Tapi nyatanya, Gerindra yang hanya mengantongi 3 kemenangan tersebut, malah nampak powerful dan masih mungkin mengontrol PKS, terlebih dengan rontoknya konsolidasi internal PKS akibat 4 masalah besar ini:

Pertama, Lemahnya kohesivitas PKS. Tidak adanya tokoh sentral pemersatu, membuat PKS diambang konflik internal yang barangkali bisa berujung senjakala partai berasas Islam ini. Bagaimana tidak, partai yang akronimnya pernah tenar diplesetkan menjadi "Partai Korupsi Sapi" lantaran tertangkapnya sang mantan presiden  Luthfi Hasan Ishaaq akibat terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait impor daging sapi pada 2013 silam ini, mulai kehilangan sosok pemersatu.

Begitupun kalau kita melompat ke gelanggang konstestasi politik jelang pilpres 2019, keretakan internal PKS terendus publik dengan munculnya isu bahwa loyalis mantan presiden PKS Anis Matta melakukan perlawanan karena PKS dituding ingin melakukan "pembersihan" loyalis sang mantan. Keputusan itu pun diambil karena beredar kabar Anis Matta merencanakan G30S PKS (Gerakan 30 Syaikh Pemimpin Kelompok Sebelah) untuk merebut PKS pada 2020 mendatang.

Rupanya, hulu keretakan PKS adalah sikap saling mensyuudzoni satu sama lain yang berujung chaos internal. Tuding-menuding ini, sebenarnya bisa dibaca dari tidak solidnya pemimpin PKS tuk menjadi tokoh kohesif alias pemersatu bagi para pengurus partai juga konstituen. Kalau sudah begini, bisakah PKS memainkan posisi tawar lebih? Saya tidak yakin. Ruang kendali DKI akan tetap dalam kuasa Gerindra. Sedangkan PKS, barangkali hanya mengikuti ritme permainan Gerindra ke depannya.

Kedua, Terpaan kasus korupsi. Tahun 2018 ini saja, beberapa politisi PKS terjaring kasus korupsi dan berakhir vonis "menginap" di rumah tahanan (rutan). Di awal tahun ini, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Yudi Widiana Adia dituntut 9 tahun penjara oleh Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap proyek di Kementerian PUPR. Diselingi beberapa kisruh PKS lainnya, jelang akhir tahun, tepatnya Agustus lalu, Polresta Depok menetapkan bekas Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail yang juga kader PKS ini sebagai tersangka korupsi proyek pengadaan lahan untuk pelebaran Jalan Nangka, Tapos, Depok.

Malangnya dari kasus korupsi ini, para kader dan politisi PKS tersebut terlihat berjuang seorang diri untuk meloloskan diri dari jerat hukum. PKS sendiri malah terlihat cuci tangan dan amat kentara mengeluarkan pernyataan diplomatis yang akrab kita dengar seperti ini, "kami menyerahkan kasus ini pada proses hukum". Hal ini pun disesali Fahri Hamzah yang bercuit di twitter bahwa PKS tak mencerminkan kebersamaan. Kalau ini dibiarkan, friksi internal PKS akan makin meluas dengan menjamurnya kader sakit hati yang merasa ditinggal sang induk ketika mereka bermasalah. Gawat iki!

Ketiga, Keretakan dalam kepengurusan partai. Nah, di penghujung Oktober kemarin, muncul kekisruhan internal PKS yang tengah santer diperbincangkan publik. Lah, bagaimana tidak viral,  para kader dan pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Partai Keadilan Sejahtera ( PKS) Bali ramai-ramai menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan maupun sebagai kader partai. Pernyataan itu bahkan dilakukan dengan cara beramai-ramai mendatangi kantor PKS di Jalan Tukad Ho, Renon, Kota Denpasar, sambil membentangkan spanduk bertuliskan "Seluruh Kader dan Pengurus PKS se-Bali Mengundurkan Diri".

Menurut Ketua Demisioner DPW PKS Bali Mudjiono, seluruh pengurus dan kader PKS mengundurkan diri karena kecewa terhadap keputusan DPP PKS yang dinilai tidak demokratis. Alasannya yang dilansir kompascom: 

Pertama, penggantian kepengurusan adalah bentuk otoritarianisme DPP PKS dengan menabrak AD/ART dan persekusi terhadap kader yang dituduh tidak loyal. Kedua, DPP PKS antidemokrasi, pimpinan PKS menutup pintu dialog dan perbedaan pandangan. Ketiga, sikap dan tindakan pimpinan PKS berbeda jauh dengan nilai-nilai Islam yang menjadi identitas PKS selama ini. Keempat, pembelahan pimpinan PKS sejak 2016 secara sistematis, konflik dan pemecatan di dalam tubuh PKS yang membuat PKS kehilangan kekuatannya, khususnya menghadapi Pemilu 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun