Mohon tunggu...
Muhammad Shoma
Muhammad Shoma Mohon Tunggu... Jurnalis - Wasis Solopos Angkatan XX

cogito ergo sum.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bisakah Filsafat Menjawab Problem Kesehatan Mental?

1 Februari 2020   21:31 Diperbarui: 11 Maret 2020   19:28 1613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Untuk menjadi bahagia (ataraxia), manusia harus berlaku menjauhi diri dari emosi-emosi negatif (apatheia) dengan beberapa cara---ringkasnya, saya jadikan tiga langkah---seperti yang diterangkan para filsuf Stoa.

Pertama, Epiktetus dalam bukunya, Enchiridion mengajak kita memahami bahwa ada beberapa hal yang bergantung dengan kita dan beberapa lainnya di luar kendali kita. Untuk mempermudah, kita menyebutnya sebagai dikotomi kendali.

Hal yang bergantung terhadap kita hanyalah pemikiran kita. Pemikiran yang nantinya berkembang menjadi pertimbangan, keinginan, tujuan dan tindakan kita sendiri.

Selebihnya, seperti tindakan orang lain, opini orang lain dan hal-hal yang tak berasal dari pikiran kita, bukanlah hal yang bergantung pada diri kita. Jika ada sesuatu yang salah, hanya satu yang bisa kita perbuat: membenahi pemikiran kita dan menatanya kembali selaras dengan prinsip dikotomi kendali.

Mencemaskan sesuatu yang bukan kendali kita merupakan hal yang sia-sia. Ketidaksadaran masyarakat perihal dikotomi kendali inilah yang agaknya membuat gangguan psikosomatis---penyakit fisik yang diakibatkan oleh pikiran---menjadi hal yang jamak ditemui.

Kunci menuju bahagia ala filsafat Stoa yang pertama ialah jangan mencemaskan apa pun selain pikiran kita, yaitu kendali kita.

Kedua, mengendalikan presepsi dan interpretasi. Seperti yang diutarakan Henry Manampiring dalam Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini, bahwa filsafat Stoa memisahkan antara apa yang bisa ditangkap oleh indra (impression) dengan interpretasi atau tafsiran atas apa yang dialami indra kita (representation).

Pada faktanya, setiap peristiwa bersifat netral, namun menjadi bercitra "positif" atau "negatif" karena hasil interpretasi yang kita ciptakan.

Sering kali situasi yang kita hadapi menjadi keruh bukan karena realita peristiwa tersebut, namun karena interpretasi yang kita ciptakan. Karena pada dasarnya semua emosi dipicu oleh opini, penilaian dan presepsi kita.

Keduanya saling berhubungan dan jika terapat emosi negatif, jelas sumbernya adalah nalar atau rasio kita sendiri. Ketika paradigma kita arahkan untuk realistis dan positif, emosi-emosi negatif bisa dikesampingkan.

Jika kita dihadapkan pada situasi yang menuntut kita untuk marah atau bersedih, cukup beri waktu bagi otak untuk merespon dengan mengendalikan presepsi dan interpretasi. Karena bagaimana pun, selalu ada sisi negatif yang harus disingkirkan dari presepsi manusia karena sifat desruktifnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun