Kami langsung dibagi tiga kelompok, yang pertama tim sapu jalan, kedua tim logistik, dan terakhir tim sapu jagat. Karena target sampai ke pos istirahat sekitar jam 5 sore, maka kami harus berjalan cepat. Rute ke pos istirahat memang cukup jauh dan memutar, jadi kami harus jalan cepat. Pos sasaran berikutnya adalah Duran Lean, Tawerak Kapitang, gunung batu Kulbakarina, dan masih banyak pos lagi. Oh iya, ini bukan pos seperti di kawasan pendakian Gunung Semeru atau Gunung Rinjani. Ini hanya pos bayangan yang kami bikin sendiri untuk sekedar melepas lelah dan menghela oksigen.
Karena matahari makin meninggi sekitar jam 7.30 WIT, kami harus segera bergegas. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami berhitung lagi untuk memastikan jumlah anggota tidak berkurang atau malah bertambah, hahaha. Menurut mitos di desa, biasanya ada "orang" atau makhluk astral yang suka menyembunyikan jalan di hutan sehingga tanpa terasa kita makin tersesat dari tujuan. Saya mulai parno, berasa seperti ikutan sebuah ekspedisi gaib. hahaha.
Kini kami mulai menjauh dari Kalapa Dua menuju kawasan Duran Lean. Dalam perjalanan, saya sibuk foto sana-sini karena memang sangat indah kawasannya, dipenuhi ribuan tumbuhan paku, jejak-jejak rusa dan babi hutan, juga bekas area yang terbakar hangus. Kami terus merangsek menembus rimba, betul-betul menerabas hutan, membuat tanda jalan sendiri dari patahan ranting, rotan atau batang kayu yang dikupas. Saya hanya membayangkan, andai saja tanpa guide, pasti kami sudah tersesat meski baru jalan 1 kilometer. Beberapa kali saya hampir hilang jejak karena salah membaca tanda jalan yang dibuat tim sapu jalan. Fatalnya, tidak satu pun dari kami yang bawa kompas.
Kami tiba di kawasan Tawerak Kapitang. Namun tanpa istirahat, kami langsung patah haluan menuju Kulbakarina. Jam di HP saya menandakan pukul 9, itu artinya butuh 2 jam perjalanan lagi. Ya, medan hutannya masih landai memang, tapi jauhnya itu yang gak nahan, rasanya pengen cepat-cepat sampai.
Tak lama lepas dari Tawerak Kapitang, udara sudah mulai dingin, cahaya matahari pun seperti terhalang lebatnya hutan, dan medannya mulai sedikit menanjak. Beberapa kali tim sapu jagat memberi kode suara, karena ketinggalan cukup jauh dari kawan-kawan logistik. Uoooooo, uoooo, uuuuuii...berasa tarzan deh pokoknya. Hahaha, dan kita pun silih bersahutan. Alhamdulillah, masih dalam radius aman karena ada balasan suara dari tim lain.
Kami mulai melintasi kali-kali kecil, mata air kecil, merangkak di bawah pepohon tumbang, dan sedikit menanjak. Pijakan batu-batu yang kurang kuat juga cukup merepotkan. Masalahnya, kalau salah berpijak, kita bakal menggelinding ke bawah. Medannya mulai terasa sedikit menguras energi. Di tengah jalan, Om Usman dan Om Tip memotong dan memikul sebatang kecil obat kuning. Katanya itu sejenis rotan kuning, dalam bahasa setempat disebut kayu Ara Kuning. Air hasil rebusannya diyakini sebagai obat kuning dll.
Pikir saya, kita baru saja menuju puncak dan pasti bakal repot kalau harus menambah beban. Benar saja, Om Usman mulai terkilir dan Om Tip sudah hosa gak karuan saat menanjak ke Kulbakarna. Safari yang juga ketua pendakian meminta mereka buang saja kayu obat itu karena puncak Gunung Samin masih sangat jauh. Sambil memastikan kondisi keduanya, kami lanjut jalan lagi dan tibalah di puncak Kulbakarina. Seketika lelah pun hilang, seperti tersihir pesona gua yang satu ini, menjulang sekitar 50 meter ke atas.


Untuk masuk ke dalam gua, kami harus menanjak dengan kemiringan sekitar 35 derajat dengan sedikit merangkak. Jalannya licin dan penuh dedaunan kering, salah langkah pasti tergelincir. Masing dari kami berpegangan pada batu-batu yang menyembul di balik timbunan daun-daun kering. Setelah sampai, masih butuh sedikit usaha lagi untuk masuk pintu gua, harus manjat dinding gua sekitar 3 meter. Di dalamnya, banyak kalong gelantungan, stalagmit dan stalagtit. Tak ada yang berani masuk lebih jauh karena kondisi gua sangat gelap.
Sekitar 20 menit di Kulbakarina, kami langsung tancap ke mata air di kaki Gunung Suru dan berencana makan siang di sana. Sampai di sana, kami bagi tugas, ada yang ambil kayu bakar dan memasak. Karena kita hanya bawa beras dan mie, saya pikir cuma itu menu makan siangnya. Ternyata, di luar dugaan saya, teman-teman sudah manggurebe tangkap guran alias udang air tawar. Wow, akhirnya menu lunch kami kali ini, seafood.