


Sambil nunggu menu racikan koki andalan si Gotam, saya narsis ria di mata air bersih yang langsung dialirkan ke kampung lewat pipa-pipa besar untuk digunakan warga. Di sekitar situ ada kolam air bersih alami lainnya yang dibilang Sefur Kapal. Tanpa menunggu lama, saya langsung terjun. Huh, segernya minta lagi, lagi, dan lagi. Dijamin ketagihan kalau berenang di sini. Selain jernih, air ini bisa langsung diminum. Oh iya, dinamai Sefur Kapal karena bentuknya seperti bumbungan kapal dan gemuruh angin di situ terdengar seperti suara kapal. Di zaman penjajahan, lokasi ini dijadikan tempat persembunyian warga.
Setelah kenyang, kami langsung lanjut perjalanan menuju puncak Gunung Suru dan Air Terjun Kelbasusah. Saya jadi gak sabaran karena ini spot yang paling saya tunggu. Dalam perjalanan, kami sempat memutar sebuah tembok alam setinggi 7 meter dengan panjang kira-kira 300 meter. Saya terkesima karena ini batu alam yang nampak seperti tembok Cina atau sebuah benteng pertahanan. "Jangan-jangan di zaman penjajahan Belanda, banyak warga kampung yang lari sembunyi ke sini," seloroh Kena Din di tengah perjalanan.
Lewat dari tembok ini, kami mulai menanjak sekitar 45 derajat ke puncak Gunung Suru. Tinggi gunung ini sektar 1200 mdpl. Sulit untuk berjalan konstan karena medan yang berat. Hampir semua dari kami sangat kelelahan di medan satu ini. Selain penuh dedaunan kering, banyak sekali batu-batu putih besar. Untungnya, banyak pepohonan, jadi bisa berpegangan dan pelan-pelan mulai menanjak. Kami juga menemukan beberapa pohon yang jadi komoditas pasar yaitu pohon damar, pohon gaharu, dan rotan.

Setelah di puncak, semua lelah lepas begitu saja lantaran hamparan hutan yang begitu luas langsung memanjakan mata. Harus diakui, berada di puncak Gunung Suru itu seperti berada di atap belantara hutan Hunimua. Ke mana pun kita mengedar pandangan, mata langsung tertumbuk gunung-gunung lain yang memancang kokoh, ada Gunung Salagur, Gunung Sengan dan Gunung Samin. Tak hanya itu, hamparan hutan yang luas dan berbukit-bukit pun terlihat rata bak setapak.
Sementara asyik menikmati permadani hijau yang terhampar itu, ternyata kami terpisah jauh dari kelompok 1 dan 2 yang sudah turun lebih dulu ke air terjun Kelbasusah untuk mendirikan camp di sekitar situ dan mulai memasak. Sekitar 30 menit di puncak, kami bergegas menyusul karena khawatir hilang jejak. Medan turunnya pun ini sedikit memutar lereng gunung yang cukup licin dan tanah yang lembap. Saya sempat terpeleset dan meluncur ke bawah seperti main perosotan, untungnya ada kayu yang bisa saya pegang, kalau tidak, bisa tamat riwayat detik itu juga. Sejujurnya, saya malah senang perosotan alami begitu, semacam ada rasa puas setelah hormon adrenalin saya dipacu insiden itu.
Kami tiba di Kelbasusah jam 5.30 sore, langsung disambut suguhan kopi hangat dan lagu-lagu daerah yang dinyanyikan teman-teman. Dulunya, area ini adalah air terjun dan kali besar. Sayangnya, sudah kering karena tertutup longsor besar. Dalam pengamatan saya, kepala air terjun ini setinggi 30 meter dan lebar kalinya sektar 15 meter.
Malam sudah mulai menutup langit-langit hutan, sebuah camp kecil sudah siap, dan api unggun pun sudah manyala. Kami langsung mendendang lagu-lagu khas Maluku, sesekali deselingi tembang nostalgia Lola Drakel dan MOP Papua. Biar suasana semakin membakar, saya langsung bagi-bagi kacang telor manis. Hasilnya jos, kayaknya pada semangat nyanyi, dan saya pun tertidur. Sayangnya, malam itu hujan deras jadi kami harus tidur baku sosak (desak-desakan) dalam satu tenda kecil itu.